Kamis, 12 Juni 2014

Aku (adalah) Omar Bin Khatab


Jam di dinding tersenyum memamerkan angka delapan. Satu persatu tanpa dikomandoi serempak membentuk lingkaran. Rapat dan merapat. Bersila melantai menghadirkan aura tersendiri bagi sahabat muda. 
Mentoring dimulai. Tilawah dan tausyah usai sudah. Ustadz yang datang jauh-jauh dari ibukota negara, Jakarta menyapa tiap individu yang hadir. Sungguh membakar semangat pejuang muda. Bergantian dapat tanya sama tapi tak serupa. Beliau menarik garis bibir, tersenyum. Deg-degan. Sekarang giliranku mendapat sapaan lembutnya.
"Apa kabar Omar?" tatapnya padaku. Kontan aku terheran. Urung menjawab pertanyaannya, malah balik bertanya.
"Saya bukan Omar, Tadz" tegasku sembari menyebutkan nama. 
Aku berpikir keras. Owh, barangkali beliau lupa namaku. Maklum, aku baru kenal beliau, pun beliau baru tiga pekan belakangan ta'arufan denganku. Ups tapi, kok sampai lupa ya? Bukankah udah hampir sebulan? Benakku dihadang beragam tanya.
Senyumnya tambah mekar. Aku tambah heran. Lamat-lamat lisannya menceritakan pribadi seorang Omar. Ya, mendeskripsikan Omar Bin Khatab, khalifah pengganti Abu Bakar Ash-Shidiq.
Umar adalah seorang yang pemberani. Dia penjaga dan pemelihara Islam” pelan Ustadz bagai berbisik menarik minat.
“Umar Seorang yang peduli pada lingkungannya. Kepedulian Umar terhadap anak-anak merupakan bukti nyata bahwa ia adalah orang yang sangat memperhatikan generasi mendatang. Hal ini juga menjadi bukti bahwa ia lebih maju daripada peradaban modern.” Aku manggut-manggut.
Sebagai khalifah, hidup sahabat Nabi yang dikenal dengan sebutan “Abu Hafsh” ini benar-benar didedikasikan untuk mencapai ridha Ilahi. Ia berjuang demi kepentingan umat, dan benar-benar memperhatikan kesejahteraan umat. Pada malam hari, ia sering melakukan investigasi untuk mengetahui keadaan rakyat jelata yang sebenarnya.
Suatu malam, beliau mendengar suara samar-samar dari gubuk kecil, Umar pun mendekat dan memperhatikan dengan seksama suara itu. Ia melihat seorang ibu yang sedang dikelilingi oleh anak-anaknya yang sedang menangis. Ibunya kelihatan sedang memasak sesuatu. Tiap kali anak-anaknya menangis, sang ibu berkata, “Tunggulah, sebentar lagi makanannya akan matang.” Sebuah rayuan darinya.
Umar pun penasaran. Setelah memberi salam dan minta izin, ia pun masuk dan bertanya, “Mengapa anak-anakmu tak berhenti menangis?
     “Mereka kelaparan!” Jawab sang ibu.
     “Mengapa engkau tak memberikan makanan yang engkau masak dari tadi?” Tanya Umar.
     “Tak ada makanan. Periuk yang dari tadi saya masak hanya berisi batu untuk mendiamkan mereka. Biarkanlah mereka berpikir bahwa periuk itu berisi makanan. Mereka akan berhenti menangis karena kelelahan dan tertidur.
    “Mengapa engkau tidak meminta pertolongan kepada khalifah? Mungkin ia dapat menolongmu dan anak-anakmu dengan memberikan uang dari Baitul Mal? Iatu akan membantu kehidupanmu dan anak-anakmu.” Ujar Umar menasehati.
    “Khalifah telah menzalimi saya…” Jawab sang ibu.
     “Bagaimana khalifah bisa berbuat zalim kepadamu?” Tanya Umar keheranan.
     “Saya sangat menyesalkan pemerintahannya. Seharusnya ia melihat kondisi rakyatnya dalam kehidupan nyata. Siapa tahu ada banyak orang yang bernasib sama dengan saya.” Jawab sang ibu yang menyentuh hati Umar.
     Umar berdiri dan berkata, “Tunggu sebentar, saya akan kembali.
    Walaupun malam semakin larut, ia bergegas menuju ke Baitul Mal. Ia segera mengangkat sekarung gandum di pundaknya. Satu sahabatnya, ingin menawari bantuan kepada khalifah karena merasa kasihan. Tapi dengan tegas Amirul Mukminin Umar menjawab, “Apakah kamu mau memikul dosa-dosa saya di akhirat kelak?
Semua takjub, ternganga mendengar uraian sang Aktor utama dalam Film Sang Murobbi ini. Begitu pula aku, hati tergetar dan mata berkaca-kaca. Apalagi setelah beliau memberi jawaban atas kebingunganku.
"Dan ana ingin antum memiliki sifat, sikap, dan karakter serupa Omar bin Khatab" ada harapan penuh ditiap tekanan kata-katanya. aku diam menginap-inapkan ucapan Sang Murobbi. Kuhela napas dalam. Kuisi dada dengan segarnya oksigen. Serupa dihipnotis, "Kan kuwujudkan. Tekadku meneladani Sang Omar" gumamku.

