Hanya Mimpi...
"Saat
nafsu tak mampu untuk dikekang,
Maka
tunggulah kehancuran akan menimpa"
19 Maret 2010.
Hari yang cerah,.. seperti biasa. Aku
mengikuti praktikum mata kuliah biologi konservasi yang merupakan salah satu
mata kuliah wajib di jurusan yang tengah ku tempati- Biologi. Meskipun waktu
praktikumnya sampai 2-3 jam yang berarti melebihi jumlah total sistem kredit
semester (SKS) yang hanya satu SKS. Namun, praktikum dari mata kuliah ini tidak
begitu membuatku repot, sebab hal-hal yang dipraktikkan tidak begitu ribet.
Walhasil membuat hatiku cukup senang menjalaninya J.
Sekitar pukul 17.00 WIB, praktikum ini akan
usai. Dan waktunya koordinator praktikum atau asisten memberikan pengumuman,
baik pengumuman tentang praktikum yang akan datang, maupun tentang tugas-tugas
yang musti dipenuhi atau tentang hal-hal lainnya.
Disaat koordinator praktikum berdiri di depan
para praktikan. Beliau siap dengan instruksi/ mengumumkan tugas yang harus
dibuat. Tugas kali ini cukup menarik yang temanya yakni tentang ‘ konservasi di
pandangan mata masyarakat’ atau tema yang senada dengan itu.
Pelaksanaan dari tugas yang akan dibuat dalam
file word ini adalah “mewawancarai” nara sumber yang dicari sendiri oleh para
praktikan. Sangat dianjurkan nara sumbernya yang telah berumur lebih atau sama
dengan 50 Tahun. Hal ini tentunya bertujuan untuk melihat pengetahuan yang
dimiliki oleh orang yang mau diwawancarai yang berkaitan dengan hal konservasi
makhluk hidup. Apakah mereka mengetahuinya atau tidak.
Hmm… tugas yang lumayan mengA-six-kan… pikirku
^_-
HARI RABU DEPAN merupakan akhir dari
pengumpulan tugas ini. Berarti deadline yang diberikan untuk menyelesaikan
tugas ini ialah dua hari menjelang praktikum selanjutnya dimulai atau kurang
lebih selama enam hari.
Dalam masa tenggang waktu tersebut, berarti aku
harus bekerja secepatnya untuk merampungkan tugas ini supaya tidak tergesa-gesa
nantinya , karena tugas dari mata kuliah lainnya juga ikut ngantri
menantikan giliran untuk diselesaikan.
Dengan berbekal tekad, semangat, dan
kepercayaan diri yang mantap. Pada keesokan harinya (20 Maret 2010) setelah
pengumuman tugas diberikan. Aku langsung mencari responden sebagai nara sumber
buat membantuku dalam menyelesikan tugas ini.
Lama ku berpikir, siapakah gerangan yang cocok
untuk menjadi “mangsaku” saat ini. Otakku terus dan terus bekerja dan
berusaha mencari orang yang tepat untuk aku wawancarai. Lama… L
Setelahku buka file-file yang tersimpan didalam
data memori otakku yang selama ini memuat daftar nama-nama orang serta “jalinannya”
dengan diriku, akhirnya kutemukan sasaran itu…
Mudah-mudahan tidak salah pilih…
Abak… ya… Abak Uwan. Itulah hasil pencarian
otakku. Abak, beliau adalah kakekku sendiri. Orang tua laki-laki dari
pihak ibuku.
Setelah hatiku “terpaut- menetapkan pilihan”
pada Abak (panggilan sayang dari para cucu). Aku langsung mencari.
Biasanya siang seperti ini beliau berada di rumah. Kucari… belum ketemu.
Kutanya Dedek, sepupuku, dia juga nggak tahu. Panjang waktu yang
kuhabiskan untuk bolak-balik “mengitari” rumah. Tetapi, yang dicari belum juga
menampakkan batang hidungnya. Bak seorang pujangga, lisanku menggumamkan lafaz,
“Hmm… kutunggu, pasti datang”. Hening -_-
MEMANG ANEH, BILA sesuatu hal yang ingin diraih
segera, menunggu sejenak bagaikan menunggu dalam kurun waktu yang lama. Namun,
bila hal yang menakutkan tengah dinanti-nanti, waktu yang lama bagaikan hanya
semenit.
Rasa itulah yang menyertaiku ketika aku
menunggu kedatangan Abak mau diminta ‘keterangan’ soal konservasi. Aku
tak tahu dimana beliau sekarang berada. Kulihat jarum jam yang setia menempel
di dinding. Seolah tak bergerak atau berhenti berputar. Padahal sesungguhnya ia
masih berputar seperti sediakala. Ah… perasaanku. Benar adanya Waiting is
boring-ting: menunggu adalah hal yang paling membosankan L.
Kuberanjak pergi meninggalkan ruangan yang
biasanya ditempati Abak untuk menjalani berbagai aktivitas beliau
sehari-hari sebagai carpenter. Kulangkahkan kaki menuju kamar. Sewaktu
jemariku mulai menyentuh gagang pintu. Sayup-sayup membran tympaniku menangkap
sinyal suara langkah kaki seseorang menuju ruang depan. Hatiku penuh harap.
Degup jantungku tak konstan.
Tanpa ba-bi-bu langsung kubawa langkahku kearah
sumber suara. Harapanku yang memuncak ingin bersua Abak pupus sudah.
Karena ketika ku coba membuka pintu ruangan depan. Tak kudapati
siapa-siapa—indra penglihataku tak menangkap bayangan orang. Tetapi, telingaku
masih mendengar suara langkahan kaki. Kucoba lagi mencari sumber suara.
Wele-wele… ternyata Cuma halusinasiku saja. Tak ada apapun dan siapapun.
Kukecewa. Kekecewaanku ku bawa bersama mimpi
indah dalam istirahat siangku (Zzz…).
BA’DA MAGHRIB KUDAPATI Abak telah duduk
di bangku kesayangan beliau di depan TV. Dengan kebijaksanaan yang beliau
miliki seolah tahu akan pikiranku, beliau memberikan penjelasan bahwa tadi
siang beliau go out to get air fresh. Itu hanya istilahku saja yang
menyatakan bahwa Abak sedang pergi bersilatuhrahim ke rumah Uwan-
adik laki-laki ibuku (Mamak).
Laksana seorang pangeran yang membujuk rayu
sang putri supaya beranjak dari peraduannya-mau bangun tidur. Ku hampiri Abak.
Aku duduk disamping beliau yang tengah berkonsentrasi pada program acara salah
satu channel TV di nusantara ini.
Selaku seorang cucu yang baik. Aku bersikap
manis. Aku menyadari bahwa sopan~bersikap baik terhadap orang tua adalah
perbuatan yang mulia. Selain itu juga aku sadar bahwasannya yang kuhadapi saat
ini adalah sesuatu hal yang serius-sesuatu hal yang menyangkut nilai
akademikku.
Sejenak, suasana sunyi tercipta. Yang ada hanya
suara yang bersumber dari speaker TV di depan kami- aku dan Abak, serta
diiringi oleh nyanyian sendu sang jengkrik dan kodok memohon turunnya hujan
dari langit yang berawan di luar sana.
Berawal… aku mulai berbasa-basi dengan Abak tentang
perjalan yang beliau jalani siang tadi. Suasana akrab yang memposisikan diri Abak
agar cucunya betah lama bersamanya selalu beliau jaga. Hal ini memberi peluang
besar untukku bertanya seputar pengetahuan-pengalaman sang Abak dalam
bidang konservasi.
Supaya tidak kaku dan terlalu gugup. Tentunya
aku akan bertanya dan menggali pengalaman Abak tentang konservasi dengan
bahasa yang mudah beliau pahami. Semisalnya, saat aku mulai bertanya dengan
menggunakan kata konservasi, kuganti dengan kata perlindungan atau kata-kata
yang bersinonimkan dengan hal yang ku maksud.
“Hmm… Bak, aie gadang yang ada di
kampung awak tu apa namanya ya?”
Suasana yang hening ku pecah dengan pertanyaan
perdanaku. Kupikir pertanyaanku termasuk kategori pertanyaan yang bodoh.
Bagaimana tidak, coba. Bukannya aku tak tahu apa nama sungai yang mengalir di
tanah kelahiranku. Namun, aku hanya sekedar ber-ba-bi-bi, membuka wacana
(he…he…) :D
Kupandangi mimik wajah Abak yang agak
kaget dengan “tembakkan” pertanyaan yang kulontarkan. Aku sengaja tidak
bermukadimah terlalu panjang terhadap beliau tentang maksud dan tujuan yang
ingin kucapai-tugasku ini, agar beliau tidak merasa di “tokohkan” sebagai nara
sumber dalam sebuah wawancara yang resmi, juga dari akunya sendiri tidak hendak
dengan suasana yang formal-formal yang hanya akan membebaniku sendiri.
Sekilas, kulihat Abak menatapku. Simpul
senyum terhias di wajahnya yang mulai berkerut-keriput. Beliau kembali focus
pada TV yang sedari tadi tak henti-hentinya berkoar-koar. Sedang aku terus
menunggu jawaban- ya, sebuah jawaban. Kudengar kemudian dari lisannya Abak
meluncur sebuah jawaban yang kunanti-nanti.
“O… itu, tu… Batang??? Anu…” Beliau kembali berpikir seolah mengingat-ingat
sesuatu yang telah lama luput dari ingatan
“O… ya, Batang Suliti”
Senyum simpul diwajah mengembang hendak berubah
menjadi tawa lucu. Aku mengangguk-angguk atas jawaban yang dipersembahkan
buatku yang sebelumnya telah kuketahui… (ketipu… he…he).
Di dalam hati aku tertawa riang. Geli rasanya.
Pas… Batang Suliti. Hatiku tersenyum membenarkan
ucapan Abak. Di atas kepalaku menari-nari bayangan Batang Suliti. Salah
satu sungai yang melintasi banyak Korong desa di kampungku. Sungai ini
membujur-membelah hampir semua daerah yang ada di kecamatan Koto Parik Gadang
Diateh (KPGD) dan kecamatan Sungai Pagu, Muara Labuh—Solok Selatan. Sungai
berhulukan di Korong Suliti. Dari sini, sungai tersebut mengalir tenang bagai
anak dara menjemput marapulai (e… salah, nggak?) hingga akhirnya akan menyatu
dengan Batang Bangko di Daerah Koto Baru- SolSel dan terus mengalir dan bertemu
dengan Batang Hari Yang berhulukan di Danau Diatas, Alahan Panjang-Kabupaten
Solok.
Dari Abak, saat ditanya tentang
jenis-jenis hewan yang ada dan yang mulai jarang ditemukan di sungai ini
didapat keterangan bahwa telah banyak hewan-hewan di sungai ini yang sangat
jarang untuk didapati. Bahkan tak ada sedikitpun, kalaupun ada, hewan seperti
ikan telah mengalami penyusutan ukuran. Abak menambahkan jenis hewan yang ada
dahulu sangat banyak, tetapi untuk saat ini jumlah yang ditemukan sangat
sedikit. Di antaranya ialah Ikan Gariang, masai, dan limbek (ketiga jenis ikan
ini sudah teramat jarang ditemukan~punah untuk daerah ini).
“Dahulu ikan tersebut sangat mudah untuk
menemukannya, namun saat ini sukar ditemukan. Jangankan untuk mendapatkannya
sebagai konsumsi, melihatnya pun sulit” tutur Abak berwibawa.
“kira-kira penyebabnya apa ya Bak?” Tanyaku
merendah.
“Ya,,, itu… tu pemakaian Putas (alat setrum
yang dialiri listrik yang digunakan untuk menangkap ikan secara instan) yang
tak terkendali, sehingga benih-benih ikan yang belum layak makan juga ikutan
mati termasuk hewan sungai lainnya”
“Ndak ado yang managahannyo Bak” Wee… bahasa
minangku meluncur.
“Ada… pernah ada peraturan yang berisikan
larangan menangkap ikan menggunakan putas. Tetapi warga kampung kurang
menghiraukan ajakkan ini. Sampai akhirnya peraturan tersebut menghilang laksana
angin berlalu begitu saja…” jelas Abak agak ketus.
Aku terdiam, setelah Abak memberi tahuku
tentang ciri-ciri ikan yang jarang didapati tersebut. Aku teringat masa laluku.
Aku terbang terbawa nuansa nostalgia ke beberapa belas tahun silam. Ketika itu
hujan lebat baru mengguyur bumi persada. Tanah becek, sungai meluap. Saat
itulah warga kampung dibikin heboh dikarenakan ada seseorang warga mendapatkan
seekor ikan limbek dengan ukuran yang besar yang terbawa bersama jaring (jala)
yang dia punya. Ikan tersebut didapatnya Di Batang Suliti. Orang
berbondong-bondong melihat ikan “langka” tersebut. Seolah mereka menemukan
barang yang selama ini hilang dibawa masa. Padahal, sebelum penggunaan putas
marak. Ikan tersebut mudah untuk diperoleh.
Aku prihatin :/
Kembali aku bertingkah bodoh dan melanjutkan
pertanyaan pada Abak yang sangat bersemangat dalam menjawab pertanyaan yang
kuajukan.
“Selain putas. Kira-kira apalagi penyebab
banyaknya jenis hewan sungai ini mulai jarang dilihat, Bak?”
Tanpa pikir panjang. Dengan lancar (???) Abak
memberi keterangan padaku bahwa yang menjadi sebabnya adalah pendangkalan
sungai dikarenakan aktivitas warga kampung yang sembarangan menebang hutan guna
memenuhi kebutuhan mereka . sehingga tidak ada lagi yang mampu menahan air
hujan yang turun. Akibatnya air mengalir deras bersama bebatuan menuju sungai.
Hingga akhirnya sungai menjadi dangkal. Oleh karena itulah, lubuk-lubuk tempat
hidupnya berbagai jenis hewan termasuk ikan menghilang seiring habitatnya
sirna.
Aku menghela napas panjang. Ingatanku membawa
aku pergi bersama angan ke kampung halaman. O… itulah sebabnya aku tidak lagi
menemukan lubuk yang dalam buat mandi bercimuk dalam sungai sewaktu pulang
kampung lebaran kemarin.
“Wawancara” semakin menarik, inginku lanjutkan
pertanyaan pada Abak tentang Hewan/tumbuhan yang “hilang”. Belum sempat ku
mengajukan pertanyaan yang hendak keluar lewat mulutku. Abak kembali
menjelaskan.
“Tu… baluik (belut)… kan lai tau ang ndak?
Payah kini di cari” Tanya Abak retoris.
Anggukan pelan ku-actingkan di hadapan Abak,
menyatakan bahwa aku tengah menyimak penjelasan yang beliau paparkan.
“Benar juga ya… Saat ini belut sukar didapat”
batinku.
Dahulu… tempoe doeloe, menjelang dini
hari yang gelap aku dan teman-teman se-gank-ku hobinya menangkap belut di
keramangan malam. Ditemani petromaks dengan cahaya seadanya, kami bersemangat
bermain lumpur sawah tempat kami mencari “mangsa”. Terkadang saking
bersemangatnya, sampai-sampai kami tidak tahu bahwa yang kami tangkap juga ular
tanah yang juga aktif malam hari, bergurau dengan kawanan belut-‘teman mereka.
Kami baru menyadari yang kami tangkap adalah salah setelah kami membongkar
hasil tangkapan siap disajikan dalam bentuk makanan lezat (hiy…). Tapi, saat
ini… mangsa kami (belut) menghilang sudah…
“Semenjak pengolahan sawah dibantu dengan
‘mesin bajak’. Sawah-sawah ikut tercemar karena bahan bakar yang dipakaikan,
sehingga belutpun ikut berduka-mati”. Jelas Abak.
“Iyo nak Bak, kalo pakai jawi(sapi) atau kabau
(kerbau) tantunyo karajo lamo. Tapi kalo la pakai masin, karajo awak makin
capek… nak bak!!” tambahku dengan nada yang khas pas diakhir kalimatku. Abak
mengiyakan tuturanku. Tampak rasa senang bergelayutan di wajahnya.
Kembali Abak focus pada tontonan beliau. Ku
beri kesempatan sedikit untuk abak untuk menikmati lagi lantunan acara yang
terpampang di layar TV. Acara headline news miliknya Metro TV berdisko di
wajahku. Kemudian, iseng ku coba “hajar” beliau dengan pertanyaan lain. Dengan
gaya sok laksana seorang sufi yang lagi merenung, aku sedikit berpikir,
pertanyaan apa yang mungkin untuk aku “beberkan”.
Hmm… yes.! Batang Lolo, Batang Limpauang.
Semuanya ialah nama jenis tumbuhan yang dipasangkan dengan nama beberapa Korong
yang ada di daerah kabupaten solok selatan. Ku berharap Abak bisa menjelaskan
kenapa nama tumbuhan itu yang ditempelkan buat Korong yang ada tersebut. Kenapa
tidak nama Apel atau Anggur untuk menyebut nama Korong itu? Pikirku.
Ba’da pertanyaan ku ucapkan. Abak mulai
bersejarah. Beliau berkisah bahwa nama Korong tersebut dikasih nama tumbuhan
sebab di Korong itu ditemukan jenis tumbuhan yang bersangkutan.
“Baitulah caro inyiak moyang awak dulu kalau
maagiah namo nagari” lanjut abak dengan bahasa Minang tulen yang lagi-lagi
dengan logat yang khas. Aku melongo. Beliau paham. Tanpa diminta Abak bersabda.
“Inyiak awak dulu barasa dari Pagaruyuang nan
disabuik inyiak anam puluah kurang aso. Di sabuik baitu karano jumlah mereka 60
urang kurang ciex. Nan ciex tu hilang di Korong nan kini dinamokan jo Korong
Pisau Ilang (salah satu Korong yang termasuk dalam wilayah kecamatan Pantai
Cermin, Solok)” sejarah Abak menggebu-ngebu.
“Apakah tumbuhan tersebut masih ada Bak?”
tanyaku polos. Jujur aku tak pernah kenal dengan tumbuhan yang namanya Batang
Lolo dan Batang Limpauang.
“Kini sudah sangat jarang. Mungkin disini tak
ada lagi”
“Kalau Batang (kayu) Surian?”
Kutahu Surian itu adalah sejenis pohon yang
berguna untuk bahan bangunan. Selain itu surian juga termasuk salah satu nama
Korong yang ada di kecamatan Pantai Cermin.
“Kayu surian agak banyak”
“Apakah abak tahu kegunaannya?”
“Taulah… untuk buat rumah juo!!”
Agar diskusi makin menarik, Kembali memori
otakku mencari-cari nama daerah yang dikaitkan dengan nama tetumbuhan. Yes…
eureka!! Hatiku berteriak. Batang Pulai. Nama korongnya Pulai Condong.
Kutanya apakah beliau tahu? Beliau
menjawab tahu.
Wah… a-six… J. Kulihat gerak jarum jam dinding
telah menunjukkan hampir dini hari. Sebenarnya aku mulai mengantuk. Tetapi,
disebabkan diskusi ini sangat penuh penasaran, kantuk yang menderaku hanyut
dibawa aliran cerita dan kisah-kisah “lucu” versiku.
Aku mau Abak berkisah tentang hewan-hewan yang
tidak lagi ditemukan. Khususnya di kampung beliau yang juga kampungku. Pucuk
dicinta ulampun tiba. Kuajukan permohonanku pada Abak. Abak yang lahir tahun
1932-an ini berkisah tentang pemberontakkan kawanan gajah ke kampung-kampung
(sekitar tahun 1950-an). Kawanan gajah itu memberontak dan meluluhlantakkan
rumah-rumah penduduk di salah satu daerah di Solok Selatan, sebab mereka merasa
terganggu oleh aktivitas manusia (warga) yang mulai merusak habitatnya.
“Ang lai mancaliak tulang-tulang gadang nan
basuo di Balun, kan?”
Abak bertanya padaku. Pertanyaan itu membuatku
ingat akan peristiwa yang terjadi tahun 2004 lalu. Dimana, salah seorang petani
dari Korong Balun (SolSel) menemukan tulang belulang yang berserakkan di hamparan
sawah garapannya. Benda-benda aneh itu didapatnya secara tidak sengaja saat ia
memangkul sawahnya. Kalau dilihat dari bentuknya, tulang-belulang itu mustahil
milik manusia. Kalupun iya, barangkali manusia tempoe doeloe. Tetapi,
masyarakat menduga itu adalah miliknya gajah. Cerita makin hangat apalagi Abak
sangat pandai membumbuhinya dengan mitos-mitos sezamannya.
“O… ya. Iya aku tahu”. Jawabku atas pertanyaan
Abak. Beliau menceritakan hal ini sebagai pembuktian bahwa telah terjadinya
pemberontakkan dari kawanan gajah ke pemukiman warga. Namun, sekarang aku tak
tahu lagi keadaan tulang yang pernah ditemukan itu.
Mataku menoleh TV yang masih nyala. Abak pun
ikut mengarahkan pandangannya ke TV. Disana—dilayar TV tengah diberitakan
suasana banjir yang melanda sebagian besar wilayah di tanah air ini. Ku curi
kesempatan. Kutanya lagi Abak yang kembali berkonsentrasi pada tontonannya.
“Bak, menurut Abak usaha yang dilakukan supaya
mengurangi atau mencegah tercipta banjir apa ya Bak?”. Maksud dari pertanyaanku
sebetulnya ialah apa usaha kita (Abak) dan masyarakat supaya bergiat dalam
bidang konservasi? Itu kira-kira.
Sebelum sampai pada jawaban yang ku mau. Abak
menguraikan sedikit kata-kata bijaknya, “Itulah… nafsu yang bila tak terkekang,
semaunya menebangi hutan. Sehingga jelas tampak kerusakan dimana-mana”.
“Jadi…?!” desakku. “Ndak ang caliak, nan ado di
Ladang Padi tuh?!”. Maksud Abak yakni Hutan Raya Bung Hatta sebagai salah satu
usaha konservasi. Dari perlindungan hutan disana diharapkan dapat mencegah
terjadinya banjir.
“Kalau kita tebang gimana Bak?”. Pancingku,
Abak menyahut, “Kalau TaHuRa itu kita babat. Banjir pastinya akan melanda kota
ini (Padang)” tegas Abak yang mulai mengantuk pula.
“Lain dari itu? Apo lai Bak?”. “itu..tu yang
ada di Sungai Penuh… tuh a”. Dialek khas minang muncul lagi. Maksud Abak adalah
Taman Nasional Kerinci Seblat sebagai sarana konservasi.
Walaupun Abak tidak tahu nama tempat/kawasan
konservasinya. Namun, aku tahu apa yang beliau maksudkan. Inginku bertanya
banyak hal lagi. Tapi, Abak tidak bisa melanjutkan. Beliau mau istirahat. Malam
makin larut. Aku juga tak tega terus-terusan “menghajar” beliau dengan desakkan
pertanyaan. Namun, sebelum Abak (yang belum sempat menamatkan Sekolah Rakyat
(SR), sekolah yang setara dengan SD saat ini) kembali ke peraduan. Satu hal
ingin kutahu dari beliau yaitu kenapa beliau bisa tahu tentang hal-hal “konservasi”
meskipun tanpa beliau sadari? Beliau memaparkan bahwa beliau bisa mengetahuinya
karena beliau suka jalan (travelling/tour) ke daerah manapun bila ada
kesempatan, baik kesempatan waktu maupun kesempatan uang—ongkosnya.
Mendapat jawaban seperti itu, terngiang kata
yang pernah diucapkan oleh Rene Descrates dalam pendengaranku. Ia berujar
“Cogito erga Sum” (aku berfikir, maka aku ada).
Aku mengucapkan terima kasih pada Abak. Walau
bukan dalam ucapan, lewat sikap tak apalah. Abak berlalu menuju peraduannya.
Akupun beranjak mengunjungi tempat peristirahatanku untuk malam ini- tidur.
Sebelum mataku terlelap, kesimpulan yang
kuperoleh lewat “wawancara” bersama Abak tadi ialah:
Berusahalah Melestarikan Apa yang Sedang Kita
Nikmati Hari Ini, Sebab Esok Masih ada Hari Yang Lain. Hari Dimana Anak-Cucu
Kita Juga Berhak Untuk Mengenyamnya- Ya… Alam Ini. Jangan Sampai semua ini
hanya menjadi mimpi pengantar tidur Buat generasi mendatang. It’s only word...
![]() |
Batang Suliti |
Hmm... Ini tulisan sebagai tugas Mata Kuliah
Biologi Konservasi yang pernah kujalani. Belajar memang! banyak kurangnya dimana-mana
(Versi Ayu Ting-ting Hehehe :D).
Tak lupa Kuucapkan Thank's banyak-banyak buat
Bapak Muhammad Nazri Zandra yang selaku Dosen Mata kuliah Biogeo and
Biokonser plus editor tulisan (oops, tugas ini Hehehe). Oya, tambahan gambarnya
satu lagi, mokashie banyak Pak!
Leave a Comment