Selasa, 02 Juli 2013

Jujurnya Memanipulasi Nilai


Hari terakhir Ujian Nasional (UN). Huda kembali diminta “mencoret-coret” lembaran soal sembari mengawasi  siswa kelas VI yang tengah melaksanakan Ujian Nasional di Sekolah Dasar tempatnya mengabdi. Tak ada prasangka dan curiga sedikitpun. Dalam waktu singkat, Huda selesai mengisi jawaban. Dengan santai, di taruhnya lembaran soal penuh coretan itu diatas meja kerjanya.
“Lembaran soal ini saya pinjam ya, Pak” pinta seorang guru senior sembari mengambil lembaran soal beserta jawaban Huda didalamnya. Huda tersenyum mengabulkan permintaan guru kelas VI itu. Sekali lagi, tak ada prasangka ataupun curiga yang menyelimuti hati.
Jam menunjukkan pukul 09.30 waktu setempat. Lonceng berbunyi pertanda ujian selesai. UN untuk periode tahun ini usai sudah. Semua siswa berhamburan keluar kelas. Terukir senyum di wajah mereka. Banyak  makna dari senyum itu. Bagi Huda, senyum tersebut menyiratkan kebahagian yang dirasa siempunya selepas hilangnya stress yang menemani kepala para siswanya beberapa hari belakangan. Huda menyalami satu persatu siswanya yang berpamitan pulang. Di depan sekolah, Huda menatap nanar langkah siswanya hingga menghilang ditelan rimbunnya pepohonan karet. Dalam diam Huda kembali menuju bangunan rangkap empat.
Bangunan rangkap empat merupakan sebutan Huda untuk salah satu bangunan sekolah dasar tempat dia mengajar. Di awal pendiriannya, bangunan itu dimaksudkan untuk  perpustakaan sekolah. Seiring berjalannya waktu, selain untuk perpustakaan, bangunan berukuran 7x5 meter itu juga difungsikan sebagai kantor dan dapur sekolah plus sebagai tempat tinggal Huda, guru bantu dari tanah Jao. Dengan begitu, bangunan mungil itu mempunyai empat fungsi sekaligus: kantor guru, perpustakaan dan dapur sekolah ditambah rumah tinggal bagi Huda. Tak salah bila bangunan itu disebut sebagai bangunan empat rangkap.
Dari kejauhan, kelihatan beberapa orang guru berseliweran keluar masuk bangunan rangkap empat seolah sedang mengawasi sesuatu. Huda melangkahkan kaki menembus batas pintu. Matanya menangkap guru-guru lagi berkumpul di pojok perpustakaan. Huda penasaran. Seperti biasanya, lisannya meluncurkan kata-kata kelakar, “Hayu... lagi ngapain?” ucapnya menuju kearah kerumunan guru. Gerombolan guru yang dituju salah tingkah. Dengan buru-buru mereka menyembunyikan sesuatu. Raut bahagia dan senyum di wajah Huda hilang seketika. Penasarannya berubah menjadi curiga dan prasangka.
“Hmm... Ini... ada siswa yang ejaan namanya salah di LJK” tanggapan seorang guru pada Huda sesaat setelah pertanyaan diajukan.
“Ada juga yang salah menuliskan nama sekolahnya” guru lain menambahkan.
“Supaya bisa ‘terbaca’ di komputer nantinya, kami berusaha memperbaiki ejaan dan penulisan yang salah itu” keterangan mereka semua menambah kecurigaan Huda. Dia berdiri mematung menatap para guru yang semakin salah tingkah dihadapannya. Ruangan yang dipenuhi tumpukan buku itu sunyi seketika.
Ada siswa salah menuliskan namanya? Sejak kapan siswa kelas enam lupa akan nama sekolahnya? Dan tak bisa menuliskan namanya sendiri? Bukankah semua LJK seharusnya sudah di “segel” lagi habis ujian? Ada apa ini? 
Huda tak habis pikir. Di benaknya terukir tanda tanya. Tak mampu dia mengungkapkan bermacam pertanyaan itu. kalaupun bisa, pasti dia akan diserang dan dikucilkan di keterasingan dan kesendirian ini. Kakinya lunglai. Hatinya trenyuh. Apalagi setelah diketahuinya bahwa bukan ejaan nama siswa yang salah atau siswa salah menuliskan nama sekolahnya, melainkan jawaban di LJK siswa “diperbaiki” oleh gerombolan guru yang tak bertanggung jawab di pojok perpustakaan itu. Dan yang sangat disayangkan oleh Huda ialah LJK tersebut “diperbaiki” dengan menggunakan hasil “coret-coretannya” diatas lembaran soal yang diminta selama ujian berlangsung. Pilu...
***
What? Bagi-bagi kunci jawaban?”
“Iya, Bang. Bahkan ada teman yang tidak lulus karena menerima kunci jawaban yang salah”
“Kamu gimana? Kelulusanmu juga menggunakan kunci jawaban itu?”
Saketek...
“APA?”
“Ya, enggak lah, Bang! Hehehe”
Sambungan telpon ditutup. Huda mengatupkan bibir setelah mendapat informasi dari adiknya yang barusan menerima tanda lulus SMA. Kejadian yang dialami adiknya mengingatkannya pada masa lalu. Masa ketika seragam putih abu-abu masih menempel di badannya. Menjelang Ujian Akhir Nasional (UAN) dilangsungkan. Siswa pusing dan para guru sibuk sendiri. Mereka kalang kabut mengumpulkan para siswanya “mencari jalan pintas” supaya semua muridnya lulus UAN. Jika siswa berkomentar bahwa al-jimatu minal sukses  itu tak diperbolehkan. Guru berkilah dengan berkata “Tak, apa-apa” sambil menebar senyum menyakinkan penuh wibawa palsu. Miris...