Alhamdulillah. Setelah membahas strategi dan rencana besar untuk perbaikan negri. Mentoring ditutup hikmat. Masing-masing membawa julukannya masing-masing. Ada Utsman Bin Affan, Mush'ab Bin Umair, dan Khalid Bin Walid. ۩

Saat Putri Belajar Berbahasa

Ashar bersama usai didirikan. Di beberapa bagian wajah masih bergelantungan sisa wudhuk bagai manik-manik teruntai indah. Kulayang pandang menyapu sesudut masjid yang tertancap kokoh di pemukiman Air Dingin, Padang ini. Tempatku berbagi dengan anak-anak istimewa. Yah, mengabdikan diri di Rumah Anak Sholeh.
Di pojok kanan sana, dibawah rindangnya pohon Hura crepitans tampak anak didikku berkumpul riang ceria. Hatinya nan suci terpancar lewat mukanya. Bagai magnet, kutertarik untuk menghampiri. Pelan, kubawa kaki menuju mereka.
 Sambutan hangat menyapaku. Bersama generasi bangsa ini, kularut dalam berbagai diskusi dan cerita tentang pelajaran yang kusajikan tadi. Sejenak diam tercipta saat Rizki muncul dan ikut pula bergabung.
 “Bapak ndak puasa kan?” siswa itu menatapku. Tersadar, ini hari senin, mereka sudah tahu dan terkadang mengamalkan sunah yang diajarkan nabi, puasa senin dan kamis.
 “Indak. Baatu, Ki?” jujurku. Bocah tersebut mendekatiku. Menyodorkan bungkusan. Berharap untuk kuterima.
  “Aa ko, Ki?” benakku penuh tanya. Heran.
 “Bila bapak ndak puasa, terimalah. Ini rujak dari ayah saya. Sebelum saya berangkat kesini tadi beliau menitipkan untuk para mentor (guru), juga bapak.”
 “Wah, elok bana. Mokasi yo!” Mataku berbinar cerah. Cilik itu berlalu mengayuh sepeda. Sedang, rujak pemberiannya, kusantap berjamaah dengan kumpulan siswa.
Satu-persatu dari kami sibuk mengelap kening tersebab peluh yang mengucur membanjiri tubuh, begitupun mulut yang panas kepedasan ulah cabai yang menyertai rujak, tak luput pula kami sapu bersih. Kulirik anak didikku memanfaatkan lengan bajunya untuk aksi lap-mengelap. Senyumku tersungging. Lucu tampaknya. Dan itulah masa kecil anak-anak yang penuh dengan kebahagiaan dan kepolosan.
Segala sesuatu bila dikerjakan bersama-sama akan segera dapat diselesaikan. Begitu pula dengan rujak buah ini, ludes dalam lahap cuma hitungan detik. Dari kejauhan, mendekatlah Putri, adik Rizki dan ikut berbaur dalam kerumunan. Kutarik garis bibir, menawarkan rujak yang masih tertinggal. Rujak hadiah dari uda-nya tersebut.
“Iput tidak mau do. Rujak tu kan dari Abang Put mah!” bahasa Indonesia dialek minang-nya menolak tawaranku. Bibirnya manyun manja.
“Dari siapa Put tahu, rujak ini dari Abang Put?” berpura kumenyelidik.
“Ayah kami kan yang manggalas rujak buah tu mah!” intonasinya tinggi percaya diri. Siswa lainnya terus khusyuk mendengar dialog kami.
Kubungkam mulut sejenak. Kutahu dan paham maksud ucapannya. Hanya saja ada pemaksaan bahasa yang dipakainya. Bahasa Minang yang diubah menjadi Bahasa Indonesia, lucu kedengarannya. Harusnya Putri menggunakan kata “berdagang” sebagai pengganti manggalas yang asalnya dalam bahasa minang, manggaleh.
Tak hendak membuat malu muridku itu dihadapan teman-temannya, kusembunyikan tawa. Aku tak ingin trauma yang pernah menimpaku sewaktu kecil terjadi pula pada Putri. Cukup aku yang menjadi korban atas ejekan lingkungan yang membunuh karakterku.
Kutarik napas dalam. Teringat lagi masa kecil. Ketika siang itu, sewaktu kujalani permainan kesukaanku, bermain masak-masakan. Ditengah asiknya permainan, teman-temanku menghadang dan mengatakan, “Jangan! Ini mainan anak perempuan.” Aku terdiam. Memangnya anak laki dilarang ya bermain masak-masakan? Pikirku saat itu.
Tak cukup sampai disitu, mereka bahkan melabeliku sebagai lelaki yang keperempuanan, banci. Semangatku luntur. Nyaliku untuk bermain ciut seketika. Semenjak itu, tak pernah kusentuh permainan yang berkaitan dengan masak-memasak, bahkan mendengarnya saja ada rasa takut menghantuiku. Padahal, kalau saja mereka melontarkan ucapan positif dan penuh motivasi padaku, barangkali saat ini aku akan menjadi lelaki yang jago masak dan menjadi chef internasional, hehehe.
 Kulirik Putri di depan. Kuajukan tanya, “Manggalas?! Maksudnya apa Put?” kubuat kerutan di dahi.
“Ndeh, Apak ini. Manggalas itu orang yang manjual itu hah!” volume suaranya makin meninggi meyakinkan. Siswa yang ada saling pandang.
“Owh... Berdagang” koor kawan-kawan Putri serempak. Semua tertawa geli.
Senyumku mekar bak kembang di musim semi datang. Mengerti bahwa siswaku tengah belajar berbahasa.
Tak terbayang, andai langsung kuhardik dan menertawai Putri penuh canda karena kesalahannya menggunakan bahasa. Barangkali akan hilang kreatifitas dan percaya diri seorang Putri. Hmm, memanglah, sebagai guru, harusnya mendidik anak mesti berhati-hati. Jangan sampai membunuh karakter dan potensi unggul yang dititipkan Allah padanya ulah kesalahan cara kita mengajar dan mendidik mereka. Semangat mendidik generasi sholeh. ۩