Misteri Puisi Cinta Itu…
“Memalukan!” Ogi geram saat Jamil menyampaikan
kabar bahwa ada anak rohis yang pacaran.
“Mil, kamu nggak lagi bikin gosip murahan seperti
ini kan?” Ogi masih kurang yakin.
“Gi, pantang bagiku asal ngomong kalo nggak ada
bukti.” Jamil menatap lekat wajah sahabatnya itu.
Ogi mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan
kemudian berjalan menuju jendela kamarnya. Ditatapnya langit biru yang dihiasi
awan putih sore itu. Pikirannya jauh mengembara. Menjangkau semua kenangan yang
pernah bersamanya. Masalah ini, pernah juga mengendap dalam hidupnya.
“Sori Gi, kamu ingin bukti?” Jamil membuyarkan
lamunan Ogi.
“Mil, ini masalah serius yang harus segera
ditangani. Jika nggak, bakalan heboh seluruh seluruh sekolah dan pasti mencap
anak rohis tuh bermasalah. Walau yang melakukan cuma Helmi,” Ogi khawatir
banget.
“Oke, kalo gitu apa yang harus kita lakukan?” tanya
Jamil.
“Aku pengen bukti dulu.” Ogi masih dengan napas yang
tak teratur.
“Tenang Gi. Kamu kok kayak dikejar anjing aja. Cool
Gi, Cool!” Jamil berusaha ngimbangi ketegangan Ogi sambil mengeluarkan
secarik kertas berlipat dari saku bajunya.
“Apa ini?” Ogi penasaran.
“Buka dan baca saja,” pinta Jamil.
“Hmm… dari mana bisa tahu kalo ini tulisan Helmi?
Ini kan print-out komputer?” Ogi setengah nggak percaya.
“Ini puisi ya Mil?” Ogi siap-siap baca tapi masih
aja nanya Jamil.
“Iya, udah deh baca aja. Napa sih? Eh,
tapi jangan dihayati yee..” seru Jamil sambil cengar-cengir.
“Pertama kali
bayangmu jatuh tepat di fokus hatiku
Nyata, tegak, diperbesar dengan kekuatan lensa maksimum
Bagai tetes minyak milikan jatuh di ruang hampa
Cintaku lebih besar dari bilangan avogadro…
Nyata, tegak, diperbesar dengan kekuatan lensa maksimum
Bagai tetes minyak milikan jatuh di ruang hampa
Cintaku lebih besar dari bilangan avogadro…
Walau jarak kita bagai matahari dan Pluto saat
aphelium
Amplitudo gelombang hatimu berinterfensi dengan hatiku
Seindah gerak harmonik sempurna tanpa gaya pemulih
Bagai kopel gaya dengan kecepatan angular yang tak terbatas”
Amplitudo gelombang hatimu berinterfensi dengan hatiku
Seindah gerak harmonik sempurna tanpa gaya pemulih
Bagai kopel gaya dengan kecepatan angular yang tak terbatas”
“Duileeee.. sampe segitunya Helmi. Tapi sebentar…”
Ogi mengernyitkan dahinya.
“Kenapa Gi?” Jamil ikutan mikir.
“Perasaan aku kenal dengan puisi ini. Oya,
Hahahaha. Helmi nyontek neh dari milis majalah-permata!” tawa Ogi tiba-tiba
meledak. Jamil Bengong.
“Iya, ini penggalan puisi cinta mahasiswa jurusan
fisika yang pernah diposting sama seorang member ke milis majalah-permata,
Mil!” jelas Ogi.
“Mil, tapi kok nggak ada bukti yang bisa mengarah
kepada Helmi ya?” bisik Ogi.
“Lipat kertasnya. Nama siapa yang tercantum di
situ?” pinta Jamil.
Ogi segera melipat kertas itu sesuai saran Jamil.
Deg…
“Helmi mengirim untuk Dian? Siapa Dian?” Ogi
keheranan.
“Menurut kabar sih, Helmi sering jalan bareng Dian.
Sering naik angkot bareng gadis berkerudung itu…” jelas Jamil.
“Tahu dari mana kamu Mil?” Ogi nggak enak ati.
“Leony yang bilang,” terang Jamil.
“Leony?”
“Iya, doi mergoki Helmi lagi jalan berjejeran
dengan gadis bernama Dian itu,” Jamil menambahkan.
“Terus dari mana kamu dapetin puisi ini?”
“Wah, aku juga dari Leony. Katanya doi kebetulan
nemuin tuh kertas tergeletak dekat mading sekolah,” papar Jamil.
“Oh.. kok bisa ya? Dian anak SMU Jingga juga? Kelas
berapa? Perasaan kok aku baru denger ya?” selidik Ogi.
“Menurut kabar sih, Dian tuh anak sekolah sebelah.
Tetanggaan ama sekolah kita,”? terang Jamil.
“Hmm.. pantesan aku nggak kenal” Ogi merapatkan dua
bibirnya sambil manggut-manggut.
“Gi, kata Leony sih, Dian cantik lho…” Jamil
menggoda.
“Ah, kamu emang ijo kalo ngeliat akhwat kiut” ledek
Ogi sambil membereskan buku-buku yang berserakan di atas meja belajarnya.
“Iya dong, karena Dian adalah cewek Gi. Kalo cowok
mah ganteng atuh sebutannya!” Jamil terkekeh yang disambut dengan lemparan
sebiji kacang atom dari genggaman tangan Ogi dan meledaklah tawa keduanya.
Dasar bocah!
“Oya, sekarang gimana neh aksi kita?” Jamil masih
bingung.
“Kita ke rumah Helmi aja malam ini,” usul Ogi.
“Oke, kalo vespa bututku udah ada di rumah. Soalnya
suka dipake ama Bang Zul main band.” Jamil ngasih syarat.
“Siip!” Ogi mengiyakan.
ooOoo
Jakarta menjelang petang terasa padat. Kemacaten di
mana-mana. Suara klakson dibunyikan dengan amat kencang dan bersahut-sahutan.
Bukan karena nggak ngerti lagi macet, tapi itu lebih dari tekanan yang berat
yang bernama stres. Maklumlah, orang kalo udah stres apa aja bisa jadi sasaran
kekesalannya. Wajah-wajah tegang para pekerja yang bergelayutan di bis kota
adalah pemandangan sehari-hari yang menghiasi Jakarta.
Selesai sholat maghrib Jamil menjemput Ogi. Ia
terlihat lihai mengendarai vespanya mencari celah dalam antrian panjang
kendaraan yang menunggu giliran dapet lampu ijo. Lima belas menit kemudian
Jamil nyampe di pekarangan rumah Ogi.
“Mo ngopi dulu nggak Mil? Ogi yang udah nunggu di
teras depan basa-basi ke Jamil.
“Nggak ah, kalo ngopi mulu biasanya kita keterusan
main gim!” sindir Jamil.
“Ah kamu kayak nggak hobi main gim aja,” Ogi ngeledekin.
“Jangan salah Gi, sekarang aku udah nggak nyandu
lagi. Bila mampu aja.” Jamil cengengesan.
“Duilee… kayak naik haji aja pake kata bila mampu,”
ujar Ogi sambil menutup pintu rumahnya.
“Ayo deh, kalo udah siap mah. Keburu malem nanti.”
Jamil langsung menstarter vespanya.
Setengah jam kemudian mereka sampai di depan
gerbang rumah Helmi. Tapi pintu pagar terkunci rapi. Ogi mencet bel yang
nemplok di tembok dekat pagar. Tiga kali mencet bel, tapi nggak ada tanda-tanda
kehidupan di rumah itu. Begitu akan mencet bel keempat kalinya, terdengar suara
pintu rumah dibuka. Pembantu di rumah Helmi yang keluar.
“Eh, Mas Ogi. Maaf Mas Ogi, Mas Helmi sedang keluar
rumah. Nggak janjian dulu ya?” Bi Imah, sang pembantu itu ngasih kabar.
“Oh, emang kita belum janjian ama Helmi. Maksudnya
sih biar surprise gitu..” Ogi senyam-senyum.
“Iya, ternyata benar-benar surprise. Helmi nggak
ada..” celetuk Jamil sambil cengengesan yang kemudian disambut sikutan Ogi.
“Kita pamit aja Bi. Salam aja ke Helmi.”
“Iya..iya, nanti bibi sampaikan deh.”
“Assalaamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam…”
Jamil dan Ogi udah kembali menembus belantara hutan
beton Jakarta. Menikmati asap kendaraan yang tak sedap. Bahkan bikin sesak.
Ditambah upayanya gagal ketemu Helmi.
“Nggak apa-apa, hari ini kita gagal. Masih ada hari
esok. Siapa tahu kita gagal lagi. Hehehe.. jangan kalah ama Ari Dagienkz dan
Desta dong,” hibur Jamil.
“Iya, tapi kita kan bukan dektektifnya H2C!” Ogi
nimpalin.
“Hahahaha..” tawa keduanya meledak dan saingan
dengan deru mesin-mesin yang menyesaki jalanan ibukota.
ooOoo
“Gi, ada kabar kurang sedap neh,” Jamil nyamperin
Ogi setelah selesai sholat dhuha di mushola sekolah.
“Kabar apa lagi? Soal Helmi?” Ogi menatap wajah
Jamil sambil menutup al-Quran sakunya.
“Wah, Leony barusan ngasih ini lagi,” Jamil
menyodorkan selembar kertas.
“Surat?”
“Baca aja!”
“Leony dari mana Mil? Kok kayaknya kamu dapat info
soal Helmi dari Leony terus? Jadi informan ya?” selidik Ogi sambil
menyunggingkan senyuman tipis.
“Nah, kalo yang ini. Leony bilang doi nemuin di mushola
tempat sholat akhwat. Dekat cermin,” Jamil lancar ngejelasin.
“Wah, kok bisa ya?” Ogi tetep bingung bin heran.
Tapi tak urung juga membuka lipatan kertas itu.
Dari Dian
Untuk Helmi
Maaf jika vulnus
ictum et causa keraguanku
Menembus cavum
thorax dan bersarang tepat di cardia-mu
Menciptakan
internal bleeding profuse yang mungkin membunuhmu
Menjadikan
kolaps semua asa yang pernah kausemaikan
Tapi jika
tanda-tanda vital cinta itu masih positif
Selamatkan ia
dengan oksigenasi 2 liter/menit
Basahi cinta yang
tersisa dengan cairan infus ringer laktat
Teteskan
anti-koagulan agar tak terjadi proses pembekuan
Ogi kembali tercenung. Tapi segera meledak tawanya,
“Hahahaha.. Hei, ini juga puisi kiriman seorang member milis di majalah-permata
lho. Aku kenal betul. Kalo nggak salah, Mbak Fikri yang mahasiswi kedokteran
itu yang bikin,” Ogi melirik Jamil.
“Kok kamu inget aja sih Gi?” Jamil rada heran.
“Lha iya, aku kan penggemar setia milis
majalah-permata, Mil.” jelas Ogi.
“O, gitu ya?” tanya Jamil belaga kayak orang pilon.
“Tapi yang aku bingung Mil, kenapa ini bisa nyasar
ke sini dan dipake sama dua anak ini. Helmi dan Dian untuk bales-balesan
puisi?” Ogi mengernyitkan dahinya.
“Eh, sebelum masalah ini melebar ke mana-mana,
gimana kalo kita datengi lagi Helmi ke rumahnya?” Jamil ngasih usul.
“Oke. Aku setuju. Tapi kita telpon dulu sebelum
kita ke rumahnya. Eh, emang hari ini Helmi nggak masuk ya?”
“Iya. Nggak tahu tuh anak. Nggak ada kabar,” terang
Jamil.
“Oya, supaya jelas semuanya, kita ke sana barengan
aja sama anak rohis lainnya. Terutama Leony dan Rosa kudu dateng. Siang ini aja
yuk, pulang sekolah langsung ke sana,” saran Ogi.
“Yup! Aku mo ngasih tahu dulu Leony dan Rosa dan
akhwat lainnya ya… biar masalah ini segera selesai. Malu dong nanti anak rohis
kok pacaran…” seru Jamil.
ooOoo
“Wa’alaikumsalam” terdengar suara Helmi dan gerak
langkahnya menuju pintu depan.
“Wah, kalian. Surprise banget neh datang semua ke
rumahku.” Helmi menyambut Ogi dan kawan-kawan ketika buka pintu dan
mempersilakan masuk sambil rada kaget.
