Sabtu, 10 Desember 2016

Peristiwa di Bukit Punggur


Acap, acapkali bahkan! Ditanya Hani.

"Lanjutin go-blog nya bila dipermula?" Tagihnya satu sore menanti senja.

"Rindu sangatlah sama coret-coretan hurufnya" bibir manyun, kepalanya bersandar di pundak.

Napas ditarik panjang. Merenung jua akhirnya. Perihal penyakit maaa... las yang bergelayutan di jemari beberapa purnama lewat.

Penyemangat semangat yang (agak) pudar, hadirkan anyaman abjab lawas, sekalian pula pengobat kangen pada Bumi Siger. Cerpen lama yang telah dibukukan dalam antologi kumpulan cerpen guru.

***

BILA TUAN DAN PUAN mempunyai waktu luang dan berkesempatan. Atau tengah berhari libur dan tak hendak menghabiskan masanya. Bolehlah kiranya Tuan dan Puan singgah ke tempatku, kampung kecil di pedalaman Sumatra.

Suka Mulya, itulah sebutan orang-orang untuk daerah yang kutempati. Jauh dari kebisingan kota. Jalanan setapak tanah merah diselingi bebatuan dengan tanjakannya dapat memacu adrenalin. Sisi kiri dan kanannya terhampar lembah dan perbukitan yang dipenuhi hutan karet dan kopi. Andai hujan menderai, jalanan setapak tersebut menjelma licin. Sukar untuk dilewati, terkadang dipenuhi lumpur hampir selutut. Jika tak berhati-hati, tentunya langsung kecebur masuk jurang. Hmm, bila Tuan seorang backpacker atau penggemar. Pas betul rasanya singgah kesini.

Tidak ada indikost ataupun rumah kontrakan. Namun, Tuan tenang saja. Tuan akan kutumpangi di tempatku, rumah yang kusebut bangunan rangkap empat. Istilah ini kuperuntukan pada salah satu bangunan di sekolah dasar tempatku mengabdikan diri. Bangunan mungil yang mempunyai empat fungsi sekaligus: kantor guru, perpustakaan dan dapur sekolah plus rumah tinggalku. Tak salah bila bangunan itu kusebut sebagai bangunan rangkap empat.

Jauh dari keramaian, Tuan pasti maklum perihal ini. kampungku tidak seperti perkotaan, akses jalannya saja memprihatinkan apatah lagi jaringan komunikasinya, sungguh sangat terbatas, hanya dua provider saja yang dapat digunakan disini. Itupun diperoleh dengan perjuangan yang tak tanggung-tanggung; harus memanjat pohon hingga ketinggian tertentu dan hanya ada pada pohon dan tempat tertentu pula serta munculnya cuma sewaktu-waktu saja.

Tuan tak usah merisaukan handphone ataupun ponsel pintarnya, dekat dari tempatku menetap, tegak kokoh sebuah bukit. Orang-orang menamai bukit ini dengan sebutan Bukit Punggur. Bukit yang kerap kali kutanjaki. Nanti Tuan kuajak mendatanginya. Lebih dari sekedar untuk menghirup udara segar, suguhan pemandangannya yang indah mampu menyihir mata, di bukit ini pula biasanya muncul satu-dua garis sinyal. Ya, hanya di bukit inilah adanya sinyal komunikasi yang nanti bakal bisa Tuan gunakan.

Oya, ada kisah menarik yang hendak kubagi pada Tuan perihal Bukit Punggur ini. Tuan ingin mendengarnya? Baiklah, beginilah kisahnya.

Tak berbeda dengan hari-hari sebelumnya, hari itu kembali kaki kulangkahkan menuju Bukit Punggur. Sengaja kudatangi waktu sore menjelang maghrib, waktu yang paling damai untuk menikmati lukisan alam nan indah ini. Kususuri langkah demi langkah, mendaki, menyibak semak-semak yang menemani pokok pohon karet. Suara kresekan tercipta dari dedaunan yang bergesekan dengan alas kakiku. Ku lihat ponsel yang sedari tadi tergenggam di tangan. Satu per satu muncul garis tanda sinyal itu ada. Satu per satu pula pesan masuk memenuhi inbox-ku.

Usai membalas beberapa pesan lewat ponsel, kualihkan bola mata ke sekeliling tempatku memaku pantat. Tampaklah kaki Bukit Punggur dengan permukaannya yang ditumbuhi hutan karet dan kopi. Beberapa bagiannya dipenuhi semak belukar. Sepanjang mata memandang terlihat laksana permadani hijau nan luas. Rumah penduduk penghuni Suka Mulya bagai kotak-kotak kecil berjajar. Sungguh, lukisan Tuhan yang tak tertandingi.
Kunikmati kedamaian yang ada, yang mulai bergerilya bersama aliran darah menjelajahi seluruh badan dan berhasil melapangkan dada. Pikiranku tenang. Segar menyapa saat perlahan sepoi angin menggelitik mesra kulit sawoku.

Kutarik garis bibir. Wajahku ceria. Namun, keceriaanku tak bertahan lama. Aku yang setia duduk di pokok karet ini mulai terusik. Mataku menangkap bayangan tergopoh-gopoh mengarah padaku. Pikiranku risau. Kuamati siapakah pemilik bayangan itu. Astaga, Pindai! Tahukah Tuan siapakah Pindai? Duda kampung beranak satu, bertato suka urak-urakan. Tersinggung sedikit hatinya, tiada segan dia menghabisi nyawa. Cuma beberapa kali aku bersitatap dengannya. Dan itupun membuat romaku berdiri saking takut dengan sangar mukanya.

Tetiba, teringat kejadian di kelas 5 pagi tadi. Bondan, putra tunggal Pindai ku beri teguran sebab ulahnya yang kerap kali menjahili teman sekelasnya. Bondan tak terima nasehat yang kusuguhkan. Kuajak dia menyelesaikan masalah dan meminta maaf pada Renggi yang tengah menderai air mata. Eh, malah dia mengancam akan mengadukan sikapku pada bapaknya, Pindai.

Reflek anggota badan siaga. Kakiku bersiap memacu langkah. Tapi urung. Teriakkan Pindai menghentikan langkahku. Daripada mati ditikam belati dijemarinya, baiknya kuberhenti. Gemetar sekujur tubuh, kaku. Dia makin mendekat.

“Duduklah!” Intonasinya kasar. Kubalikan badan. Tatapan Pindai penuh amarah dihadapan. Dia tegak menginjak rerumputan kering tak jauh didepanku. Aku masih berdiri mematung, kaku. Gemetar di tubuh belumlah pergi.

“Duduklah!” Teriaknya untuk kesekian kalinya. Kali ini diiringi seringai menakutkan. Melihat belati di kirinya membuatku panik. Apa maunya? Akan dimusnahkannya nyawa ini? Memutasi anggota tubuhku dan mengurai isi perutku seperti yang diperbuatnya di Dusun Singo Sakti beberapa waktu lalu?
Bayangan kematian berputar mengitari kepala. Sedang, di ufuk barat sana, tampak sang surya bersiap ke peraduan. Perlahan gelap wujud. Penuh waspada, kukabulkan pinta preman itu. Perlahan kuambil posisi duduk. Desah napasku memburu hingga menggetarkan gendang telinga.
“Nape kau pukul anakku?!” dia menanyaiku lewat dialek Ogan-nya. Pertanyaan tuduhan yang tak patut kuterima. Kucoba menahan amarah.

“Ape salah anakku?!”
Belum sempat kujelaskan, kembali teriakan suaranya mengagetkanku.

“Nape kau diam saje?!” Tatapannya tajam. Bola matanya beradu pandang dengan indra penglihatanku. Kembali ketakutan membuat kelu lidahku mengutarakan jawaban. Dia mulai kesal tampaknya. Kesal ulah diamku yang tiada memberi jawaban atas pertanyaannya. Dia mendekat, marah. Dipegangnya pisau belati kuat-kuat. Dan...

“Nape kau tide jawab tanyaku!” Pindai geram. Gerahamnya beradu terdengar. Mata merah melotot. Belati ditujukan pada leherku. Kilatannya menyilaukan mata. Kurasakan kulitku disentuh tajamnya. Ketakutanku menjadi-jadi. Keringat dingin membanjiri sekujur tubuh. Kucoba berteriak mencari pertolongan, tapi pekikanku ditelan angin ribut yang datang tiba-tiba.

