Selasa, 11 Juli 2017

Romanmu Itu, Nak....



“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At-Tiin:4)

Ayah tiadalah lupa, Nak. Di malam yang dihiasi senyum rembulan serupa sabit itu; kala itu usiamu sekira lima purnama, di atas peraduan, ayah mereka-reka romanmu––sebutan orang-orang Bancah, kampung ayah terhadap kesamaan-kemiripan rupa seseorang dengan orang lain¬––seraya tangan ayah mengelus epidermis perut ibumu dan merasakan tendangan lima bulan yang kau ciptakan itu.

“Hmm, Romanmu serupa ayah, Nak. Hidungmu, matamu, mulutmu, hitam rambutmu, warna kulitmu, segalanya… mirip ayah. Sepertinya gen ayah kau warisi, Nak.” Lisan ayah perlahan menerka, dengungan kipas angin mengiyakan. Bola mata ibumu melirik. Ditatapnya air muka ayah sejenak. Kemudian, kedua bibirnya membentuk lengkungan serupa sabit yang tengah menggantung di angkasa sana.

“Hani berkeyakinan serupa itu pula, Da. Romannya sepertinya meng-copy-paste penampakan Uda, hehe.” Ucap ibumu diikuti kekehannya.

“Namun, Hani kurang bersetuju bila hidungnya dapat warisan dari Uda.” Lengkungan bibir ibumu membalik bagai payung terkembang. Manyun. Gurauannya dibarengi sentuhan jemarinya pada hidung ayah, lama-kelamaan dipencetnya hingga ayah sulit bernapas. Kau tahu, Nak, meski hidung sawo ayah ini tidaklah semancung miliknya Aktor Bollywood, akan tetapi, pesona hidung pesek ini tetap saja membuat ibumu mabuk kepayang, hehe.

***

Malam membentangkan permadani gelapnya. Semakin menua, kelamnya semakin pekat. Takbir, tahmid, dan tasbih masih bersahutan melalui pucuk-pucuk menara masjid di seantero persada. Petang rabu ini memasuki malam yang ke dua puluh Ramadhan.

Bakda Tarawih tadi, ibumu mengeluh, ada rasa sakit menyerangnya. Datangnya nyeri itu mendadak saja. Raut air muka ibumu tak pernah semeringis ini, meski kerap pula ditemani rasa sakit selama mengandungmu ini. Segera saja, ayah mengajak ibumu mendatangi tabib yang selalu menangani ibumu. Semula, ibumu menolak. Ia berkilah bahwa nyerinya akan segera pergi dalam beberapa menit mendatang, seperti sebelum-sebelumnya. Akan tetapi, ayah tak kuasa menengok ibumu menahan keperihan yang tengah ditanggungnya. Dengan agak memaksa, berangkatlah ibumu dengan ayah menuju kediaman Tabib Islah di Pandawa sana.

“Ini sudah bukaan enam, Buk… Pak!” ucap Tabib Islah memberi keterangan sesudah melakukan pemeriksaan terhadap ibumu. Ayah terperanjat, melongo tak percaya akan pendengaran. Ibumu tak sedikit pula rasa kaget menghadangnya.

“Ibu tak usah balik ke rumah lagi. Khawatirnya nanti bayinya lahir di rumah tanpa bantuan medis. Dan, ini berbahaya. Perlengkapan untuk lahirannya sudah sekalian dibawakah?” tabib berbaju putih-putih itu menyapu bola mata ayah dan ibumu bergantian. Ayah mengangguk cepat bagai diaba-aba. Untunglah tas merah jambu yang berisi perlengkapan buat lahiranmu itu ikut bergelayutan di kuda besi yang ayah tunggangi tadi. Ibumu dipandu oleh sang tabib untuk menanti dan mencari rasa sakit.

Penunjuk waktu yang menempel di dinding berdenting satu kali. Tepat pukul satu dini hari. Sudah bukaan sembilan. Ibumu berkali-kali menarik napas panjang dan menghembuskannya kembali. Perjuangnya tak tanggung-tanggung, perihnya sukar terucapkan, tak salah-lah bila hingga tiga kali ucapan Sang Nabi bilang bahwa ibu adalah orangtua yang paling mulia tinimbang ayah, karena perjuangannya antara hidup dan mati. Ayah dibanjiri peluh dan air mata. Tabib dan dua kawannya dengan penuh kesabaran membantu persalinanmu. Kata tabib itu, dirimu telah menemukan “jalan keluar”. Saat ejanan terakhir yang dilakukan oleh ibumu; lima menit lewat dari dentingan sekali tersebut, pecahlah suaramu, Nak. Tangismu mengonyak jubah malam. Berkali-kali ayah mencium kening dan wajah ibumu, ada syukur tak hingga mengisi relung hati ayah. Senyum mengambang di wajah ibumu. Sedang dirimu langsung didekapkan di atas perut ibumu.

“Lebih mirip siapakah romannya, Da?” bisik ibumu. Menataplah ayah menyapu ujung rambut hingga ujung kakimu. Bila diperhatikan sekilas, romanmu persis serupa ayah, terutama rupa wajahmu dan bagian hidungmu, hehe. (Bahkan kelak, kata orang-orang dan difoto pun, romanmu tetap lebih serupa ayah). Namun, bila lamat-lamat, dengan teliti retina ini mengamatimu, romanmu itu: sipit matamu, susunan alismu yang bagai semut beriring itu, lentiknya rambut matamu, tipisnya rekahan bibirmu, dagumu nan serupa lebah bergelayutan itu, kemilau rambut lurusmu, rupa telingamu, bentuk kukumu, warna kulitmu, dan postur tubuhmu itu bagai pinang dibelah… (bisa dua, bisa pula lebih, hehe) dengan ibumu.

Menatap romanmu itu, Nak, senyum ayah dan ibumu tak sirna merekah bagai rekahan delima. Romanmu sempurna. Kau sungguh ciptaan Sang Khalik nan seelok-eloknya, Nak. Bagi kami, orangtuamu, bagaimana pun romanmu, Nak; Apakah serupa ayah atau mirip ibumukah, sama saja; tiadalah akan menambah atau mengurangi kemuliaanmu disisi-Nya. Yang terpenting ialah ketaqwaanmu nanti, segala perangai – tindak lakumu diridhoi Allah dan Rasul-Nya. Bukankah orang yang paling mulia disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa?[]

-Sepuluh Malam Terakhir Ramadhan 1438 H-

0 komentar: