Saat Putri Belajar Berbahasa
Ashar bersama usai didirikan. Di beberapa bagian wajah masih
bergelantungan sisa wudhuk bagai manik-manik teruntai indah. Kulayang pandang
menyapu sesudut masjid yang tertancap kokoh di pemukiman Air Dingin, Padang
ini. Tempatku berbagi dengan anak-anak istimewa. Yah, mengabdikan diri di Rumah
Anak Sholeh.
Di pojok kanan sana, dibawah rindangnya pohon Hura crepitans tampak anak didikku
berkumpul riang ceria. Hatinya nan suci terpancar lewat mukanya. Bagai magnet,
kutertarik untuk menghampiri. Pelan, kubawa kaki menuju mereka.
Sambutan
hangat menyapaku. Bersama generasi bangsa ini, kularut dalam berbagai diskusi
dan cerita tentang pelajaran yang kusajikan tadi. Sejenak diam tercipta saat
Rizki muncul dan ikut pula bergabung.
“Bapak ndak
puasa kan?” siswa itu menatapku. Tersadar, ini hari senin, mereka sudah tahu
dan terkadang mengamalkan sunah yang diajarkan nabi, puasa senin dan kamis.
“Indak. Baatu, Ki?” jujurku. Bocah
tersebut mendekatiku. Menyodorkan bungkusan. Berharap untuk kuterima.
“Aa ko, Ki?” benakku penuh tanya. Heran.
“Bila bapak
ndak puasa, terimalah. Ini rujak dari ayah saya. Sebelum saya berangkat kesini
tadi beliau menitipkan untuk para mentor (guru), juga bapak.”
“Wah, elok bana. Mokasi yo!” Mataku
berbinar cerah. Cilik itu berlalu mengayuh sepeda. Sedang, rujak pemberiannya,
kusantap berjamaah dengan kumpulan siswa.
Satu-persatu dari kami sibuk mengelap kening
tersebab peluh yang mengucur membanjiri tubuh, begitupun mulut yang panas
kepedasan ulah cabai yang menyertai rujak, tak luput pula kami sapu bersih.
Kulirik anak didikku memanfaatkan lengan bajunya untuk aksi lap-mengelap.
Senyumku tersungging. Lucu tampaknya. Dan itulah masa kecil anak-anak yang
penuh dengan kebahagiaan dan kepolosan.
Segala sesuatu bila dikerjakan bersama-sama akan
segera dapat diselesaikan. Begitu pula dengan rujak buah ini, ludes dalam lahap
cuma hitungan detik. Dari kejauhan, mendekatlah Putri, adik Rizki dan ikut
berbaur dalam kerumunan. Kutarik garis bibir, menawarkan rujak yang masih
tertinggal. Rujak hadiah dari uda-nya tersebut.
“Iput tidak mau do. Rujak tu kan dari Abang Put
mah!” bahasa Indonesia dialek minang-nya menolak tawaranku. Bibirnya manyun
manja.
“Dari siapa Put tahu, rujak ini dari Abang Put?”
berpura kumenyelidik.
“Ayah kami kan yang manggalas rujak buah tu mah!” intonasinya tinggi percaya diri. Siswa
lainnya terus khusyuk mendengar dialog kami.
Kubungkam mulut sejenak. Kutahu dan paham maksud
ucapannya. Hanya saja ada pemaksaan bahasa yang dipakainya. Bahasa Minang yang
diubah menjadi Bahasa Indonesia, lucu kedengarannya. Harusnya Putri menggunakan
kata “berdagang” sebagai pengganti manggalas
yang asalnya dalam bahasa minang, manggaleh.
Tak hendak membuat malu muridku itu dihadapan
teman-temannya, kusembunyikan tawa. Aku tak ingin trauma yang pernah menimpaku
sewaktu kecil terjadi pula pada Putri. Cukup aku yang menjadi korban atas
ejekan lingkungan yang membunuh karakterku.
Kutarik napas dalam. Teringat lagi masa kecil. Ketika
siang itu, sewaktu kujalani permainan kesukaanku, bermain masak-masakan.
Ditengah asiknya permainan, teman-temanku menghadang dan mengatakan, “Jangan!
Ini mainan anak perempuan.” Aku terdiam. Memangnya anak laki dilarang ya
bermain masak-masakan? Pikirku saat itu.
Tak cukup sampai disitu, mereka bahkan
melabeliku sebagai lelaki yang keperempuanan, banci. Semangatku luntur. Nyaliku
untuk bermain ciut seketika. Semenjak itu, tak pernah kusentuh permainan yang
berkaitan dengan masak-memasak, bahkan mendengarnya saja ada rasa takut
menghantuiku. Padahal, kalau saja mereka melontarkan ucapan positif dan penuh
motivasi padaku, barangkali saat ini aku akan menjadi lelaki yang jago masak
dan menjadi chef internasional,
hehehe.
Kulirik Putri
di depan. Kuajukan tanya, “Manggalas?!
Maksudnya apa Put?” kubuat kerutan di dahi.
“Ndeh, Apak ini. Manggalas itu orang yang
manjual itu hah!” volume suaranya makin meninggi meyakinkan. Siswa yang ada
saling pandang.
“Owh... Berdagang” koor kawan-kawan Putri
serempak. Semua tertawa geli.
Senyumku mekar bak kembang di musim semi datang.
Mengerti bahwa siswaku tengah belajar berbahasa.
Tak terbayang, andai langsung kuhardik dan
menertawai Putri penuh canda karena kesalahannya menggunakan bahasa. Barangkali
akan hilang kreatifitas dan percaya diri seorang Putri. Hmm, memanglah, sebagai
guru, harusnya mendidik anak mesti berhati-hati. Jangan sampai membunuh
karakter dan potensi unggul yang dititipkan Allah padanya ulah kesalahan cara
kita mengajar dan mendidik mereka. Semangat mendidik generasi sholeh. ۩
Leave a Comment