***
“Sama aja, Da. Di tempat saya juga seperti itu. Ada aksi bagi-bagi kunci jawaban UN. Bahkan semua itu dilakukan atas instruksi dari kepala sekolahnya.” Nuzul, teman satu profesi dengan Huda memberi kesaksian bahwa kecurangan UN tidak hanya terjadi di sekolah penempatan Huda, melainkan juga menimpa sekolahnya.
“Tapi, saya menolak permintaan para guru untuk menjawab lembaran soal UN, sebab saya sudah tahu bahwa mereka akan menggunakannya buat ‘menolong’ para siswanya” aku Nuzul.
“Itulah ketelodaranku, Zul” Huda menarik napas panjang. Rasa sesal mengisi ruang dada dengan goresan luka menyayat ulu hatinya. Ditatapnya rembulan di angkasa yang perlahan dihalangi awan kelam.
“Huda...” Nuzul memecah keheningan. Dia tahu bahwa sahabatnya yang satu ini memiliki emosi labil yang butuh beberapa waktu untuk memulihkan emosinya. “Itu bukan kesalahanmu. Apalagi kamu tidak tahu bahwa ‘jawabanmu’ itu akan disalahgunakan” Nuzul memperbaiki posisi duduknya menghadap kawannya.
 “Mereka telah memanipulasi nilai, Zul. Dan itu berarti mengajarkan anak didik berbuat tercela, kan!!?” Suara Huda kesal. “Huda... Begini, Manipulasi nilai itu bukan kehendak guru murni. Manipulasi terjadi karena ada tekanan dari pejabat di atas. Kalau kita tanya pada guru siapa yang menekan. Guru menjawab kepala sekolah. Kepala sekolah ditanya, menjawab ditekan kepala dinas kecamatan” Nuzul mencoba menenangkan sahabatnya. “Manipulasi nilai seperti itu berjalan massif sewaktu ujian Nasional berlangsung, Da” pelan Nuzul memberi keterangan. “Dan jika ditelusuri, pasti ujung-ujungnya sampai pada pejabat provinsi”
“Tumben...” Senyum Huda mekar menatap kawannya.
“Apanya yang tumben?” Nuzul heran.
“Kamu bijak sekali hari ini, hehehe”
“Emang dari dulu saya bijak, kan?” Sikut Nuzul.
“Kata siapa?”
“Kata saya, lah. hahaha” Nuzul membela diri tak mau kalah. Beberapa saat dua pemuda itu tertawa puas tanpa beban.
“Benar kamu, Zul” Ucapan Huda menghentikan tawa. “Aku ingat saat hari pertama try out di sekolahku. Ketika itu aku disuruh keluar kantor oleh kepala sekolah dengan alasan untuk mengawasi siswa yang sedang try out. Padahal aku tak dijadwalkan sebelumnya. Aku tak menaruh curiga. Langsung saja perintah itu kulaksanakan. Rupanya para guru yang berkumpul di ruangan kantor itu tengah membicarakan strategi untuk meluluskan semua siswanya dengan cara-cara yang tak benar sebagaimana yang telah kusaksikan itu.”
 “Ssttt... Jangan Su’udhon dulu. Kamu tahu darimana bahwa para guru tersebut tengah membicarakan hal demikian? Awas, prasangka itu dosa, lho...” mimik Nuzul penuh selidik. “Ada seorang guru yang keceplosan menceritakan hal tersebut padaku beberapa hari setelah try out usaiKenang Huda. Anggukan Nuzul kembali siap mengiringi curhatan Huda.
“Oya, Zul. Sebenarnya apa sich tujuan semua ini?”  Huda berlagak bodoh.
“Maksudmu manipulasi nilai di sekolah-sekolah?” Nuzul balik bertanya.
“Iya”
“Manipulasi itu dilakukan supaya nilai peserta didik tampak baik, sehingga akan membawa nama baik sekolah. Jika semua sekolah meraih nilai baik, tentunya akan membawa nama baik provinsi. Kalau sudah begitu, pastinya akan menjadi kredit politik bagi pejabat daerah”
“Oh, Begitu? Semestinya guru-guru tersebut memberikan nilai apa adanya, sesuai kemampuan siswanya ya, Zul?”
“Seharusnya begitu. Tetapi, guru-guru beralasan bahwa hal itu telah menjadi perintah atasan. Jadi, hasil ujian tersebut tidak mencerminkan kemampuan anak didik yang sebenarnya, bahkan malah membodohi”
“Kasihan...”
“Hmm... Zul!”
“Apa lagi” Nuzul menatap gerimis yang siap menemani malam.
“Kamu benar-benar hebat hari ini memberi uraian sedetail-detailnya”
“Nuzul gitu” kembang kempis hidung Nuzul, bangga.
“ Btw, kamu baca buku apa semalam? hehehe” ejekan Huda dimulai.
“ Buku apa aja boleh. Hahaha. Nah... sepertinya sekarang emosimu telah pulih, Kawan. Yuk, Isya dulu, keburu malam. Ingat, kita masih punya waktu untuk merubah itu semua, Insya Allah.” Nuzul bangkit dari duduknya, mengakhiri pembicaraan di malam pertemuan itu diikuti derasnya hujan membasahi bumi yang gersang oleh ketidakjujuran. ۩