“Gimana kabarnya Mi?” tanya Ogi.
“Alhamdulillah baik. Tadi aku nggak sekolah karena
anter adik periksa ke dokter,”
“Si Budi maksudmu? Sakit apa dia?” selidik Ogi.
Sebelum Helmi menjawab, ibunya Helmi nyamperin ke
ruang tamu.
“Ehhh… ada apa nih tumben rame-rame ke sini?” sapa
ibunya Helmi ramah.
“Iya Bu, kami mau nengok Helmi. Karena tadi nggak
sekolah. Khawatir dia sakit aja Bu…” Ogi basa-basi. Padahal maksud utamanya mau
interogasi Helmi.
“Aduh makasih. Kalian udah mau peduli dengan teman.
Eh, santai aja ya.. Tante mau ke dapur dulu,” ibunya Helmi langsung ke dapur
tanpa menunggu jawaban Ogi dan kawan-kawan. Hening sejenak.
“Begini Mi, tujuan kami ke sini selain nengok kamu,
juga ada yang mau kami konfirmasi kepadamu..” Ogi memulai pembicaraan.
“Soal apa ya?” Helmi rada serius.
“Tenang aja Mi. Jangan tegang. Kita nggak bakalan
ngeborgol kamu kok,” canda Jamil yang diikuti derai tawa teman-teman rohis
lainnya. Helmi juga ikutan tersenyum.
Ogi menyodorkan dua lembar kertas berisi puisi itu.
“Apa ini Gi?” Helmi masih belum ngeh.
“Baca aja!” pinta Ogi.
Begitu dibuka dan dibaca isinya, mimik muka Helmi
berubah pias. Ogi dan kawan-kawan saling berpandangan seolah ingin tahu reaksi
Helmi berikutnya.
“Ini dari mana Gi?” tanya Helmi.
“Kami mendapatkannya dari Leony, ” Ogi terus
terang.
“Tapi ini bukan tulisan aku. Aku nggak merasa nulis
ini,” Helmi tetap nggak ngerti.
“Jadi ini bukan tulisanmu?” Ogi meyakinkan dan rada
heran. Helmi mengangguk.
“Tapi… kamu kok pernah jalan bareng dengan seorang
akhwat dan sering berduaan di angkot…” Leony ikut nimbrung.
“Oh itu toh masalahnya? Sekarang aku ngerti dengan
isi dua puisi ini,” Helmi manggut-manggut.
“Jadi kamu pacaran ya Mi?” Jamil rada nuduh.
“Hussy. Jangan asal tuduh Mil, aku jelaskan dulu
deh,” Helmi berkilah.
“Dian itu…. adikku! Dian… tolong sebentar ke
sini…!” ujar Helmi sambil memanggil Dian.
“Hah? Adikmu…?” Gubrak… Ogi dan Jamil kompak
keheranan. Juga teman rohis lainnya kaget setengah hidup.
Helmi dan Dian kemudian menjelaskan bahwa dirinya
memang kakak-beradik. Cuma, Dian memang baru pindah dari sekolahnya di desa,
karena udah nggak betah tinggal dengan neneknya. Adapun puisi-puisi yang
didapatkan Jamil adalah hasil perbuatan Niko, mantan pacarnya Dian yang kecewa
berat gara-gara Dian memilih berjilbab dan memutuskan jalinan cintanya dengan
Niko.
Tujuan Niko, berdasarkan keterangan Dian, karena
ingin menimbulkan gosip bahwa anak rohis juga pacaran. Kenapa Helmi yang
dijadikan kambing hitam? Masih menurut Dian, karena rohis SMU Jingga terkenal
kejam kepada aktivis pacaran. Jadinya Niko ingin membuat desas-desus bahwa
ternyata ada anak rohis SMU Jingga yang pacaran. Niko menganggap Dian nggak
akan dikenal sama anak rohis SMU Jingga, karena berbeda sekolah dengan Helmi.[]
ooOoo
Cerita ini karyanya O. Solihin yang saya ambil dari www.gaulislam.com.
Membacanya berulang kali tak ada rasa bosan menemani. Menekuri isi ceritanya membawa saya bernostalgila (hehehe) pada masa dahulu kala... :D
Leave a Comment