Sabtu, 30 Agustus 2014

Kapan-kapan Kita Wawancara Lagi Ya…

Siswa Zaid Berperan Selaku Wartawan di Kantin Sekolah


Hingga pagi buta, masih bolak-balik RPP dan bahan ajar. Mempersiapkan diri hendak berbagi ilmu sama siswa Kelas Zaid.
Sebetulnya, pembelajaran dalam sub tema dua ini aksinya pekan depan. Tapi, tak mengapa toh kalau berpenat diri jauh-jauh hari daripada pening saat hari H nanti?
Di subuh damai itu, ide datang. Tibanya seiiring inspirasi dari Ariani, teman sekelas di Sekolah Guru Indonesia. Guru model yang pernah setahun mengabdi di pedalaman Kalimantan. Bude Ani, panggilan akrab Ariani sempat membintangi sebuah film dokumenter, Lentera Indonesia. Tak heranlah kalau Bude ini nanti akan nonggol di kotak persegi dialiri listrik tersebut.
Dari tipi, tampak Bude Ani menerapkan pembelajaran langsung pada siswanya. Dia mengajak anak didiknya yang masih es de mewawancarai murid sekolah menengah di dusun tetangga. Metode yang pernah diterapkan Bude Ani hendak kuterapkan pula di kelasku.
Mentari memamerkan senyumnya pada jagad raya. Menyemangati diri dan hati. Siswa dengan kostum kuning pucat tak sabar menanti kehadiranku. Tepat depan pintu bergantian kusalami tangan mungil nan polos. Senyum tak lepas dari wajah ceria mereka. Semangatku makin buncah.
Muraja’ah dan do’a menjelang pembelajaran berlalu. Bergantian kusapa tiap kelompok yang kubentuk pekan lalu.
“Siapa yang hobi nonton tv?” apersepsi dijalankan. Membumbung semua tangan menerobos angkasa. Satu persatu lisan bocah memaparkan apa yang kerap ditontonnya. Film kartun umumnya.
“Siapa yang suka nonton berita?” apersepsi masih berjalan. Tak banyak lagi tangan itu membumbung. Hanya hitungan jari.
“Apa sebutan untuk orang yang pekerjaannya mencari berita atau informasi untuk disampaikan pada orang banyak?” Pertanyaan pemancing. Tak ada yang mengangkat tangan. Yang ada Cuma keheningan pagi. Kuulangi pertanyaan yang sama. Tetap nihil. Diam dan masih belum ada yang menunjuk. Tetiba, di pojok kiri sana, satu tangan terangkat malu-malu.
“Wartawan atau Reporter ya Pak?” bocah berkerudung kuning belum yakin dengan jawabannya. Perlahan menurunkan tangan.
“Reporter! Yap. Benar sekali, Nisa! Reporter merupakan wartawan yang bertugas meliput peristiwa dan mengumpulkan bahan berita.” Pujiku dengan dua jempol.
“Nah, hari ini kira-kira kita akan membahas apa ya?” tanyaku lagi.
“Reporter. Ups, Wartawan atau wawancara ya Pak!”  Nisa menjawab mendahului teman lainnya. Di kelas Nisa memang salah satu siswa yang menonjol.
Sembari membagikan lembaran kerja siswa di tiap kelompok, kuterangkan tujuan dan manfaat pelajaran.
Enam kelompok terbentuk. Tiap kelompok terdiri dari empat hingga enam siswa. Kelompok satu hendak mewawancarai petugas perpustakaan. Kelompok dua dan lima  mewawancarai pedagang kantin. Kelompok lainnya akan beraksi dengan guru yang ada di kantor. Tugas siswa pada tematik Bahasa Indonesia dan IPS kali ini ialah menanyakan berbagai hal yang terkait profesi narasumber. Juga diharapkan siswa paham bagaimana cara berkomunikasi secara sopan dan santun dengan orang yang lebih tua.
“Oke. Semua siap?!”
“Belum Pak!” sanggah Nabil yang sibuk menempelkan pulpen pada wajahnya.
“Apa itu Bil?” kening mengernyit.
“Ini loh Pak, microphone biar suara saya keras sewaktu wawancara nanti” Nabil terkekeh. Owh, microphone buatan dari pulpen tanda semangat. Geleng-geleng. Senyumku tetap merekah.
“ Dalam hitungan keempat, silahkan tiap kelompok berperang di medan yang sudah ditentukan” istilah perangku menyemangati.
“Go!” semua siswa berhamburan menyerbu lapak masing-masing. Melakukan aksi sesuai instruksi.
Semua kasak-kusuk. Tertawa. Terdiam. Malu. Kaku, dan berbagai ekspresi kusaksikan dari bocah kelas empat es de itu. Masih banyak yang gugup menyusun kata berhadapan dengan narasumber. Tak apalah. Ini pelajaran dan pengalaman bagi mereka.
20 menit terlewati. Siswa memasuki kelas untuk presentasi hasil wawancaranya. Bermula dari kelompok satu.
“Pak, asik sekali. Kami dikasih permen sama petugas pustaka.” Bangga Hafidz.
“Kok bisa dikasih?”
“Karena kami ngomongnya sopan”
“Tepuk salut!”
“Siapa yang berkata sopan saat wawancara tadi?” tanyaku. Semua tangan terancung. Kujabarkan pentingnya berkata baik dan sopan. Siswa manggut.
“Apa yang kalian rasakan hari ini?”
“Senang pak!” teriak Nabil yang tak bisa tenang di kursi.
“Napa?”
“Karena saya dapat mewawancarai ibuk kantin dan ini pengalaman pertama saya Pak.”
“Saya juga Pak!” Alya yang biasa membisu buka lisan.
“Saya terharu sama Ibu kantin yang bangun dini hari mempersiapkan dagangannya”
“Pak… pak!” Kutolehkan muka kearah Albar yang memanggil.
“Masak saya disuruh baca ayat Al-Qur’an sebelum wawancara oleh Pak Anam” pak Anam adalah guru Tahfidz. Narasumber kelompok Albar.
“Baguslah itu. Ketimbang diperintah bersihin toilet?” candaku.
Hari ini semua siswa bersuara. Siswa perempuan tak lagi mengunci lisannya. Lega dada kurasa. Tepuk salut mengakhiri pelajaran.
Kutuju meja Iqbal memintanya memimpin do’a bersiap pulang. Tenang.
“Ada yang ingin bertanya lagi” kataku.
“Pak, sangat senang sekali hari ini. Kapan-kapan kita wawancara lagi ya. Kalau bisa sama Bule” Usulan Nabil, Si Kinestetor ulung diikuti suara huhuhu teman-temannya. Sedangku tersenyum geli melihat microphone dari pulpen menggantung tak karuan di wajah polosnya.۩