Daman Setiawan



Daman Setiawan
Kali pertama ku melihat dia, aku langsung jatuh hati. Di mataku dia adalah sosok yang luar biasa yang mampu mengembalikan semangatku yang perlahan pudar. Tapi sayang, sukar sekali aku mendapatkannya. Dia belum mau diajak bercerita atau hanya sekedar berbicara. Karena alasan itulah, tak pelak lagi kukerahkan energi ekstraku untuk mendekati dan mencari tahu siapakah dia.

Namanya Daman Setiawan, siswa kelas enam SDN 3 Cidikit Kampung Tambleg. Rumahnya ada diselatan perkampungan ini. Dia anak bungsu dari tiga orang bersaudara. Satu di Jakarta dan saudaranya yang satu lagi ada di kampung tetangga, sudah memiliki keluarga. 

Sore ini, di penurunan menuju sungai aku kembali berpapasan dengan Daman. Aku sering mendapatinya di jalan ini. Sepertinya dia sering mandi di sungai yang airnya tidak lagi bersih ini. Aku sapa dia dengan senyum menghiasi wajah. Dia hanya diam. Segera dia berlalu meninggalkanku . Tak berkata apa-apa, tersenyum pun tiada. Tak apalah, dia belum tahu siapa aku sebenarnya.

Di hari lain, di sekolahnya tengah  dilangsungkan acara “Istana Anak”. Salah satu program mahasiswa SGI 4 dengan sasaran anak-anak, termasuk Daman. Di tempat itu lagi-lagi aku bertemu  dengannya. Kucoba melempar senyum manis, semanis madu. Tak mampu. Dia tetap bersikukuh dengan sikapnya yang masih lugu. Oke, saatnya kudekati. Dia sedang asyik dengan benda ditangannya. 

“Hai... Daman, kan?”

Kataku tiba-tiba sambil mengulurkan tangan hendak menyalaminya. Dia kaget. Wajahnya menampilkan ekspresi ketakutan setengah hidup. Aku menarik napas, mencoba tenang. Agak ragu dia jabat tanganku dengan tangan mungilnya. Kehangatan kurasa disana. Senyumku belum sirna. Kutatap matanya. Kami beradu pandang. Pelan-pelan dia balas senyumku. Yes, berhasil bisik hatiku.

“Namina saha?”

Pura-pura ku tak tahu namanya, padahal sebelumnya aku telah sebutkan namanya siapa. Dia melepaskan genggaman tanganku. Dia masyik dengan benda di tangan. Sebuah ponsel mini tengah dimanja-manja jemarinya.

“Daman...”

Dia mengeluarkan jawaban dengan kepala menunduk. Kemudian dia berlari bergabung bersama temannya sebelum sempat aku menanyakan berbagai hal tentang dirinya. Never mind, yang penting langkah pertamaku telah berhasil.

Program Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) yang sempat ditunda pelaksanaannya, pekan kedua ini akan dijalankan.  Aku bergegas menuju bangunan di ujung kampung ini. Cukup jauh memang dari tempatku diinapkan. Tapi selaku penanggung jawab, jauh tidaknya harus tetap kujajaki jalan menanjak penuh batu cadas ini.

Aduhai, aku terlambat datang. Siswa-siswa TPA telah menanti kehadiranku. Saat ini jadwalnya ta’arufan antara mahasiswa SGI 4 dengan anak didik yang menimba ilmu disekolah ini. Daman tak hadir. Seraut kecewa tersirat dimukaku.
Hari ketiga di TPA.

Daman datang. “Kok nggak hadir kemarin Daman?” tanyaku. “Aku membantu orang tua” Jawabnya sekenanya. Sepertinya dia mulai beradaptasi dengan diriku. Tak lama bisa bertanya jawab dengannya. Dia pulang segera tanpa menoleh padaku. Tahap kedua berjalan mulus.

Daman Setiawan
Hari kelima di TPA.
Ku mengejar Daman yang lebih dulu keluar kelas. Aku tak mau memaksakan diri untuk mendapatkan alasan kenapa dia pulang cepat. Pasti ingin membantu orang tuanya.

“Hei, Daman! Nanti nginap di tampat Kakak ya” ajakku tanpa basa-basi. Dia diam diiringi anggukannya.

Malamnya Daman mengajak Yayan nginap  di rumahku. Bersama Kiki, adik angkatku kami saling bercanda hingga akhirnya Daman memintaku untuk bercerita (Dongeng). Aku ceritakanlah kisah Yahya Ibnu Yahya, seorang pemuda yang digelari ‘aqilu Andalus (Lelaki berakal dari Andalusia) karena semangatnya yang menggebu dalam menuntut ilmu pada gurunya, Imam Malik di kota Madinah. Kiki, Daman dan Yayan menyimak dengan seksama. Kulirik Daman dan Yayan, matanya berkaca-kaca. Sementara Kiki telah pulas oleh buaian mimpinya di tengah dongengku berjalan. Ketika itulah kugali semua hal tentang Daman. Dia tak canggung lagi dan bercerita awalnya malu untuk mengenalku. Oh, itu toh sebabnya, hehehe. Katanya ingin menjadi seorang guru. Melihat seorang guru yang berwibawa membawa angannya entah kemana.

“Aku ingin menjadi seorang guru Kak, aku ingin hidup senang juga Kak ” ucap Daman polos dan berbaring merebahkan tubuhnya bersiap mengarungi mimpi indahnya malam ini.

AKU TERSENTAK DARI TIDURKU. Di pojok kamar semua barang perlengkapanku telah ter-packing rapi. Pagi ini aku akan kembali ke habitatku di Jampang. Dalam kerumunan orang banyak yang hendak mengantar kami ke Nagajaya kucari-cari sosok bocah yang menyadarkanku betapa pentingnya menjadi seorang guru yang akan membentuk pola pikir anak didiknya, mencerdaskan bangsa. Tak kutemukan batang hidungnya. Barangkali dia ikut orang tuanya bekerja di sawah atau ladangnya. Entahlah... kudo’akan semoga impianmu terwujud Daman. I keep you in my pray...

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.