TERSADARKAN...
Sudah memasuki
pekan ketiga Huda dan teman-temannya menjalani proses kelanjutan dari Sekolah
Guru Indonesia (SGI-DD), magang di Yayasan Birrul Walidain Salabenda Bogor.
Proses ini merupakan rangkaian perkuliahan sekaligus tahapan warming up sebelum dia menjalani tugas
sebenarnya nanti di daerah penempatan, yakni sebagai guru model. Terasa sekali
oleh Huda bahwa tahap ini termasuk tahapan yang membuatnya bekerja dan berpikir
keras. Tidak adanya latar belakang keguruan ataupun kependidikan membuatnya
gamang tak tentu rasa dan arah. Dalam benaknya berbagai pertanyaan untuk
menyakinkan dirinya berbaris rapi, “Apakah kamu sanggup menjalani proses ini,
Huda? Bisakah kamu menjadi guru yang diidam-idamkan para siswa nantinya? Benar nich kamu akan jadi guru yang patut
digugu dan ditiru?” dan berbagai pertanyaan-pertanyaan senada mengitari
simpul-simpul pikirannya.
Mengobati pikiran
dan hati yang tak tentu itu, segala macam buku dan referensi menemaninya setiap
saat; ditempat tidur, ditangan dan dimanapun berada tidak lepas sedikitpun bundelan
berisi ilmu-ilmu yang berbau kependidikan. Tekadnya sudah bulat, tidak akan
menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan oleh SGI untuknya. Dia ingat betul
sewaktu hatinya telah berikrar untuk menyerahkan raga dan jiwa untuk
membangkitkan lagi kejayaan Islam yang pernah ada melalui pendidikan.
Janjinya
tersebut terucap ketika suatu siang dia tengah berjalan-jalan kesebuah tempat
dipinggiran kota kelahirannya. Disana didapatinya banyak anak jalanan yang lalu
lalang yang membuat gangguan disekitarnya. Mata Huda nanar memandangi anak-anak
bangsa yang tak tahu arah itu. Ada
seorang anak yang menarik simpati Huda. Anak dengan potongan rambut yang cepak ala tentara dengan wajah oval berkulit
sawo matang. Didekatinya anak yang sedari tadi diam dibawah pohon. Bocah kumuh
itu canggung dengan kedatangan Huda. Huda paham dan memberi isyarat dia tidak
akan mengapa-ngapain si anak itu.
“Kagak sekolah, Dek?”
Langsung Huda
meneror si cilik dengan pertanyaan yang mematikan. Si kecil Cuma diam bersikap
acuh. Huda memandangi anak itu lekat. Panas makin terik. Bau keringat menyapa
hidungnya. Kotoran sekitar pohon beterbangan diterpa angin.
“Sekolah?
Emangnya Loe yang nak ngebiayai
Gua?” Si bocah menjawab memakai
bahasa lingkungannya. Agak tersinggung,
itulah yang dirasa hati Huda. Tak pantas anak sekecil itu berkata seperti itu
pada yang lebih tua darinya. Untungnya Huda langsung sadar bahwa yang tengah
dihadapinya saat ini adalah anak yang biasa berada dilingkungan dengan
kata-kata yang jauh dari pengajaran. Dilemparnya jauh-jauh ketersinggungan
hatinya. Dicobanya mengikuti alur dengan sabar dan tenang. Lama pembicaraan
yang dilakukan Huda dan si Bocah. Dari perbincangan tersebut tahulah Huda bahwa
bukannya anak jalanan ini tidak mau sekolah. Namun, biaya sekolah itulah yang
menghalangi impian mereka meraih nikmatnya pendidikan. Huda meninggalkan anak
bangsa itu dengan motivasi dan harapan agar kelak dia bertemu dalam waktu dan
tempat yang berbeda, tempat dan penghidupan yang lebih layak.
Semenjak
pertemuannya dengan si bocah di bawah rindangnya pohon itulah, diqalbunya Huda mematrikan untaian
kata bahwa dia ingin menjadi seorang guru yang patut digugu dan ditiru prilaku
baiknya. Guru yang kaya raya, dengan harta itu dia ingin membangun Yayasan
pendidikan. Impiannya menyekolahkan anak yang putus sekolah. Membentuk pola
pikir dan mencerdaskan anak bangsa untuk mengenal Tuhannnya. Kini, proses itu
tengah berjalan. Huda berharap moga tak ada aral yang menghadang impian hidup
yang ditulis dihati terdalamnya itu.
Leave a Comment