Jumat, 31 Januari 2014

Percakapan Suatu Siang




Desis angin menjilat pori-pori, dan mengajak awan bermuram durja, murung. Kandungan air membuatnya mual, menggeliat. Tak lama, terseraklah muntah penuh tetesan air yang kerap dikumpulkannya.  Rinai mengawani siang sendu.

Huda baru keluar dari pusat perbelanjaan di kota Gajah. Dia cengar-cengir menghampiri Sobran, sedang ditangannya bergelayutan beberapa kantong kresek. Rupanya dia usai membeli beberapa keperluan.

“Apa hal, Da!?” lontaran Sobran mengagetkan Huda, karibnya. Semacam dia mengamati  air muka sahabatnya itu sedari tadi.

“Geli aja, Sob!”

“Apanya yang geli?!” kening Sobran membentuk kerutan.

“Saya beli barang  20 rebu, malah si kasir memberi saya uang 60 rebu “ sembari menampakkan barang belanjaannya Huda terkekeh.

“Emangnya kamu bayar pake uang berapa?!”

“50 rebu! mestinya kasir itu memberi 30 rebu kembaliannya, kan!?”

“Brarti kelebihan dong, uangnya!”

“Iya, tapi saya udah balikin lagi uangnya”

“Cieee... Karibku udah bisa jujur ni yeee!” tawa Sobran diikuti jambakan tangan terhadap motornya. Kendaraan di starter, remaja putih-biru itu melaju merambah rinai nan tambah deras.

“Ndak berkah bila uang itu kita ambil, Sob!” suara Huda berlomba dengan deru motor dan tangisan rinai sesaat setelah pertanyaan ditujukan padanya.

“Benar sekali! Tak ada keberkahan pada barang yang haram...”
Sobran berhenti sejenak, membenarkan posisi duduknya, lalu memacu kendaraannya kembali.

 “Jangan senang hati dulu bila kita ‘merasa’ telah berhasil menipu orang, padahal diri sendiri yang tertipu”

“Maksudnya!?”

“Bila kita sudah memberanikan diri untuk tidak jujur, berbohong, atau menipu orang, maka bersiap pulalah untuk tidak dijujuri, dibohongi, atau ditipu orang kelak!”

“Tepat sekali, Sob!”

“Tapi, saya heran pada koruptor yang enteng dan tenang betul merampas barang yang bukan jadi hak miliknya! Apa dia kekurangan gaji kali ya, Sob?!” semprot Huda.
Rinai menjelma menjadi deraian hujan. Laju kendaraan makin dipercepat. Tepat di depan sebuah rumah biru muda. Kuda besi itu berbelok, menembus pagar rumah dan akhirnya berhenti.

“Hatinya udah kasar, mati. Sensitif qolbunya tiada lagi. Hingga cela dan prilaku buruk yang diperbuatnya tiada dirasanya.” Jabar Sobran, melangkah menembus batas pintu diiringi Huda, karibnya.

“Dan pastinya harta itu tiada berkah sedikitpun. Mudah sirna seketika!” lanjut Sobran mengakhiri percakapan siang itu.