Manusia Jadi-jadian

Peluh ulah teriknya siang ini terhenti saat panggilannya menggetarkan gendang telingaku.

"Masuk, Mas..." ajaknya melempar senyum macho. Aku ragu melihat tampang anehnya. Rambut dikucir acakan, anting sebelah segede semangka, hidung dimancung-mancungin. Dibalik "kecantikannya", ada otot kekar terpasang ditubuhnya, senyumnya kasar tak seperti kaum hawa umumnya, apalagi suaranya serak-serak horor. Aku curiga.

Perlahan kebimbanganku pudar oleh ucapan Alex, teman sejalan yang mendadak berubah bijaksana memberi petuah ditengah garangnya sinar matahari.

"Udah... Pangkas disini aja. Gue yakin rambut lu makin kueren"

Aku sangsi. Alex melototkan matanya.

"Trus, kapan lu rapiin tu rambut? Tak malu sama siswa lu?"

Aduh, napa bawa siswa-siswa lagi. Bikin aku malu dan grogi aja. Kenangan kemarin kembali menari-nari diatas kepalaku. Sewaktu ku tegur seorang siswaku agar dia segera merapikan rambut yang mulai bergerilya menuju kuping telinganya. Aku tersentak mendengar kritikannya.

"Buat apa aku motong rambut kalo rambut bapak belum rapi juga!" teriaknya meninggalkan kelas. Aku diam memegang mahkota hitam dikepalaku. Hari ini ikrar itu kutunaikan.

Aku mengekor Alex masuk ruangan 5x3 meter. Tempat pemilik salon beroperasi.

Aku duduk dikursi salon. Curiga dan keraguanku memuncak. Kali pertama ku nyalon di habitat kaum hawa. Itu terpaksa. Kulirik Alex yang duduk dikursi tunggu, tersenyum yakin mengisyaratkan takkan terjadi apa-apa.

3 menit berlalu. Rambutku diobrak-abrik tukang pangkas "SUSANTo" (dengan huruf 'o' tak kapital).

Diakhir operasi rambut. Lisanku meluncurkan tanya mengungkap misteri dikepala.

"Udah lama nyalon disini, Nte?" panggilan tanteku membuatnya bengong terkejut. Sekejap kemudian dia tersenyum tersipu seraya berkata.

"Tak usah panggil Tante..." hampir tak terdengar.

"Apa?" aku meyakinkan pendengaranku. Lagi-lagi suaranya sayup-sayup.

"JANGAN SEBUT EKE TANTE, TAU!" bola matanya meloncat meninggalkan tempatnya. Suara aslinya wujud. Benar dugaanku. Tanpa aba-aba kutarik lengan Alex berlari pergi dari Salon SUSANTo. Alex kaget melihat aksiku. Dibelakangku SUSANTo memburuku.

"Hoi... Upahnya!" lolongnya mencekam.

Kelempar sepuluh ribuan tanpa menurunkan dosis lariku.

Jauh dilorong desa Alex terbahak menatap rambut hasil pangkasan manusia jadi-jadian itu.

"Semua ini gara-gara, lu mengajak gue tempat bencong itu" ceracauku memaki. Sementara Alex acuh tak mengubris dengan tawanya yang makin membahana.

Lama perang mulut dan otot berlangsung antara Alex dan aku.

Penghabisan. Alex bilang, "Tenang kawan. Besok kita rapikan rambut, lu"

"Nggak usah!" marahku belum berhenti.

"Yang ini pangkasnya takan bikin lu kecewa lagi" kutatap senyum yang tersungging di bibir Alex.

"DIMANA lagi?" tanyaku mantap. Diam sejenak. Dan bom kemarahanku kembali meledak saat mulut Alex berbusa-busa berkata.

"Salon SUSANTo" []

Palembang, 02 Juli 2013