Keberanianku muncul disaat-saat terdesak seperti ini. Tanpa pikir panjang, kaki kiri menendang selangkang si brewok. Dia terlonjak kaget. Teriakannya histeris. Tangannya memegang selangkangnya. Belati lepas dari genggemannya, jatuh menabrak tanah. Kesempatan itu kugunakan untuk menyelamatkan diri. Aku berlari sekencang-kencangnya. Seketika angin ribut mengobrak-abrik rimbunan hutan karet.
Dipenurunan sana, lariku makin cepat bagai kilat. Aku tak peduli sekitar, tak ada lagi kedamaian, pemandangan indah pupus sudah. Di benak hanya ada dua kata, selamatkan diri. Namun naas, kakiku tersandung akar semak, membuat tubuh ini terguling-guling bak bola salju hingga berakhir di lembah karet. Kepalaku terbentur keras di batu cadas. Aku merintih. Jemari menyentuh darah yang muncrat, kepalaku bocor. Oh, tidak!
Pindai menuruni bukit mengejarku.

“Hoiii… Berhenti!” Tampangnya penuh dendam membara. Kucoba bangkit, berdiri, dan lari. Terhuyung-huyung. Napasku tinggal satu-satu. Aku tak kuasa lagi membawa langkah ini. Mataku perlahan berkunang-kunang. Tampak Pindai dengan belatinya dekat dan mendekat. Tak terkira, secepat kilat dihujamkannya pisau itu tepat di ulu hati. Lolonganku memecah alam, menghalau angin yang semakin ribut. Bergetar bumi terasa. Penglihatanku kabur. Sayup-sayup pendengaranku sirna. Dunia gelap, hening.

Lama kegelapan menyertai penglihatanku, tiba-tiba kupingku mengumpulkan suara. Semakin lama sayupan suara itu makin jelas. Oh, bisakah Tuan menebak suara siapakah itu?

“Bapak..! Bangun, Pak!” ternyata suara murid-murid membuatku tersentak. Sontak berdiri dan melirik jam ditangan. Sudah pagi. Ramai murid mengedor pintu rumah menyadarkan alunan lelapKU.۩

Anggur Kekompakan


Lama sudah jemari tidak merayu tuts keyboard si Acy, laptop mungil nan sentiasa temani diri ini. Rindu jua menusuk relung dada hendak tunaikan hasrat hati. Saat ini, saya kepingin berbagi perihal display kelas. “Anggur Kekompakan dan Bersahabat” itulah judul untuk display kelas kali ini. Display ini saya buat untuk siswa yang ada di kelas yang saya 'kendalikan.’ Okelah, langsung aja saya jabarkan mengenai tata cara pembuatannya.
Semula, siapkan alat dan bahan yang diperlukan. Apa aja?
 Gunting/ cutter
 Spidol
 Lakban
 Double tip
 Lem
 Karton manila (warnanya sesuai selera)
 Kertas origami warna ungu, bias jua pilih warna ijo untuk memberi kesan anggur gitu.
 Foto siswa (termasuk foto gurunya ya 

Pertama, buatlah background display menggunakan karton manila. Boleh jua memanfaatkan background ‘bongkar pasang’ jikalau di kelasnya tersedia. Gunakan double tip, lakban, atau lemnya guna menempeli backround yang sudah jadi di dinding kelas.
Selanjutnya, buatlah pola bulat pada kertas origaminya. Potong hingga membentuk bulatan serupa buah anggur. Siapkan pula foto siswa yang telah diformat membentuk pola bulat jua, namun, ukuran bulatnya lebih kecil dari origaminya. Kemudian, tempeli foto siswa tadi di kertas origami yang telah membulat tadi. Lalu tempelkan di backround. Bentuklah pola daun menggunakan karton manila dan temple pula di backround. Setelah itu, TARAAAAA… wujudlah display kelasnya.
Demikianlah, dan selamat mencoba ya sobat guru!