_Rinai siang Bukit Kemuning, 14 November 2013_


Muslimorfosis, Bukan Teroris



 
Yusuf Islam - Cat Steven
Aku tak terlalu ingat betul, kapan kali pertama kita jumpa, berkenalan, dan akrab. Apakah disaat kita satu bus menuju kampus di awal tahun dulu? Atau ketika kita bersitatap pada masa MOS itu?  atau saat kita dikumpulkan dalam satu asrama, yang wajib dijalani siswa baru seperti kita? Entahlah! (dan tak perlu itu), yang kuingat pasti darimu dan takan terlupa dari ingatanku (dan kejadian inilah awal mula keakraban kita luntur) ialah saat lisanmu membuatku luka, lalu tiba-tiba kaku, bergetar, sekaligus meradang.          
    “APA?! Jenggot? Nanti dibilangin teroris lagi! Apa kau tidak takut?!” derai tawamu mengomentari penampilan baruku senja itu, di gerbang kampus. Apa kau tidak melihat perubahan rupaku saat itu? andai kau tahu, bagai terkacak leherku ketika kau bilang begitu. Aku tahu maksud ucapanmu itu. Lidahmu penyambung kata dari orang-orang itu, kan?! Yang bilang, yang berjenggot sama dengan teroris? (ah, latah betul lidahmu, dangkal betul pemikiranmu menilai seseorang hanya dari penampilan). Namun, aku mafhum akan hal itu. Kau mencoba mempengaruhiku, sepertinya.
            Nyata sekali bahwa tiada sekali itu kau berucap begitu padaku. “Sok ahli surga Lo!” Ingatkah kau dengan kalimatmu itu menyembur padaku? Senja itu, masih di gerbang kampus di februari sesaat sebelum kau merayakan yang katamu valentine itu? Aku hanya diam waktu itu, mencoba meredam amarah dalam dada.
Kau kira aku benar-benar mendiamkan perangaimu itu! Tidak, ingin rasanya aku membalas ucapanmu itu, dan berkata “Ah, dasar Lo, sok ahli neraka!” atau menyeprotkan kalimat “Sok kotor Lo!” sebagai jawabanku atas istilahmu padaku “Sok suci Lo!” tapi aku tak hendak berlaku serupa itu. Bila hal demikian kutunaikan, sama buruknya aku denganmu berarti.
Beralihnya penampilan dan sikapku saat ini telah kupikirkan matang-matang. Jadi, bagiku tak masalah, aku tak akan terpengaruh bila kau berkata begitu. Kau belum tahu barangkali.
            Dulu aku sama sepertimu, dengan mudahnya lisanku men-judge seseorang. Tapi, itu dulu. Ya, dulu sekali. Kau penasaran. Baiklah, akan kukisahkan (kembali) hal yang dulu itu.
            Sewaktu orang-orang itu bilang bahwa negara ini sudah mengalami kemajuan, aku percaya penuh. Saat mereka memberitakan bahwa negara ini belumlah merdeka, aku yakin, seyakin-yakinnya, karena memang aku belum merasakan kemerdekaan yang dimaksud. Saat mereka membeberkan betapa bobroknya negri ini ulah korupsi menjamur dimana-mana, aku mengangguk tanda setuju.
Saat mereka berkoar mengatakan bahwa banyak teror yang menimpa negri ini. Aku yakin pula. Ujungnya mereka berteriak bahwa sarang teroris ada pada Rohis, aku terdiam memahami dan mengalisa ucapan itu. Rohis? Sarang teroris? Keningku mengerut. Tak mungkin! (tak akan pernah), batinku. Pasalnya, banyak teman sekampusku bernaung dan aktivis di Rohis itu. Dan sikap-sifat mereka jauh dari istilah teroris itu. Kau pasti tahu teroris itu apa! Pembuat makar, bukan? Hingga saat ini belum sempat gendang telingaku bergetar memperoleh berita bahwa teror itu dilakukan oleh Rohis. (Baru gosipan mereka saja). Termenung aku dibuatnya. Kepercayaanku pada orang-orang itu pudar sudah. Dan kejadian itu membuatku merubah semuanya.
***
Sembilan tahun lamanya kita tiada bersua. Kukira kau telah tiada, sudah meninggalkan dunia nan sesungguhnya fana. Nyatanya dugaanku salah, tepat di gerbang kampus, kau ingat?  tempat dimana kau mengataiku sebagai teroris itu, kita kembali bersua. Aih, kenapa bisa? Masih di tempat yang sama, tetapi suasana dan aura pertemuan kita telah berbeda. Semua berubah. Kuingat dulu, kau mengenakan  setelan jeans biru dipadu oblong ketat membalut tubuh kekarmu. Rambut gondrong acak-acakan, beberapa gelantungan karet hitam (aku menyebut gelangmu demikian) menghiasi pergelangan tangan kirimu. Suram mukamu tiada dapat disembunyikan. (sewaktu itulah kata menyakitkan itu terurai buatku). Sekarang? Keajaiban apa yang sudah menghampirimu, kawan? Salah lihatkah mata ini? Kau mengganti pakaianmu. Merawat jenggot yang katamu (dulu) indikasi teroris! Kemana muka surammu itu berlalu?
            Perlahan kudekati dirimu yang duduk dideretan bangku dekat gerbang itu. Kau sedang menuntaskan muratolmu. Perlahan kau (mencoba) menghindar. Berpura tak menyadari kehadiranku disebelahmu.  Senyumku mengambang. Kutepuk bahumu. Lagi-lagi kau berpura terkejut alang-kepalang. Kucoba cairkan suasana. Kau bayarkan penasaranku.
“Usai peristiwa itu, oleh orangtuaku, aku di-pondok-kan di daerah Jawa Timur. Perlahan kecanduanku terhadap barang haram tersebut memudar. Seiring waktu, aku mencoba mendalami Islam. Sekarang inilah aku. Seperti yang kau lihat, kawan”  
Kutatap dirimu. Kesejukan terpancar dari air mukamu. Dibalut gamis biru, pengganti jeans biru yang kau kenakan dulu. Mataku berkaca mendengar kisahmu. Kurangkul dirimu, kau balas rangkulanku. Kita saling berangkulan, berjalan menyusuri jalanan menuju masjid kampus mencurahkan segala asa pada Sang Kuasa.
 Sungguh, Allah akan menyesatkan siapa yang dikehendakinya dan akan memberi petunjuk kepada siapa yang dikendaki-Nya.  ۩

