“Mengeluh Yuk...”
Tepian Danau Diatas Alahan Panjang |
Sinar
sang surya terhalang kabut. Gerakannya terus mendekati ufuk barat bagaikan anak
dara yang berjalan tertatih-tatih karena disampingnya ada sang pujaan hati. Sore
mewujudkan diri. Riak air Danau Kembar yang melengkapi indahnya alam dataran
tinggi Lembah Gumanti masih seperti kemarin. Pelan-pelan mencium tepiannya
ditiup sepoi angin. Segerombolan burung membumbung di angkasa bersiap kembali
ke sarangnya. Kontras sekali dengan kelelawar yang justru mempersiapkan diri
berburu mangsanya pada malam ini.
Di
jalan setapak yang terbentang di pinggiran danau, tampak dua orang remaja
tengah merasakan udara senja. Berjalan perlahan mengikuti alur jalan yang
dipenuhi kerikil berpasir. Pakaian penghangat
menempel manja ditubuh mereka. Tangan bersedekap di depan dada untuk
mengusir rasa dingin yang menghadang. Sesekali terdengar kelakar diikuti tawa
riang yang keluar lewat mulut mereka. Akrab sekali kelihatannya.
“Ah,
dingin betul ya, Sob”
Seolah
berkata pada diri sendiri, lisan salah seorang remaja itu menghentikan tawanya.
Yang ditanya diam, hanya helaan napasnya yang terdengar.
Huda,
Remaja lelaki berwajah melayu itu mempererat dekapan tangannya ke dada. Lembah
Gumanti yang terkenal dengan suhu dibawah normal itu membuat tubuh remaja tersebut
kedinginan. Dia terus melangkah mendekati tepian danau diikuti Sobran, kawan
karibnya. Mereka mengambil posisi duduk dengan kaki terjulur diatas batu ditepian
danau dan menatap hamparan air yang terbentang luas di depan mata. Desiran angin
menyapa. Mereka diam sejenak merasakan indahnya ciptaan sang Khalik.
“Kemarin
cuacanya teramat panas. Sekarang, aduh... kamu ngerasa nggak Sob. Dingin sekali, Kan!?”
Tepian Danau Kembar Lembah Gumanti |
Kembali
menggaung suara Huda meminta persetujuan dari kawannya.
“Ah,
dasarnya kamu.” Sobran menanggapi sembari menatap lekat wajah kawannya dan
melanjutkan kata-katanya.
“Kerjanya
Ngeluh mulu. Nikmatin aja napa sich?” Udah dikasih panas ngeluh
minta cuaca dingin. Dikasih dingin minta panas lagi.
Sakit sedikit mengeluh, ada tugas dari guru untuk meningkatkan prestasi,
frustasi. Atau ditimpa musibah dikit
mengumpat menghardik Tuhan tidak adil. Jadi apa sich maunya kamu?” Sobran mengevaluasi sikap kawannya.
“Mauku?”
Huda terperanjat.
“Maksudku
maunya kita, hehehe” Sobran tersenyum, mendekatkan jemarinya diatas bibirnya
memberi tanda bahwa dia keceplosan
salah ucap. Huda tercenung. Dialihkan pandangannya menatap riak-riak danau
menepi. Ucapan sahabatnya mengena sekali diqalbunya.
“Tapi,
Sob...” Kata-kata Huda terputus.
“Apa
lagi?” Sobran memotong kalimat kawannya seakan tak ingin diganggu suasana
hatinya.
“Nyatanya
memang begitu... Salahkah bilaku berkata sesuai fakta?” Huda membela diri tak
mau disebut sebagai seorang pengeluh.
“Fakta
apa, kawan?” Sobran cengir pura-pura tak mengerti maksud sahabatnya.
“Dingin
ini, mens!” Suara Huda meninggi.
“Aduhai,
Huda... Mendengar keluhanmu barusan mengingatkanku dengan apa yang dibilang
dalam Al-qur’an bahwa manusia itu diciptakan bersifat keluh kesah (Q.S.70:19)”
“Jadi???”
“Jadi, Begini kawan... Lupakah kamu nasehat Ustadz Irsyad beberapa waktu
lalu? Bukankah beliau berkata bahwa mengeluh merupakan pertanda tidak adanya kesyukuran seseorang atas nikmat
Allah SWT? Beliau juga mengingatkan bahwa kita tidak dibenarkan mengeluhkan masalah yang kita punya kepada
orang lain? Kecuali nich, jika ia
sharing pada orang yang ia yakini amanah dan dengan catatan untuk mendapatkan
penyelesaian”
Huda menyimak penuh konsentrasi. Mencoba mengingat
nasehat Ustadz Irsyad, wali kelas mereka. Lantunan Sobran berlanjut.
“Tapi, kita masih boleh mengeluhkan masalah kita
pada...”
Sobran menghentikan uraiannya sejenak. Sayup-sayup
gema adzan maghrib terdengar.
“Pada siapa?” Tanya Huda penasaran.
“Pada itu tuch...”
Sobran mengisyaratkan adzan sambil bangkit dari duduknya dan berlalu pergi.
“Yah... Pada Allah Swt, Mens.” Kicau sobran.
“Jadi...” Huda mengekor sahabatnya yang telah jauh
meninggalkannya.
“Jadi... Yuk, kita mengeluh pada Allah saja, Boys!!! Hahahaha” ۩
Leave a Comment