Kamis, 26 November 2020

Semarak Hari Guru Nasional 2020 (foto)

SDIT At Taubah dan SMP BP Tahfidz At Taubah mengadakan beberapa even dalam rangka menyemarakan Hari Guru Nasional 2020. Seperti apa keseruannya? Kita kepoin, kuy....

Minggu, 05 Juli 2020

Menunggumu




Di ruang kotak persegi yang serba putih ini, kupandangi wajah bidadari surga yang teramat sangat kucintai. Matanya sayu, air mukanya memudar bagai hilang cahayanya. Sebentar-sebantar dia memintaku menegukan air untuk membasahi kerongkongannya. Tak henti tanganku memijat anggota tubuhnya-terutama bagian kakinya yang katanya sangat lemas dan dingin membeku. Beberapa kali dia berandai-andai dalam ucapannya,

"Sendainya ini adalah akhir hidup..."

"Huft, Sayang..." Kukatupkan bibirnya dengan telunjuk; kuputuskan kalimat yang meluncur dari lisannya. Hati mana yang mampu menampung ucapan serupa itu? Hatiku gamang. Kristal-kristal bening perlahan menghiasi indra penglihatanku. Kubuang pandangan, menghilangkan gusar di dada. Dinding putih membuat mataku nanar. Pikiranku membara jauh.

Lamunanku buyar ketika perawat datang. Perempuan berbaju serba putih itu memintaku bergeser posisi. Kulihat cairan obat disuntikkannya lewat urat tangan kanan istriku. Sang Bidadari meringgis kesakitan, reflek badanku mendekat, kugenggam telapak tangan kirinya, erat. Napasnya bagai terhenti. "Seperti dibakar pembuluh darah ini" lirihnya. Bola Kristal yang sejak tadi bertengger di mataku hampir jatuh di lantai menyaksikan penanggungannya yang tak terpermaknai.

“Beberapa menit lagi siap dioperasi ya, Pak" perawat mengabari. Oh… rasa hatiku tak terkatai lagi gamangnya, apalagi saat kutahu bahwa tak boleh seorangpun masuk ke ruang bedah selain petugas, dan kulepas sendiri sang Kekasih ditelan ke ruangan yang kutahu sangat ia takutkan, tubuhku mematung kaku. Ia telah diseret ke lorong berliku dengan batas kematian dan kehidupan yang sangat dekat. Saluran pencernaannya akan dibelah, sedangkan aku hanya bisa diam terpaku di ruang tunggu melapal doa-doa yang gemetar.

Tiba-tiba aku menyumpahi diri sendiri atas apa yang menimpa Istri. Bagaimana bisa, diriku yang saban hari hanya duduk-duduk dan begadang, kurang olahraga, malas mengonsumsi buah dan sayur, buang air besar tersendat-sendat. Tapi, malah ia yang aktif mengajar- tanpa melupakan peran sebagai ibu rumah tangga yang tentu saja tak pernah alpa melahap buah dan sayur, buang air besar lancar dan pastinya sangat aktif beraktifitas- yang ditemani sakit saluran pencernaan? Oh Rabb, kenapa bukan aku saja?

Pekan lalu, badannya panas; demam. Tak ada keluhan lain darinya. Dia memintaku untuk menulis surat izin tidak mengajar. Dia berasumsi bahwa demamnya ini serupa dengan demam sebelum-sebelumnya; satu dua hari akan sehat kembali. Di hari ketiga muncul benjolan di salah satu bagian dari saluran pencernaannya. Demamnya memang turun setelah oleh dokter diberi obat demam dan obat nyeri serta antibiotik. Tapi, benjolan yang muncul ini membuat nyeri yang tak terkatakan sakitnya. Dia meronta menahan sakit. Diriku tak kuasa membendung iba. Kubawa dia kembali menemui sang dokter. Oleh dokter masih diberi obat demam, obat nyeri serta antibiotik dan berpesan,

"Bila dua hari kedepan benjolan dan nyerinya tak berkurang, silahkan datang lagi kesini. Kami akan buat surat rujukan." aku dan istri hanya mengangguk. Batinku berkata bahwa ini adalah sakit serius.

Benar memang, malam setelah kami pulang dari klinik. Tumbuh benjolan baru di saluran pencernaannya. Benjolan pertama makin bengkak sehingga nyeri tak tertahan tersebut membuat kekasihku tak leluasa bergerak. Paginya, segera kuda besi kuarahkan ke klinik untuk segera meminta surat rujukan—karena di klinik ini perlengkapan bedahnya tak memadai. Tanpa berkata apa-apa, sang dokter langsung memberi rujukan ke rumah sakit yang hari ini aku memaku diri di ruang tunggunya. Memang tak ada pilihan, harus operasi. Aku sungguh mengutuk diri sendiri.

Semua kenangan dan cerita bersamanya menari-nari dalam kepala. Aku merasa, dia sedang menjadi tumbal atas kesalahan dan kelalaian yang selama ini kuperbuat. Jikalaulah dibandingkan, siapa yang lebih berbakti sebagai pasangan, pasti dia pemenangnya; siapa paling keras kerjanya (dia paling aktif, tak alpa kewajibannya selaku ibu rumah tangga, diriku banyak santainya), dialah sang juara; siapa yang paling telaten mengurus anak, rasanya tak perlu jawaban tentang ini (diriku banyak gugupnya, ya Tuhan!); siapa yang paling repot kalau pasangannya sedang punya masalah, dia jauh mengalahkan saya (dialah pendengar setia dan pemberi solusi dalam setiap masalah yang kukeluhkan. Kehendakku selalu dikabulkannya. Sedangkan aku? Teramat sangat lalai akan isi hatinya); siapa yang paling mencintai pasangannya, oh diriku kalah telak! Ya Allah, ampunilah kelalaian dan kealpaan diriku selama ini.

Belum pernah aku merasakan kenelangsaan yang mendung, luluh dan rapuh semelankolik ini. Kalau ada momentum seseorang menancapkan ketobatan untuk lebih baik dalam menjalani hidup, termasuk urusan mencintai istri, ini adalah momentumnya. Momentum yang jatuh di atas kedaifanku sebagai lelaki, suami, kepala rumah tangga, atau teman bercerita yang seharusnya paling setia.

Aku menunggumu di sini, Cinta. Di ruangan yang penuh kemungkinan dan kengerian. Sungguh, aku tak ingin kehilanganmu. Aku akan tetap mengingat segala "kecurangan" dan "kesalahan yang sengaja" kuperbuat padamu dan itu membuatku tak kuasa menumpahkan air mata ini. Getaran doa kukirimkan untukmu, sayang.

***

Enam puluh menit pembedahan itu berhasil membuatku bermandi air asin. Kupeluk erat tubuhnya pascaoperasi sebelum perawat melarang karena sekujur tubuh istri yang baru siuman sedang sakit karena pengaruh bius yang baru habis. Dia tersenyum, kugenggam tangannya; tak ingin lepas. Bibirnya berbisik,

"Sayang, genggaman dan peluk ciummu membuat pedih luka operasi ini mereda seketika. Apalagi bila ditambah dengan rapalan ayat-ayatNYA" genggamanku makin erat. Kulisankan ayat-ayatNYA. Air mukanya cerah merona.[]


Sayang, janjiku padamu untuk menjadi suami yang cinta, setia, yang lebih sadar diri kalau ada orang yang begitu takut menjauh dariku- selain anak-anak kita, orangtua dan saudara-saudara kandung. Itu adalah dirimu, Istriku. Aku tak ingin mengalami titik balik yang melankolik dan patah seperti ini lagi.

Senin, 29 Juni 2020

Nama-nama Sahabat Rasulullah