_Langit Jingga Batam, Agustus 2013_



Minggu, 19 Januari 2014

Semua Siswa Pintar!


Adalah Hazelfati, seorang siswa yang duduk dibangku kelas I (satu) di sekolah tempatku magang. Jumpa pertama kali, hatiku tiada terpikat sedikitpun. Teman sejawatnya bilang bahwa dia “nakal” sekali. Mengusik Ketenangan teman-temannya terutama yang siswi. Lihat saja, dalam sekejap segera dia beranjak meninggalkan kursi. Berjalan sana-sini, menganggu teman-temannya yang lagi konsentrasi. Nggak mau nulis. Kalaupun ada, itupun lambat sekali. Eits, tunggu dulu. Selama kuhadir dikelasnya ini sebagai observer, kudapati ada yang berbeda dari diri Hazelfati. Walaupun digosipin nakal, Hazelfati seorang yang bertanggung jawab juga, coba perhatikan dipojok kelas sana, tempat dimana dia berada. Dia sedang berusaha menuntaskan tulisan yang ditugaskan guru padanya. Hmm, lambat  memang, namun tetap berusaha mengerjakan.
Kupelajari lagi tentang bocah yang kerap disapa Hazel ini, dia seorang yang kritis juga. Teringat olehku beberapa waktu  lalu, dia bertanya berbagai hal: tentang astronot, manusia langit, ular besar (anaconda), dan lain sebagainya. Kewalahan aku dibuatnya.
Tepat di penghujung pelajaran, guru bertanya  mengenai materi yang disajikan hari itu. Diluar dugaan, ternyata si cilik bernama lengkap Hazelfati Sofar Raisyah yang sering dianggap nakal itu mampu menjawab semua pertanyaan yang diajukan guru padanya. Bahkan, yang membuat hatiku jadi jatuh padanya ialah Hazelfati malah banyak bertanya hal-hal yang tidak disangka-sangka guru sebelumnya yang barangkali belum terpikir oleh anak seusianya.
Selain Hazelfati, ada juga siswa unik yang kujumpai di sekolah ini. Namanya Farrel, siswa kelas VI (enam). Beberapa waktu lalu, aku masuk kelasnya mengajar Pendidikan Agama Islam. Pertemuanku dengannya ini membuatku agak sanksi bahwa Farrel akan bisa mengikuti rangkaian materi ”Zakat” yang hendak kusampaikan. Pasalnya, bocah itu dari awal tidak pernah menyimak apa yang kusuguhkan. Dia sibuk sendiri dengan dunianya dan mengajak teman sepermainannya untuk bercerita ngalor-ngidul. Aku memelas dada dan menghela napas panjang melihat pemandangan kelas pagi itu. 
Diakhir pelajaran, ku berikan tes lisan untuk semua siswa. Tanya jawab seputar “Zakat” memenuhi ruangan kelas. Tibalah giliran Farrel mendapatkan tes lisan. Dan lagi-lagi aku dikagetkan oleh bocah yang kukira tak pernah memperhatikan penjelasanku itu, Farrel dengan gagah berani mempersembahkan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan yang kuberi.
Berbeda dengan Hazelfati dan Farrel. Putri, teman sekelas Farrel itu seorang yang pendiam, selalu bersikap dan duduk manis saat pelajaran dijelaskan, tak banyak gerak beranjak dari kursinya, tidak suka bikin onar di kelas serta patuh dan taat pada ucapan sang guru. Dengan sikap yang ditampilkannya itu kukira dia murid yang pintar. Dan benar adanya, ternyata Putri memang siswi yang pintar. Dia memberikan jawaban yang sangat hebat siang itu.
***

