Kamis, 12 Juni 2014

Saat Putri Belajar Berbahasa

Ashar bersama usai didirikan. Di beberapa bagian wajah masih bergelantungan sisa wudhuk bagai manik-manik teruntai indah. Kulayang pandang menyapu sesudut masjid yang tertancap kokoh di pemukiman Air Dingin, Padang ini. Tempatku berbagi dengan anak-anak istimewa. Yah, mengabdikan diri di Rumah Anak Sholeh.
Di pojok kanan sana, dibawah rindangnya pohon Hura crepitans tampak anak didikku berkumpul riang ceria. Hatinya nan suci terpancar lewat mukanya. Bagai magnet, kutertarik untuk menghampiri. Pelan, kubawa kaki menuju mereka.
 Sambutan hangat menyapaku. Bersama generasi bangsa ini, kularut dalam berbagai diskusi dan cerita tentang pelajaran yang kusajikan tadi. Sejenak diam tercipta saat Rizki muncul dan ikut pula bergabung.
 “Bapak ndak puasa kan?” siswa itu menatapku. Tersadar, ini hari senin, mereka sudah tahu dan terkadang mengamalkan sunah yang diajarkan nabi, puasa senin dan kamis.
 “Indak. Baatu, Ki?” jujurku. Bocah tersebut mendekatiku. Menyodorkan bungkusan. Berharap untuk kuterima.
  “Aa ko, Ki?” benakku penuh tanya. Heran.
 “Bila bapak ndak puasa, terimalah. Ini rujak dari ayah saya. Sebelum saya berangkat kesini tadi beliau menitipkan untuk para mentor (guru), juga bapak.”
 “Wah, elok bana. Mokasi yo!” Mataku berbinar cerah. Cilik itu berlalu mengayuh sepeda. Sedang, rujak pemberiannya, kusantap berjamaah dengan kumpulan siswa.
Satu-persatu dari kami sibuk mengelap kening tersebab peluh yang mengucur membanjiri tubuh, begitupun mulut yang panas kepedasan ulah cabai yang menyertai rujak, tak luput pula kami sapu bersih. Kulirik anak didikku memanfaatkan lengan bajunya untuk aksi lap-mengelap. Senyumku tersungging. Lucu tampaknya. Dan itulah masa kecil anak-anak yang penuh dengan kebahagiaan dan kepolosan.
Segala sesuatu bila dikerjakan bersama-sama akan segera dapat diselesaikan. Begitu pula dengan rujak buah ini, ludes dalam lahap cuma hitungan detik. Dari kejauhan, mendekatlah Putri, adik Rizki dan ikut berbaur dalam kerumunan. Kutarik garis bibir, menawarkan rujak yang masih tertinggal. Rujak hadiah dari uda-nya tersebut.
“Iput tidak mau do. Rujak tu kan dari Abang Put mah!” bahasa Indonesia dialek minang-nya menolak tawaranku. Bibirnya manyun manja.
“Dari siapa Put tahu, rujak ini dari Abang Put?” berpura kumenyelidik.
“Ayah kami kan yang manggalas rujak buah tu mah!” intonasinya tinggi percaya diri. Siswa lainnya terus khusyuk mendengar dialog kami.
Kubungkam mulut sejenak. Kutahu dan paham maksud ucapannya. Hanya saja ada pemaksaan bahasa yang dipakainya. Bahasa Minang yang diubah menjadi Bahasa Indonesia, lucu kedengarannya. Harusnya Putri menggunakan kata “berdagang” sebagai pengganti manggalas yang asalnya dalam bahasa minang, manggaleh.
Tak hendak membuat malu muridku itu dihadapan teman-temannya, kusembunyikan tawa. Aku tak ingin trauma yang pernah menimpaku sewaktu kecil terjadi pula pada Putri. Cukup aku yang menjadi korban atas ejekan lingkungan yang membunuh karakterku.
Kutarik napas dalam. Teringat lagi masa kecil. Ketika siang itu, sewaktu kujalani permainan kesukaanku, bermain masak-masakan. Ditengah asiknya permainan, teman-temanku menghadang dan mengatakan, “Jangan! Ini mainan anak perempuan.” Aku terdiam. Memangnya anak laki dilarang ya bermain masak-masakan? Pikirku saat itu.
Tak cukup sampai disitu, mereka bahkan melabeliku sebagai lelaki yang keperempuanan, banci. Semangatku luntur. Nyaliku untuk bermain ciut seketika. Semenjak itu, tak pernah kusentuh permainan yang berkaitan dengan masak-memasak, bahkan mendengarnya saja ada rasa takut menghantuiku. Padahal, kalau saja mereka melontarkan ucapan positif dan penuh motivasi padaku, barangkali saat ini aku akan menjadi lelaki yang jago masak dan menjadi chef internasional, hehehe.
 Kulirik Putri di depan. Kuajukan tanya, “Manggalas?! Maksudnya apa Put?” kubuat kerutan di dahi.
“Ndeh, Apak ini. Manggalas itu orang yang manjual itu hah!” volume suaranya makin meninggi meyakinkan. Siswa yang ada saling pandang.
“Owh... Berdagang” koor kawan-kawan Putri serempak. Semua tertawa geli.
Senyumku mekar bak kembang di musim semi datang. Mengerti bahwa siswaku tengah belajar berbahasa.
Tak terbayang, andai langsung kuhardik dan menertawai Putri penuh canda karena kesalahannya menggunakan bahasa. Barangkali akan hilang kreatifitas dan percaya diri seorang Putri. Hmm, memanglah, sebagai guru, harusnya mendidik anak mesti berhati-hati. Jangan sampai membunuh karakter dan potensi unggul yang dititipkan Allah padanya ulah kesalahan cara kita mengajar dan mendidik mereka. Semangat mendidik generasi sholeh. ۩


0 komentar: