Minggu, 13 Juli 2014

Bahagiamu, Bahagiaku jua



Satu persatu teman-teman mengabari
 telah masang toga dalam pesta wisuda es dua yang jadi impian mereka.
Dan aku bahagia

Satu persatu dari sahabat
memberitakan bahwa mereka telah beroleh kerja sesuai selera mereka di tempat yang mereka suka Dan aku pun bahagia

Satu persatu teman-teman
 memberi tahu bahwa di bulan ini, menjelang ramadhan tiba mereka akan menikah dengan pujaan hati yang dicinta
 Aku pun ikut berbahagia

Satu persatu sahabatku
menceritakan bahwa mereka telah dikarunia momongan yang selama ini mereka damba
 Wah bahagianya

Baiklah kawan,
aku tahu kalian mengajakku untuk berbahagia pula kan?

Terima kasih
Aku mengerti
 Bahagia itu simple,
 saat teman bahagia,  kita mesti turut berbahagia pula
berharap keciprak kebahagiaan yang sama
 Untung-untung lebih
 Aseg_salam bahagia

Terpisah Pergi



Beberapa pekan belakangan, ingatanku memutar waktu. Bayangan beliau menari-menari diatas kepala, mengggodaku. Tak tahu kenapa. Mengobati kegundahan yang kurasa, kuabadikan detik-detik terakhir itu. Ya, Terpisahkan...

Aku tak percaya. Sungguh! Serasa baru kemarin pertemuan itu berlangsung. Bermula dari sebuah pertanyaan yang kuajukan saat kuliah, lalu berdiskusi hangat, berlanjut kisahnya tentang memaknai hidup dan masa depan, akhirnya keakraban itu tercipta. Bak karang dilautan, hatiku tetap pada pilihan, meneliti mikroalga.
Pucuk dicinta, ulam tiba. Beliau bersedia menerimaku sebagai anak bimbingannya guna menuntaskan tugas akhirku di Kampus Hijau ini. Bahagiaku mengangkasa.
Terasa sangat. Beliau betul-betul membimbingku, memberi arah, tanpa meninggalkan cela sakit di hati ini. Tiada sungkan melayani, meski terkadang aku dibuatnya malu sendiri. Dan kagumku pun memuncak. Tak ada istilah formal berlaku. Dalam perjalanan, di koridor kampus, bahkan disela-sela kerja mengambil sampel di lapangan, beliau tetap membantu. Dengan penuh kesabaran, tiada lelah (dan tak hendak menampakkan keletihan di wajahnya) tetap membimbingku, perlahan hingga pahamku datang. Sungguh menginspirasiku kini, bahwa "Mengajar dan mendidik tak harus terkungkung dalam ruang kelas nan (terkesan serba) formal" inilah yang menjadikanku lekas akrab dengan beliau.
Masih menari-nari bayangan itu dipelupuk mata. Perjalanan bersama, berpetualang menaklukan Danau Kembar, Singkarak, Maninjau. Pun sungai di Sumatra Barat. Dari Pesisir, Padang, Pariaman, Pasaman, Bukittinggi. Semuanya! Ya, beliau ajar aku demikian.
Kini kabar itu tiba-tiba datang. Innâlillahi wa innâilahirôji'un. Beliau pergi untuk selama-selamanya. Terpisahkan...
Selamat jalan Bapak Afrizal, S. MS, pembimbingku. Inspirator hidupku. Ketulusan dan kebaikan hatimu kan kukenang selalu.[]

Selasa, 08 Juli 2014

Goosebumps




Aku suka buku. Tiada buku otakku buntu. Bermula ketemu buku, kujatuh cinta membaca. Jadinya ya, membaca apapun.
Dalam lemari, banyak pajangan buku. Semuanya kukoleksi dari duit hasil jerih payahku. Tepatnya uang tabungan ortu sih, hehe.
Saat sekolah dasar, karya Marah Rusli, sebut saja Siti Nurbaya dan La Hami kulahap dengan nikmatnya. Buah tangan Sutan Ali Sjahbana, Dian Tak Kunjung Padam, Tak Putus dirundung Malang kulahap juga. Karya Hamka, Ali Akbar Navis dan beberapa sastrawan asal Sumatra khususnya Minang kusantap saat sekolah dasar.
Sewaktu es em pe, cuma ada Toto Chan dan Goosebumps. Kujarang baca karya sastra saat es em pe ini. Fokusnya akademik. Jadi, tak banyak hidangan sastra tersaji dalam otakku.
Kutatap koleksi buku itu. Ada Semua karya Andrea Hirata. Semua novel Ahmad Fuadi. Sang Penghadang, miliknya Taufik Tan. Laila Majnun. Khalil Gibran juga ada. Tak ketinggalan Habiburarrah El-Shirazy.
Kuobrak-abrik. Menyembul buku dengan cover kuning kunyit dipadu warna hitam. Disana ada gambar tengkorak melayang, disebelahnya berdiri kastil kuno mirip rumah hantu yang acapkali nongol di tipi. Itulah karya R.L. Stine. Seorang yang senang menulis kisah-kisah hantu.
Aku suka itu. Segala hal yang berbau horor sangat suka. Sebab itulah barangkali aku tak percaya dengan adanya hantu. Baiklah, kucoba tulis, mengulang kisah hantu itu. Selamat datang di Goosebumps. *coming soon ۩

Piala Dunia ato Piala Akhirat



Siswa TK Insani Bumi Pengembangan Insani
Buka Bareng akhirnya terlaksana juga. Sempat tertunda tersebab aktivitas individu yang tak mempertemukan dalam SATU waktu. Sesuai kesepakatan. Kutuju Rumah Singgah yang tegak mendekati bibir pantai. Disanalah tempat ifthor jama'i diadakan.
Alhamdulillah. Maghrib telah didirikan. Perut tak lagi mendendangkan tembang kesayangannya, lagu keroncong. Sendawa timbul pula. Bincang-bincang menjelang isya dan taraweh.
Hening sejenak. Beberapa anak didik nyamperin dimana kami, mentor bersila. Diskusi berkeliaran tiada tema. Sempat juga menyinggung piala dunia. Dan, peserta didik pun menguntai kata.
"Ndak nonton Piala Dunia, Pak?!" Awe menampilkan wajah polos.
"Indak!" tanpa kata pengantar. Tegas terjawab. Awe dan teman-temannya saling pandang. Heran barangkali, kenapa saya tak hendak menyaksikan pesta dunia itu malam ini.
"Kenapa Pak?!" tu kan, benar. Iwan memburu tanya. Senyum tersungging. Menunjukan deretan gigi tersusun rapi
"Bapak ingin menonton Piala Akhirat" garis keningnya mengerut. Mereka diam, memasang tampang melongo. Saya geli dalam senyum.
"Piala akhirat?" suaranya berbisik.
"Syarat memperoleh Piala Akhirat itu, Sholat, Puasa, jadi anak sholeh!" simpel. Mereka ketawa. Seolah menebak plesetan.
"Pahala Akhirat, Paaakkkk!!!" berteriak.
Adzan.
"Berburu Piala Akhirat, Pak! Assalâmu'alaykum" Awe, Iwan beserta konco melambai tangan. ۩