Dalam ilmunya, ternyata kecerdasan dan gaya belajar setiap orang itu memang berbeda-beda. Ada siswa dengan kemampuan visual-nya dominan, yaitu mempelajari sesuatu dengan kapasitas untuk memikirkan imaji-imaji dan gambar, mampu melakukan visualisasi dengan tepat walau dalam bentuk abstrak. Orang dengan gaya belajar seperti ini berpotensi sekali untuk menjadi pematung, artist, penemu, architect, mekanik, tukang mesin, dan masinis. Kemudian ada kinestetik, yaitu gaya belajar dengan kemampuan untuk mengendalikan gerakan tubuh dan terampil memegang alat-alat. Potensi yang dimiliki anak ini adalah menari, olah raga/tubuh, praktek langsung, acting. Potensi karir orang yang belajar dengan gaya kinestetik ini ialah atlit, guru olah raga, dancer, aktor, dan petugas pemadam kebakaran. Ini gayanya Hazelfati si lincah itu. Ada pula kecerdasan verbal-linguistic Intelligence, contohnya Farrel diatas. Kecerdasan ini memiliki ciri-ciri keterampilan verbal yang berkembang dengan baik dan kepekaan terhadap suara, arti dan ritme kata-kata. Potensinya kira-kira dalam hal sastrawan, jurnalis, pengarang buku, guru, pengacara, politisi, dan penerjemah.
Sebagai seorang guru, kita perlu memahami hal tersebut. Memahami keunikan dan perbedaan setiap siswa dalam menangkap materi ajar merupakan hal yang urgen bagi setiap guru atau pendidik. Sehingga para guru mampu memberikan pelayanan dan perlakuan secara tepat saat pembelajaran dilangsungkan. Pelayanan dan perlakuan disini maksudnya ialah gaya mengajar guru yang harus disesuaikan dengan gaya belajar siswa.
Mempelajari bagaimana memahami gaya/cara belajar siswa ini bertujuan untuk membantu kita memperkuat hubungan dengan mereka dan mempermudah materi ajar diterima dengan baik oleh mereka. Menurut Bobby DePotter, Presiden Learning Forum Super Camp dalam bukunya Quantum Learning, ada beberapa tahapan untuk mengetahui bagaimana gaya belajar yang dimiliki oleh siswa kita, salah satunya ialah dengan mengenali modalitas belajarnya, yakni sebagai modalitas visual, auditorial atau kinestetik (V-A-K). Orang visual belajar melalui apa yang mereka lihat, pelajar auditorial melakukannya melalui apa yang mereka dengar dan pelajar kinestetik belajar lewat gerak dan sentuhan.
Menurut Dr. Howard Gardner gaya belajar siswa tercermin dari kecendrungan kecerdasan yang dimiliki oleh siswa tersebut. Kecerdasan yang dimaksud ialah sebagai berikut:
1.      Kecerdasan Lingutik adalah kemampuan menyusun pikiran dengan jelas dan mampu menggunakan kemampuan ini secara kompeten melalui kata-kata untuk mengungkapkan pikiran-pikiran dalam bicara, membaca, dan menulis. Biasanya, kecerdasan ini dimiliki oleh para orator, negosiator, pengacara, atau para pemimpin negara di dunia.
2.      Kecerdasan Matematis-logis adalah kemampuan menanggani bilangan, perhitungan, pola, serta pemikiran logis serta ilmiah. Biasanya kecerdasan ini dimiliki oleh ilmuan dan filsuf.
3.      Kecerdasan visual spasial adalah kemampuan melihat secara detail sehingga dapat menggunakan kemampuan ini untuk melihat segala objek yang diamati. Lebih dari itu, kecerdasan ini bisa merekam semua yang diamati dan mampu melukiskannya kembali. Biasanya, kecerdasan ini dimiliki oleh para insinyur ( terutama arsitek), pilot, navigator, atau penemu.
