Aku (adalah) Omar Bin Khatab
Jam di dinding tersenyum memamerkan angka
delapan. Satu persatu tanpa dikomandoi serempak membentuk lingkaran. Rapat dan
merapat. Bersila melantai menghadirkan aura tersendiri bagi sahabat muda.
Mentoring dimulai. Tilawah dan tausyah usai sudah. Ustadz
yang datang jauh-jauh dari ibukota negara, Jakarta menyapa tiap individu yang
hadir. Sungguh membakar semangat pejuang muda. Bergantian dapat tanya sama tapi tak
serupa. Beliau menarik garis bibir, tersenyum. Deg-degan. Sekarang giliranku
mendapat sapaan lembutnya.
"Apa kabar
Omar?" tatapnya padaku. Kontan aku terheran. Urung menjawab pertanyaannya,
malah balik bertanya.
"Saya bukan Omar,
Tadz" tegasku sembari menyebutkan nama.
Aku berpikir keras.
Owh, barangkali beliau lupa namaku. Maklum, aku baru kenal beliau, pun beliau
baru tiga pekan belakangan ta'arufan denganku. Ups tapi, kok sampai lupa ya?
Bukankah udah hampir sebulan? Benakku dihadang beragam tanya.
Senyumnya tambah
mekar. Aku tambah heran. Lamat-lamat lisannya menceritakan pribadi seorang
Omar. Ya, mendeskripsikan Omar Bin Khatab, khalifah pengganti Abu Bakar
Ash-Shidiq.
“Umar
adalah seorang yang pemberani. Dia penjaga dan pemelihara Islam” pelan Ustadz
bagai berbisik menarik minat.
“Umar Seorang yang peduli pada
lingkungannya. Kepedulian Umar
terhadap anak-anak merupakan bukti nyata bahwa ia adalah orang yang sangat
memperhatikan generasi mendatang. Hal ini juga menjadi bukti bahwa ia lebih
maju daripada peradaban modern.” Aku manggut-manggut.
Sebagai khalifah, hidup sahabat Nabi yang dikenal
dengan sebutan “Abu Hafsh” ini benar-benar didedikasikan untuk mencapai ridha
Ilahi. Ia berjuang demi kepentingan umat, dan benar-benar memperhatikan
kesejahteraan umat. Pada malam hari, ia sering melakukan investigasi untuk
mengetahui keadaan rakyat jelata yang sebenarnya.
Suatu malam, beliau mendengar suara samar-samar dari
gubuk kecil, Umar pun mendekat dan memperhatikan dengan seksama suara itu. Ia
melihat seorang ibu yang sedang dikelilingi oleh anak-anaknya yang sedang
menangis. Ibunya kelihatan sedang memasak sesuatu. Tiap kali anak-anaknya
menangis, sang ibu berkata, “Tunggulah, sebentar lagi
makanannya akan matang.” Sebuah rayuan darinya.
Umar pun penasaran. Setelah memberi salam dan minta
izin, ia pun masuk dan bertanya, “Mengapa anak-anakmu tak berhenti menangis?”
“Mereka kelaparan!” Jawab sang ibu.
“Mengapa engkau tak
memberikan makanan yang engkau masak dari tadi?” Tanya Umar.
“Tak ada makanan. Periuk
yang dari tadi saya masak hanya berisi batu untuk mendiamkan mereka. Biarkanlah
mereka berpikir bahwa periuk itu berisi makanan. Mereka akan berhenti menangis
karena kelelahan dan tertidur.”
“Mengapa engkau tidak
meminta pertolongan kepada khalifah? Mungkin ia dapat menolongmu dan
anak-anakmu dengan memberikan uang dari Baitul Mal? Iatu akan membantu
kehidupanmu dan anak-anakmu.” Ujar Umar menasehati.
“Khalifah telah menzalimi
saya…” Jawab sang
ibu.
“Bagaimana khalifah bisa
berbuat zalim kepadamu?” Tanya Umar keheranan.
“Saya sangat menyesalkan
pemerintahannya. Seharusnya ia melihat kondisi rakyatnya dalam kehidupan nyata.
Siapa tahu ada banyak orang yang bernasib sama dengan saya.” Jawab sang ibu yang menyentuh hati
Umar.
Umar berdiri dan
berkata, “Tunggu sebentar, saya akan kembali.”
Walaupun malam semakin larut, ia bergegas menuju ke
Baitul Mal. Ia segera mengangkat sekarung gandum di pundaknya. Satu sahabatnya,
ingin menawari bantuan kepada khalifah karena merasa kasihan. Tapi dengan tegas
Amirul Mukminin Umar menjawab, “Apakah kamu mau memikul dosa-dosa saya di akhirat kelak?”
Semua takjub,
ternganga mendengar uraian sang Aktor utama dalam Film Sang Murobbi ini. Begitu
pula aku, hati tergetar dan mata berkaca-kaca. Apalagi setelah beliau memberi
jawaban atas kebingunganku.
"Dan ana ingin
antum memiliki sifat, sikap, dan karakter serupa Omar bin Khatab" ada
harapan penuh ditiap tekanan kata-katanya. aku diam menginap-inapkan ucapan
Sang Murobbi. Kuhela napas dalam. Kuisi dada dengan segarnya oksigen. Serupa
dihipnotis, "Kan kuwujudkan. Tekadku meneladani Sang Omar" gumamku.
Alhamdulillah. Setelah
membahas strategi dan rencana besar untuk perbaikan negri. Mentoring ditutup
hikmat. Masing-masing membawa julukannya masing-masing. Ada Utsman Bin Affan,
Mush'ab Bin Umair, dan Khalid Bin Walid. ۩
Leave a Comment