Sabtu, 30 Mei 2015

Kau dan Aku dalam Pelukan Ukhuwah



“Ping…”

Pesan itu membuyarkanku. Mata melirik sejenak ponsel yang tergeletak diatas meja, indra penglihatan melirik pula pada Acy, laptop mungil tersayang. Aku bergeming dari depan Acy menuntaskan tugas yang belum terselesaikan.

“Ping…”

Pertanda pesan kembali menyeru, memaksaku meraihnya dan membaca pesan yang datang.

“Pekan depan insyaa Allah Ana wisuda Bang!”

Ternyata kabar darimu. Kabar yang berhasil membuatku terkaget alang-kepalang, Dik. Serasa tak percaya, kuyakinkan kembali penglihatan ini. Kubaca berkali-kali chat barusan. Tetap sama, anyaman hurufnya tak berubah. Pandanganku berkabut, mataku berkaca-kaca bahagia. Haruku mengangkasa. Ayu wajahmu menari diatas pelupuk mata ini, Dik.
***

Risa Afria Nurlis, adik tercintaku…

Adakah kau terkenang akan masa kecil nan kita habiskan bersama? Masa-masa penuh makna? ditiap keberadaanku pasti ada kau disana? Saatku bermain lumpur di depan rumah, kau pasti ikut. Sewaktu aku bercengkrama dengan kerbau yang kugembalakan, kau nimbrung pula. Bilaku memenuhi hobiku menangkap ikan disungai di ujung desa dengan tangguak milik Abak, kau menangis memohon agar kau kuajak serta. Bilaku asyik bermain sipak sabuik di halaman sekolah samping rumah, kau juga tak ketinggalan. Sebaliknya, tak jarang pula aku yang mengikutimu; bermain bekel bersama, bermain pasir, main gambar, karet gelang, main boneka, dan seabrek permainan kanak-kanak lainnya. Adakah kau teringat akan semua itu? Semua yang memberi tanda bahwa umur kita bertaut tak jauh beda?

Adikku…

Di tahun 2000, aku merantau ke negri tetangga, melanjutkan studi selepas sekolah “merah putih”. Kau tentu ingat! Ini kali pertamanya ku berpisah denganmu, dengan kerabat kita. Kau tahu? Sedihku tak terkira. Canggung diri tersebab hal ini belum pernah menimpa. Kukuatkan hati. Meski usiaku masih dini, panjang impian hidupku tiada terduga.

Tahun berikutnya, selepas penerimaan ijazah sekolah dasarmu, diam-diam kubujuk abak agar mau mendaftarkan dirimu masuk sekolah yang sama denganku. Semula abak mengerutkan dahinya, meminta alasanku. Kuutarakan hal ihwal dan sebab musababnya. Akhirnya permohonanku dikabulkan abak.

Enam tahun dalam satu sekolah yang sama. Aku tak sendiri lagi, tak ada lagi linangan air mata bila rindu ini menyesak dada akan kampung halaman. Sudah ada teman bercurah hati kini, kaulah adik tercintaku.

Masa-masa kita lewati dengan prestasi akademik yang tak membuat orang tua kita berkecil hati. Pernah kau mengadu padaku perihal nilai akademikmu yang melorot drastis, kuwejangkan nasehat agar kita sentiasa instropeksi diri. 

Oya, hampir lupa pula, ada yang unik kurasa. Kau tahu ndak, Dik? Bahwa kawan-kawan sekelasku baru tahu kalau kita sedarah kandung di tahun ketiga masa sekolah? Aduhai… peristiwa itu terus membuatku tertekur. Kok bisa ya? Ntar kukasih tau.

Tahun terakhir masa es em a. Selepas ijazah kudapat, niat hati hendak merantau ke Tanah Batak untuk penuhi tawaran beasiswa yang ada. Kau bahagia melihat keceriaanku. Kau bilang bangga punya uda yang bisa kuliah ke propinsi tetangga, Sumatra Utara. Kau ingin pula mengikuti jejak-jejakku kelak. Namun, Dik! Takdir berkata lain; keluarga kita belum berkenan melepas kepergianku. Aku kecewa. Kau terdiam menengok kemurunganku kala itu. Kau coba hibur kesedihanku. Sekarang kaulah yang gantian memberi nasehat padaku, “Dibalik ini semua ada hikmahnya, Da” ujarmu bijaksana. Perlahan goncangan hatiku pulih. Tiada bosannya kau kirimkan do’a padaku agar keteguhan selalu menyertaiku.

Kulanjutkan studi di universitas kebanggaan anak bangsa, Kampus Hijau nan tegak kokoh di Pulau Andalas. Lagi-lagi kuterpisah denganmu. Sedih hati kembali menemani.

Setahun berlalu. Ada kabar dari keluarga kita bahwa kau diterima di kampus yang sama denganku. Ah, kok kampus yang sama ya? Adakah ini skenario dari-NYA? Yang tiada membiarkan kita terpisah?

Senangku buncah. Tekadku berkata kau mesti kuliah walau terkadang kita terhalang oleh soal uang kuliah. Sempat pula kukatakan pada Amak biarlah aku BSS di tahun pertama asal kau dapat kuliah. Ya, kuliah bersamaku.

Allah maha pengasih. Orang tua kita dapat rezki. Kau kuliah tanpaku harus BSS di tahun awal.

Dik… Ingat ndak? Sewaktu kau hendak memilih Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di kampus kita itu? Sengaja kau kukenalkan dengan senior akhwat sebab ku ingin melihatmu berpenampilan angun serupa mereka; berhijab rapi, aurat tertutup sempurna, dan tiada diganggu lelaki yang tak bertanggung-jawab. Inilah alasannya kenapa teman-teman sekelasku tiada tahu bahwa kita adik-kakak saat MTs dan SMA di PP dulu. Di asrama, mereka kerap memperbincangkan dirimu, akan kecantikanmu, aku malu kau disebut-sebut oleh orang yang tiada halal bagimu. Sebab itulah aku tiada pernah berkisah pada mereka bahwa kita bersaudara kandung.

Tawaranku tiada kau tolak, Dik. Kaupun mau bergabung dengan rekan-rekan di Forum Kajian Islam kampus. Hari-hari kutengok penampilanmu membaik. Hijabmu mulai rapi kini; kaus kaki kau penuhi, jilbabmu lebar, bajumu longgar, sederhana tapi mewah. Kau betul-betul angun, Dik.

Kerap pula kau berkisah mengenai para syuhada di Palestina, para pejuang islam di penjuru jagad raya. Kau juga sering berkisah tentang pelatihan dan kajian-kajian islam yang kau ikuti. Tak jarang pula gendang telingaku mendengar kau menuntaskan tilawah di kamarmu itu. Aku bangga padamu, Dik. Bangga akan perubahanmu, bangga akan kebaikan hatimu. Syukurku tiada terkata.
***

Assalaamu’alaykum wr wb.

Afwan Bang, mengganggu malam-malam. Risa tahu Abang punyo banyak masalah pulo. Tapi, Adik ndak tahu hendak bacarito pada siapo lai. Raso ka putuih aso ndak ado sumangaik manyalasaian iko skripsi lai. Binguang ndak tantu apo nan kadipabuek lai. Mungkin Adik nan terlalu bodoh dan tak layak untuak wisuda? Berat kurasa ini hidup, Bang.

Adikmu, Risa.

Kau tahu, Dik. Kabarmu tersebut mengonyak dadaku ini? Bukan marah ataupun kecewa padamu. Namun, tersadar bahwa diriku ini belum berhasil mengantarkanmu ke gerbang kesuksesan. Lama ku terpekur. Bermenung hingga subuh menjelang. Tangisku tiada dapat dibendung. Tetiba kangen menyertaiku. Inginku menemuimu malam itu juga.

Wa’alaykumussalam wr wb

Adikku… Allah sungguh penyayang pada hamba-NYA. Bila hamba-NYA mengikrarkan cinta pada-NYA, tentu akan ada ujian yang diberikan-NYA untuk membuktikan cinta tersebut. Karena itulah, Dik dirimu tengah diuji-NYA. Bersabarlah, tetap ikhtiar. Ada hikmah terbaik dibalik ini semua.

Abangmu,

Hari-hariku terus mengingatimu, Dik. Terus ku haturkan do’a moga kau tegar dan tetap berkenan menuntaskan tugas akhir itu.
***

Hari ini, Dik. Kau berhasil meraih gelar sarjana. Namamu bertambah panjang sekarang, Dik. RISA AFRIA NURLIS, SP. Alhamdulillah… Banggaku padamu. Tetaplah istiqomah dalam jalan-NYA. Jagalah hijabmu terus. Ajaklah adik-adik kita mengingati-NYA. Kau harapan keluarga, Dik. Jangan pula lupa, seringlah kau nasehati diriku ini yang kerap alpa. Moga kita tetap dalam pelukan ukhuwah, dalam cinta-NYA, Dik. Selamat Wisuda.

Sabtu, 23 Mei 2015

Tangisan Malam Pertama


Saat malam pertama… aku menangis,” kata seorang teman membuka kisahnya kepada kami. Suasana santai mendadak berubah mendengar kata-kata itu. Sebagian dari kami jadi tidak sabar menunggu kalimat berikutnya. Mengapa seorang pengantin pria menangis di malam yang seharusnya membahagiakan?

“Mengapa kamu menangis di saat bahagia seperti itu?,” pertanyaan salah seorang teman mewakili ketidaksabaran kami.

“Aku menangis karena terbebani pikiran, bagaimana cara mengembalikan hutang untuk resepsi siang tadi,” jawabnya seraya mencertakanlebih lanjut tentang resepsi pernikahannya yang menelan biaya besar sementara kemampuan finansialnya terbatas. Keluarga terpaksa berhutang.

Ada hikmah berharga dari apa yang dialami teman saya ini. Karena tuntutan sosial, gengsi, atau keinginan agar hari pernikahan menjadi momen istimewa, kita terjebak pada sikap berlebihan saat melangsungkan walimah atau resepsi pernikahan. Mulai dari undangan yang lux, gedung yang megah dan mahal, bahkan ditambah dengan hiburan. Padahal pernikahan tetaplah istimewa meskipun walimahnya sederhana. Yang membuat istimewa adalah akad nikahnya, janji sucinya, ikatan kuatnya, perubahan hubungan dua insan yang semula bukan mahram kini menjadi sepasang suami istri.

Memperturutkan tuntutan sosial atau gengsi, banyak orang yang akhirnya rela berhutang besar demi sebuah resepsi pernikahan yang glamour. Mereka seperti membeli kesenangan dengan membayarnya selama bertahun-tahun ke depan. Hingga ada yang kepikiran seperti teman tadi.

Ada pula yang karena ingin menggelar resepsi yang mahal seperti itu, akhirnya ia menunda pernikahan selama bertahun-tahun. “Belum punya uang untuk walimah,” alasannya. Padahal kalau mau mencontoh kemudahan yang dituntunkan Rasulullah kepada para sahabatnya di Madinah, ia telah mampu. Bukankah pernah Rasulullah ‘menegur’ Abdurrahman bin Auf yang menikah tanpa walimah? “Adakanlah walimah walaupun hanya dengan menyembelih seekor kambing,” demikian kira-kira pesan Rasulullah kepada sahabatnya yang pebisnis itu. Memang saat itu Abdurrahman bin Auf baru merintis bisnis setelah hijrah, namun ia adalah saudagar kaya semasa di Makkah. Dan tak lama setelah itu ia juga kembali menjadi kaya raya.

Rasulullah sendiri saat menikah di Madinah juga sederhana dalam walimah. Seperti diriwayatkan Imam Bukhari. “Tidaklah aku saksikan bagaimana Rasulullah menyelenggarakan walimah untuk istri beliau seperti yang aku saksikan saat beliau menikahi Zainab,” kata Anas bin Malik menceritakan walimah nan suci itu, ”Beliau menyembelih seekor kambing.”

Jadi, menikah itu tak harus mahal. Tak harus menyusahkan diri dengan berhutang banyak. Apalagi soal mahar, di negeri ini juga sangat dipermudah. Sebagaimana Rasulullah telah mempermudah para sahabatnya yang menikah. Yang tidak memiliki banyak harta, Rasulullah cukup menyarankan mahar cincin, bahkan ada yang cincin besi. Yang tidak punya lagi, cukup mengajari istrinya hafalan Al Qur’an. Bukankah sangat mudah?

Dalam Islam, walimah itu yang terpenting adalah i’lan-nya: pengumuman sehingga masyarakat tahu bahwa seorang muslim dan seorang muslimah telah menibykah, membentuk sebuah keluarga baru.

Maka bagi Antum yang belum menikah, sesuaikanlah walimah dengan kemampuan finansial. Jangan berlebih-lebihan. Dan semoga tidak ada lagi pengantin yang menangis di malam pertama karena terbebani biaya walimah dan tak ada pemuda yang menunda-nunda pernikahan dengan alasan tidak kuat menanggung biaya walimah. [Muchlisin BK/bersamadakwah]

Sumber Gambar: Googling... 

Kamis, 14 Mei 2015

Kewajiban Seorang Suami



Di subuh yang dingin,,, ku dapati ibu sudah sibuk memasak untuk keluarga..

"Ibu masak apa? Bisa ku bantu?"

"Ini masak gurame goreng. Sama sambal tomat kesukaan bapak" sahutnya..

"Alhamdulillah.. mantab pasti.. mari saya bantu. Eh bu.. calon istriku dia tidak bisa masak loh.."

"Iya terus kenapa,,?" Sahut ibu..

"Ya tidak kenapa2 sih bu.. hanya cerita saja, hehehe"..

"Jangan di pikir memasak, mencuci, menyapu, mengurus rumah dan lain lain itu kewajiban wanita"

"Hah.? Maksut ibu..?" Kaget..

"Itu semua adalah kewajiban lelaki"

"Tapi bukankah ibu setiap hari melakukannya?"

"Kewajiban istri adalah taat pada suami. Karena bapak itu tidak mungkin bisa mengurusi rumah maka ibu bantu mengurusi semuanya. Sebagai wujud cinta dan juga wujud istri yang mencari ridho suaminya"

Saya makin bingung bu.

"Bukankah kewajiban lelaki untuk menafkahi istri? Baik itu sandang, pangan, dan papan" tanya ibu..

"Iya tentu saja bu.."

"Menurut mu pengertian nafkah itu yang seperti apa? Pakaian yang bersih adalah nafkah. Sehingga mencuci adalah kewajiban suami. Makanan adalah nafkah. Kalau beras. Itu masih setengah nafkah. Karena belum bisa di makan. Sehingga memasak adalah kewajiban suami. Lalu rumah adalah kewajiban suami. Sehingga kebersihan rumah adalah kewajiban suami"

"Waaaaah.. sampai segitunya bu..? Lalu jika itu semua kewajiban suami. Kenapa ibu tetap melakukan itu semuanya tanpa menuntut bapak sekalipun?

"Karena ibu juga seorang istri yang mencari ridha dari suaminya. Ibu juga mencari pahala agar selamat di akhirat sana. Karena ibu mencintai ayahmu, mana mungkin ibu tega menyuruh ayahmu yang baru pulang bekerja untuk melakukan tugas itu semua. Jika ayahmu berpunya mungkin pembantu bisa jadi solusi. Tapi jika belum ada, ini adalah ladang pahala untuk ibu"

Aku hanya diam..

"Pernah dengar cerita fatimah yang meminta pembantu kepada Nabi karena tangan nya lebam karena menumbuk tepung?" Tapi Nabi tidak memberinya.

Atau pernah dengar juga saat Umar di Omeli istrinya? Umar diam saja karena tahu betul. Wanita kecintaannya sudah melakukan tugas macam2 yang sebenarnya itu bukanlah tugas istri. Tapi karena patuh dan taatnya wanita semua ridha di kerjakannya.

"Iya buu..."

"Jadi laki laki selama ini salah sangka ya bu, seharusnya setiap lelaki bertrimakasih pada istrinya. Lebih sayang dan lebih menghormati jerih payah istri."

"Eh. Terus kenapa ibu tetap mau melakukan semuanya padahal itu bukan kewajiban ibu?"

"Menikah bukan hanya soal menuntut hak kita. Atau menuntut kewajiban suami kita. Tapi banyak hal lain. Menurunkan ego. Menjaga keharmonisan. Mengalah. Kerja sama. Kasih sayang. Cinta. Dan Persahabatan. Menikah itu perlombaan untuk brusaha membaikan satu sama lain. Yang wanita sebaik mungkin membantu suaminya. Yang lelaki sebaik mungkin membantu istrinya. Toh impianya rumah tangga sampai surga"

"Subhanallah.. eeh kalo calon istriku tau hal ini dan dia malas ngapa2 in bu?"