4.      Kecerdasan musikal adalah kemampuan menyimpan nada atau irama musik dalam memori. Orang yang memiliki kecerdasan ini lebih mudah mengingat sesuatu jika diiringi dengan irama musik. Biasanya, kecerdasan ini dimiliki oleh para musisi, seniman, atau budayawan.
5.      Kecerdasan kinestesis adalah kemampuan menggunakan anggota tubuh untuk segala kebutuhan atau kepentingan hidup. Dengan kecerdasan ini, seseorang bisa mewujudkan ide atau gagasannya melalui gerakan fisik. Kecerdasan ini biasanya dimiliki oleh penari atau atlet.
6.      Kecerdasan interpersonal adalah kemampuan seseorang untuk berhubungan dengan orang-orang disekitarnya sehingga dia bisa merasakan secara emosional: temperamen, suasana hati, maksud, serta kehendak orang lain. Biasanya kecerdasan ini dimiliki oleh para sosiolog, psikolog atau konselor (konsultan).
7.      Kecerdasan naturalis adalah kemampuan mengenali lingkungan dan memperlakukannya secara proposional. Biasanya kecerdasan ini dimiliki oleh para neurolog, antropolog, arkeolog, atau pecinta lingkungan.
8.      Kecerdasan eksistensial adalah kemampuan merasakan dan menghayati berbagai pengalaman rohani atas pelajaran atau pemahaman sesuai keyakinan kepada tuhan. Biasanya kecerdasan ini dimiliki oleh para ahli spiritual (sufi), rohaniawan (tokoh agama), atau filsuf.
Beberapa strategi/metode yang dapat diterapkan dalam kelas supaya materi ajar kita bisa diterima dengan baik oleh siswa dengan berbagai kecerdasan yang dimilikinya, strategi/metode ini merupakan  aplikasi dari kesesuaian gaya mengajar kita dengan gaya belajar siswa, yaitu:
1.      Untuk siswa dengan kecerdasan linguistik, dapat kita gunakan strategi atau metode bercerita, curah gagasan, menulis jurnal pribadi dan publikasi karya.
2.      Untuk siswa dengan kecerdasan matematis-logis, dapat kita gunakan strategi atau metode kalkulasi dan kuantifikasi, klasifikasi dan kategorisasi.
3.      Untuk siswa dengan kecerdasan spasial, dapat kita gunakan strategi atau metode visualisasi, warna, sketsa gagasan, simbol.
4.      Untuk siswa dengan kecerdasan kinestetis, dapat kita gunakan strategi atau metode respon tubuh, teater kelas.
5.      Untuk siswa dengan kecerdasan Musik, dapat kita gunakan strategi atau metode  Irama, lagu, rap, senandung.
6.      Untuk siswa dengan kecerdasan interpersonal, dapat kita gunakan strategi atau metode  berbagi rasa dengan teman, curhat, kerja kelompok, board games, simulasi.
7.      Untuk siswa dengan kecerdasan intrapersonal, dapat kita gunakan strategi atau metode  refleksi 1 menit, pelajaran VS pengalaman pribadi, merumuskan tujuan, memberi pilihan.
8.      Untuk siswa dengan kecerdasan naturalis, dapat kita gunakan strategi atau metode  jalan-jalan di alam terbuka, melihat ke luar jendela, tanaman sebagai dekorasi, membawa hewan piaraan ke sekolah.
9.      Untuk siswa dengan kecerdasan spiritual, dapat kita gunakan strategi atau metode  hakekat hidup, mati, neraka, syurga.

Tidak ada yang bodoh, semua siswa kita merupakan generasi-generasi yang pintar. Tinggal sekarang,  kita sebagai guru mau dan mampu menyesuaikan gaya mengajar kita dengan gaya belajar siswa. Sehingga tujuan pembelajaran yang telah kita tetapkan tercapai dengan maksimal. []

 *Dimuat di Inspirasi News Edisi Desember 2013








Minggu, 05 Januari 2014

Rihlah Eratkan Ukhuwah


01 Januari 2014
Sembilan bulan sudah aku menjejaki Bumi Petani. Tiada terasa detik sudah berubah membentuk tahun. Pergantian tahun kali ini bertepatan dengan liburan sekolah. Itu artinya, mau ataupun tidak aku mesti turut mengisi holiday yang sudah menghampiri (maklum sajalah ya, hehehe).
Bersama seorang teman dan didampingi seorang guide, berangkatlah aku menuju Ibukota Provinsi. Membutuhkan waktu sekitar lima jam dari Way Kanan, tibalah kami di Kota Bandar Lampung.
Seseorang mendekati kami sesaat setelah menginjakan kaki di Terminal Rajabasa. (Dugaanku siapa gitu. Eh, teman Santi nyatanya).
Oya, hampir kelupaan. Kenalkan dulu Santi, teman seangkatan di Sekolah Guru, tengah penempatan di sekolah dasar Cilograng, Banten. Dialah yang kumaksud selaku guide selama liburan ini. Dara Gunung Labuhan ini Mulang tiuh (balik kampung) bertepatan dengan rencanaku hendak menjajah Kota Gajah. Pucuk dicinta ulam tiba. Ya, hitung-hitung silatuhrahim, jadilah dua-tiga pulau terlampau hanya dengan sekali menganyuh biduk, hehehe.
Indah (begitulah nama teman Santi yang mendekati kami tadi) memperkenalkan diri. Tak lama, dia mengajak kami menembus pagar besi terminal yang bolong (entah dimakan apa?). Dalam hati, aku masih bertanya-tanya, hendak diangkutnya kemana kaki ini? Lima menit berlalu, kami memasuki (serupa) kawasan perumahan. Masuk gang, lalu belok kiri, lanjut belok kanan, tampak tanda G7. Melangkah delapan meter kedepan, sampailah kami di tempat yang dimaksud.
“Nah, Uda dan Mas nginep disini selama di Karang” senyum mahasiswi berjilbab biru laut itu. Kami manggut tak banyak tanya. Ternyata Santi dan Indah ‘menitipkan’ kami di Base camp pelajar Unila.
“Kita tinggal bentar ya, Uda” tambah Santi berlalu meninggalkan kami.
Aku dan Opick (teman satu perjuangan penempatan Bumi Petani) serempak mengucapkan salam pada pemilik rumah. Tergopoh-gopohlah seorang pemuda (sepertinya dia masih mahasiswa) menyambut kedatangan kami. Wajahnya menyejukan apalagi ditambah senyum, ada tanda hitam di dahinya, pertanda sering digunakan sujud.
“Budi...” dia menyebutkan nama. Kamipun berjabat tangan dan memperkenalkan diri.
“Dari Sekolah Guru ya, Mas? Silahkan masuk” ajaknya ramah. Kami mengekor dibelakang pemuda tahun akhir di FKIP Unila itu. Di rumah tingkat dua itu kami mendapati banyak pelajar -teman seperjuangan- yang berdatangan dari berbagai penjuru negri. Rumah itu merupakan istana KAMMI Unila. Berada di dalamnya membuka memori lamaku, teringat masa-masa meraup ilmu di kampus hijau dulu. Ya, disini serasa di kampus Andalas, bisa dikata tiada beda sedikitpun. Oh, indahnya ukhuwah...
Usai memperkenalkan diri dan ngomong ngalor-ngidul, sayup-sayup azan Dhuhur berkumandang. Kami larut dalam curahan hajat pada Sang Pencipta siang cerah itu.
Habis IshoMa, kami melaju menuju Balai Buku dan Gramedia Bandar Lampung. Buat apalagi kalau bukan untuk memperkaya pengetahuan sekaligus menambah koleksi dalam jajaran pustaka pribadi. Aku menenteng dua buku: Memang Jodoh dan Da Conspiracao.
Senja menjelang, gelap dan rinai diluar sana belum juga beringsut pergi. Azan Maghrib telah berkumandang, setengah berlari kami menuju mushalla guna menunaikan kebutuhan ruhiyah. Jam mengukir angka 19.32, ninja yang dikendarai Opick bagai kilat menghampiri Istana KAMMI. Rihlah hari pertama ini diakhiri syukur dalam dekapan shalat Isya di Base KAMMI.

02 Januari 2014
Aku tersentak. Opick menyadarkanku dari lelap. Seberkas sinar mentari yang menelusup lewat ventilasi mencium wajahku mesra. Aku tiada ‘sadarkan diri’ selepas Al-ma’tsurat usai subuh tadi.

 “Ente ikut kagak?!” Opick setengah berteriak. Aku menggeliat, mengernyitkan dahi.
“Kemana?”
“Riyadho!” keningku makin mengerut.
“Lekaslah bangun Akhy! Bukankah mukmin yang kuat lebih baik dan dicintai oleh Allah SWT ketimbang mukmin yang lemah?”
“Ayo, kita tunaikan kesukaan ente itu, Berenang!”
“WHAT? BERENANG?!”
Air mukaku berbinar cerah, senyum tersungging. Berenang memang hobiku. Tiada ba-be-bo, kucampakkan selimut yang sedari tadi memeluk tubuhku. Kukejar Opick yang telah menanti bersama Agus, Rizki, dan Dian.
“Cuci muka dulu, Akh!” kata Agus dari belakang stir Avanza silvernya. 



“Emoh, kan mau mandi juga!” jawabku sekenanya diikuti tawa.
Kolam renang Unila berada tak jauh, posisinya tepat dibelakang istana KAMMI. Terdapatnya kebun yang memenuhi belakang jalanan belakang istana itulah yang menjadi sebab kami harus mengambil jalan memutar. Lima menit terlalui, kami sampai di pintu masuk kolam renang. Disana kami disambut Iman dan Azam. Mereka berdua sepupu Agus.



Arloji tersenyum memamerkan angka 08.10. kami memulai aksi, melayang kesana kemari dengan napas ngos-ngosan, Iman memasang kacamata renangnya. Dia baru belajar rupanya, tengoklah pada kedalaman satu setengah meter sana, dia dibantu Azam dan Agus. Melihatnya, senyumku mekar, ada ide brilian terlintas di benakku. Segera loncatan tertinggiku membelah air, kuarungi kolam menuju Iman, hahaha kukerjai dia. Kasihan Iman, terpekik memohon pertolongan.


Dua jam berendam. Kulit pucat pasih dibuatnya. Tapi girang hati tiada terkira. Kurasakan kembali hadirnya. Yap, betul sekali! Indahnya Ukhuwah...
Selepas dhuhur, kendaraan melaju kencang. Kami dibawa Agus, Putra, Rizki, dan Miko menuju Simpur Center, Yellow Bamboo dan Pasar Tengah. Disana kami membeli beberapa keperluan buat display sekolah nantinya sekalian wisata kuliner, hehehe. Puas terbayarkan. Kami kembali  ke istana KAMMI. Rihlah kedua hari ini di tutup dengan dekapan shalat Isya.
Sebelum kubaringkan badan di peraduan, kutarik napas panjang, kurasakan sisa oksigen menyegarkan pikiran. Malam ini, bahagia kurasa tiada terkata. Bahagia. Cuma Bahagia! Bahagia sekali! Oh, indahnya Ukhuwah... Bismikallahhumma ahya wa amuut.

03 Januari 2014
Sarapan sudah. Memuaskan jemari di tuts keyboard sudah. Tiba-tiba ponselku menangkap sebuah pesan. Bersama Opick dan guide, kularikan kaki ke Pasar Tengah. Kebutuhanku belum terpenuhi dihari kemarin, sekerang akan kutunaikan segera. Ondeh mandeh... oleh-oleh!
Jum’atan di Taqwa, bakda itu kami mengitari kota Karang hingga ashar menjelang. Lepas ashar, kami singgah di Son Haji, mengisi sumatra tengah yang sedari tadi sibuk menanyikan lagu keroncong. Alhamdulillah... kenyang!



Rihlah dilanjutkan ke Fajar Agung, dan kembali lagi ke istana KAMMI menjelang maghrib. Istana KAMMI makin ramai rupanya, aku menemukan banyak teman seperjuangan. Lagi-lagi hatiku berkata “Pertemuanku dengan banyak orang, mengajarkanku berbagai hal.”

04 Januari 2014
Sang guide telah mengayuh biduk ke tanah Banten semalam. Dia akan melanjutkan perjuangan memajukan anak negri. Sedang kami? Kami ditinggal disini, di istana KAMMI. Tak apalah, Sayounara...
  
  Pagi ini, aku dan Opick hendak berenang di Unila lagi. Sepertinya dia semangat betul. Tak heran, teman yang satu itu akan menaklukan Semeru bulan empat depan. Jadi, perlu warming up dulu sebelum hari-H. Semangat Akhiy! Jangan lupa Edelweis-nya nanti ya. Hehehe.
   
 Usai memuaskan hati nyebur di kolam Unila. Dalam salah satu kamar di istana KAMMI, bersama Opick, kukemasi barang-barang sembari berkelakar riang memenuhi bilik istimewa tersebut. Tiba-tiba Agus dibarengi Iman memasuki kamar.
    
“Lagi berkemas ya, Akh?” sapanya lembut. Kami mengangguk.
    
“Sudah selesaikah?” lanjutnya.
   
 “Khadu, sudah!” jawabku menarik garis bibir, tersenyum. Agus mendekati kami dan mengeluarkan sebuah kotak terbungkus plastik putih.
   
 “Ini akh, kenang-kenangan dari Ane. Tak seberapa. Tapi, Ane berharap sekali antum berkenan menerimanya.”



Aku terdiam, berhenti sejenak menatap Agus dan Iman bergantian. Ruangan hening. Kenapa mesti ngasih kenang-kenangan pula? Bukankah tiga bulan lagi kita jumpa kembali? (InsyaAllah). Sempat kutolak halus. Namun, Akh Agus mengangguk penuh harap. Mataku menatap langit-langit kamar, menahan manik-manik air yang siap menobrak kelopak mata, menari-nari hadis Nabi SAW diatas kepala.”Hendaklah kamu saling memberi hadiah, karena hadiah itu dapat mewariskan rasa cinta dan menghilangkan kekotoran hati (Thabrani)”   
Aku malu. Malu pada diri sendiri. Kutahu kini kenapa Agus menganugrahkan hadiah buat kami. Salut pada Akh Agus, salut sebab dia telah mengamalkan hadis Nabi tersebut. Sedang aku? Teramat jarang berbuat begitu. Oh Indahnya Rihlah... Kau ingatkan diri ini, Kau eratkan Ukhuwah ini!
   
 “Syukron Akhy...”


Siang ini, kutuju terminal diantar Rizki dan Miko, aku beranjak balik menuju Bumi Petani. Rihlah kali ini berhasil membuat semangatku membara kembali. Bagai di-cas lagi setelah sekian lama tiada mendapati charger-nya; Tilawah, Dhuha, Tahajud, Sedekah, dan ukhuwah itulah sebagian rahasianya. Oh Indahnya Rihlah... Kau ajarkan lagi hal yang belum kupahami, kau ingatkan kembali hal yang selama ini kutinggali, Kau eratkan Ukhuwah ini! ۩

Sesungguhnya Engkau tahu bahwa hati ini telah berpadu
Berhimpun dalam naungan dalam cinta-MU
 Bertemu dalam ketaatan bersatu dalam perjuangan menegakan syariat dalam kehidupan
Kuatkanlah ikatannya kekalkanlah cintanya tunjukilah jalan-jalannya Terangilah dengan cahaya-MU yang tiada pernah padam  ya Robbiy bimbinglah kami
Lapangkanlah dada kami dengan karunia iman dan indahnya tawakal pada-MU
Hidupkan dengan makrifat-MU matikan dalam syahid dijalan-MU Engkaulah pelindung dan pembela


_Tanjung Karang, Pekan awal Januari 2014_