Selasa, 11 Juli 2017

Sakit Pertama



“Tidaklah seorang muslim yang tertimpa gangguan berupa penyakit atau semacamnya, melainkan Allah akan menggugurkan bersamanya dosa-dosanya sebagaimana pohon yang menggugurkan dedaunannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ayah dan ibumu panik tak kepalang di hari ke sembilan belas bakda kelahiranmu. Bila pada hari-hari sebelumnya hulu tangismu tersebab lapar, buang air, gerah, atau paling mencemaskan karena pilek dan batuk––tersebab dirimu masih beradaptasi dengan “dunia baru,”¬––maka hari ini belumlah diperoleh penyebab isakmu yang meluluhkan hati itu. Kata Ayekmu––Amak ayah–– dirimu tengah diserang penyakit kabanyia––istilah orang-orang Bancah, kampung ayah untuk menyebut penyakit semacam campak (karena gejala penyakit ini agak mirip dengan penyakit campak).

“Liyeklah Yuang, badan anak Ang dipanuahi bintiak-bintiak sirah. Ado nan bananah bagai” jabar Ayekmu dengak aksen Minang khas. “Ondeh… Iko kabanyia mah!” intonasinya makin kental sekental bumbu rendang. “Pakai daun jarak, Yuang!” ayekmu menyebut obat untuk penyakit kabanyia tersebut. Ayah dan ibumu manggut-manggut saja.

Esoknya, pagi-pagi sekali, sebelum mentari meninggi, ayekmu datang membawa beberapa lembar daun jarak. Selepas mandi, daun jarak yang telah direndam itu diusap-usapkannya ke sekujur badanmu. Sehabis badanmu terusapi daun jarak itu, tangismu mulai reda. Lega pula hati ayah dan ibumu rasanya. Belum usai satu jam sesudah itu, ayekmu tergopoh-gopoh mendatangi ayah, tangannya ditemani baskom kecil berisi daun jarak yang direndam tadi.

“Yuang, liyeklah! Daun jarak ko lah layu. Aratinyo, anak gadih Ang ko kanai kabanyia” beber ayekmu sebelum sempat ayah melontar tanya. Ayekmu lalu meminta ayah mencari kelapa muda untuk pengobatan penyakitmu (kelapa itu nanti akan dibumbui irisan bawang merah, lalu airnya diminum oleh ibumu).

“Isuak sa lah, Mak. Wak liyek sahari ko dulu” tenang ayah pada ayekmu.

***

Bakda magrib di hari ke dua puluh, jeritanmu kembali memecah alam. Panik mendera ayah dan ibumu lagi. Ayekmu kembali datang membawa daun jarak, merendamnya dalam air, kemudian mengusapkannya pada badanmu. Tangismu bukannya reda, tapi berusaha mencabik-cabik jubah malam. Mendengar tangismu yang menjadi-jadi tersebut, ayekmu marah pada ayah tersebab kelapa muda yang dimintanya untuk obatmu tiada ayah penuhi. Akhirnya, ibumu menyarankan untuk membawamu ke tabib.

“Ada bisul di punggungnya” lisan tabib mengurai panik. Rupanya, muasal tangismu disebabkan bisul di tubuhmu bagian belakang yang sudah membengkak kelihatannya.

“Perbanyak makan sayuran. Jangan mengonsumsi telur dan ikan laut dulu ya, Buk” sang tabib menjawab kepenasaran ibumu. “Bintil-bintil merah yang ada di beberapa bagian tubuhnya ini disebabkan karena cuaca panas. Kebanyakan bayi memang mengalaminya. Ini masa adatasi tubuh bayi dengan lingkungannya yang baru. Jangan dipencet, ya. Nanti akan sembuh dengan sendirinya” petuah tabib sambil memberi sewadah salep yang akan dioleskan disekitar bisulmu itu dan obat berupa pil yang sudah ditumbuk buat nanti kau minum. Usiamu yang belum mencapai satu purnama sudah akan menelan bubuk pil? Ayah dan ibumu serta ayekmu makin bersedih. Namun, belum ada pilihan lain. Nak, ayah dan ibumu banyak belajar kesabaran darimu. Semoga dirimu lekas sembuh ya, Sayang. []

-Syawal 1438 H di Awal Juli 2017-

0 komentar: