Apa Sich Tandur Itu?
Briefing
atau rapat koordinasi pagi ini
ditiadakan. Teknis program kegiatan sudah dibicarakan siang kemarin. Hari ini
jadwalnya mahasiswa SGI 4 pergi kesawah. Lalu lalang warga Tambleg lewat di
depan rumah orang tua angkatku.
“Bade kamana?” Sapaku canggung. “Bade kasawah” Jawab seorang ibu ramah dengan bakul nasi yang tergendong diatas punggungnya.
Semalam aku mengutarakan pada bapak angkatku bahwa hari esok mahasiswa SGI 4 akan menjalankan agenda ke sawah dan bapakku “hanya berjanji” akan mengajakku kesawah. Berjanji? Yap... memang hanya berjanji. Beliau utarakan bahwa beliau tidak memiliki sawah untuk digarap.
Pak Rohim, nama lengkap bapak angkatku. Beliau berprofesi sebagai seorang pedagang. Beliau menceritakan bahwa sangat cinta dengan pekerjaan sebagai pedagang.
“Kenapa tidak menjadi seorang petani saja Pak” Tanyaku menyelidiki. Beliau hanya tertawa. Bu Yati, ibu angkatku menjelaskan bahwa suaminya “ tidak suka” ke sawah. Bukan berarti mereka tidak punya sawah yang akan digarap, malah nenek angkatku (Ciee... Ibunya ibu Yati) mempunyai sawah yang luas untuk dikerjakan. Tetapi, karena pak Rohim lebih menyukai berdagang ketimbang bertani, yah... jadilah sawah luas mertuanya dikerjakan oleh orang lain. Itulah sebabnya kenapa beliau hanya berjanji akan mengajakku kesawah.
Kamis pagi, 09.00 WIB
Aku dan bapak menuju sawah. Sawah yang akan kami datangi adalah miliknya mertua pak Rohim. Tak jauh. Hanya memakan waktu kurang lebih 15 menit dari rumah.
Jalanan menuju sawah menurun dan mendaki. Hal itulah yang membuat perjalanan makin lama. Sampai diatas sebuah bukit aku disuguhi pemandangan perkampungan Tambleg dengan model rumah yang khas dilengkapi lumbung padi yang berjejer rapi. Di pinggir bukit tampak sawah-sawah dengan model terasering memanjakan mata. Aku dan bapak menuruni perbukitan. Dibawah sana telah menanti ibu-ibu Tambleg dengan kostum pertaniannya. Tanpa diminta, aku langsung terjun bergabung menanam padi yang saat ini tengah dikerjakan. Bapakku melarangku dan kupingku sempat juga mendengar ibu-ibu yang sedari tadi konsentrasi dengan kerjanya menanam padi berkata “ Tak usah ikut Bang...” Aku tak menghiraukan, pekerjaan ini tidak ada masalah bagiku.
“Sudah... Aku juga bisa kok Bu” Aku meyakinkan mereka yang masih tak percaya pada penglihatannya.
“Abang bisa menanam padi?” Mereka bertanya. Aku tertawa sebagai ungkapan percaya diriku.
Menanam padi merupakan kebiasaanku sewaktu kecil. Sebagai seorang petani, emakku selalu mengajak dan mengajariku cara bercocok tanam dan merawat tanaman padi, mulai dari menanam hingga panen. Ajaran yang diberikan emakku sebelas tahun silam masih membekas dalam diriku. Makanya aku tak asing lagi dengan yang namanya menanam padi ini.
Setelah kuberhasil meyakinkan bapak dan ibu-ibu disawah. Aku diizinkan bergabung dengan mereka. Selama kerja penanaman berlangsung aku diajak ngobrol ngalor-ngidul. Banyak yang mereka bincangkan; mulai dari hal yang serius hingga hal serius, dari hal percintaan hingga kebencian, dari masalah orang hingga masalah perlengkapan didapur mereka. Tak heran, namanya juga ibu-ibu yang lisannya sukar dikontrol hehehe. Dari sekian banyak tema pembicaraan di arena pertanian itu, aku lebih teratrik pada bahasan bahasa. Nah, saatnya aku tambah perbendaharaan bahasa sundaku ^_^.
“Tandur...” Jawab seorang ibu yang lisannya semenjak tadi tak berhenti berkicau. Aku bertanya kalau menanam padi bahasa sundanya apa. Tandur, bahasa yang aneh bin lucu. Batinku. Pikiranku masih bertanya-tanya apa sich itu tandur dan kenapa disebut dengan tandur. Para ibu tak bisa menjawab pasti. Hingga ada temanku yang pandai dan paham bahasa sunda menerangkan bahwa tandur itu merupakan singkatan dari tanam mundur. Aku tertawa geli. Sungguh-sungguh geli... Oho itu toh tandur, tanam mundur. Sekali lagi hatiku berkata, “Bahasa yang aneh” hehehe.
Aku menemani ibu Tambleg untuk tandur hingga adzan berkumandang. Aku berlalu meninggalkan mereka. Hari ini aku telah belajar banyak terutama dalam bahasa sundanya hehehe.
Leave a Comment