"Wanita beragama tentu tau bahwa ia harus mencari keridhoan suaminya. Sehingga tidak mungkin setega itu. Sedang lelaki beragama tentu tau bahwa istrinya telah banyak membantu. Sehingga tidak ada cara lain selain lebih mencintainya"

"Hening..."

*WA_Muslim Stay Handsome
* Sumber gambar google

Selasa, 12 Mei 2015

Makan Balanjuang



Ujian semester akhir diambang pintu. Ini pertanda bahwa hendak berakhirnya materi ajar di kelas kami. Bila materi ajar usai, biasanya kelas kami mengadakan suatu proyek. Ya, boleh dikata proyek yang super gede, ini versi kami, hehe. 

Serupa hari ini, kami bersiap mengangkatkan event tema 9, kami beri tema "4 Sehat 5 Sempurna, Siapa tepat, Mesti Juara" tema yang keren, bukan?

Usai dhuha- shalat sunah yang sentiasa kami perbuat menjelang belajar dimulai- Teacher Danil mengasih aba-aba agar kami segera bersiap melakukan aktifitas awal, yakni menyusun kursi dan meja membentuk kelompok kecil. Oya, sebelumnya kami telah dibagi 6 kelompok, tiap kelompok terdiri 4 hingga 6 siswa. Kelompok kami berjumlah lima orang, dan sayalah satu-satunya siswa yang paling kece di kelompok ini, karena memang 4 kawan saya lainnya perempuan, haha.

Lama juga ternyata, cuma menyusun, menghiasi meja serta kuliner nan sudah kami persiapkan tadi malam. Kami ngos-ngosan, target kelompok kami ialah meraih juara dan favorit juri nantinya. 

Saya ingat pesan Teacher Danil tadi bahwa kekompakan tim memiliki poin tertinggi dari penilaian yang ada. Saya berusaha mengarahkan teman-teman untuk selalu siap siaga biar menang. Kayak mau perang aja ya, whaha.

Diatas meja yang dialasi taplak orange bergaris-garis di pojok kanan kelas sana, tampak beragam rupa makanan terhidang manis. Bila dirimu mampir barang sekejap, saya jamin air liurmu akan menetes tersebab tiada tahan akan harumnya bau masakan kami. Disana tersaji ayam penyet lengkap dengan sayur-mayurnya, nasi putih beserta lauk-pauknya plus sambal terasi, ada juga buah kurma dan anggur yang saya beli kemarin, satu yang menarik hati, nasi goreng berwajah badut, ini kreasi saya. Tenggoklah, keren, kan?



Arloji memperlihatkan angka 08.30, Teacher Danil mempersilahkan para juri memasuki ruangan kelas. Jantung berdegup cepat. Apalagi saya ditunjuk sebagai pendamping juri di kelompok saya. Sebetulnya tugas pendamping tidak terlalu sukar, hanya menyambut juri dan memperkenalkan kelompok serta menjawab tanya juri, namun ini adalah pengalaman pertama saya, sebab itulah detak jantung ini tak konstan.

Perlahan pupus degup kecemasan yang menemani dada saya. Diiringi instrumen Kitaro dan lagu nusantara yang diputar menjadikan rasa cemas saya hilang.

Satu-persatu juri tlah berlalu meninggalkan kelompok Gizi, ini nama grup kecil kami. Bergantian kami mengeja rubrik penilaian yang diserahkan juri pada kami. 

Di depan kelas, wali kelas kami, Teacher Danil mengumumkan total nilai perhitungan rubrik juri. Kembali deg-degan jantung ini. Moga harapan ini tak sia-sia.

"Kelompok Protein mendapat poin 86" suara Teacher dari depan.

"Poin 94 diraih kelompok Vitamin"

"Dan... nilai 100 tersemat pada kelompok Karbohidrat" kencang degupnya, saya tak sabaran. Berapakah poin kelompok saya?

"Kelompok Gizi memperoleh nilai 98"

Ya... kurang dua poin. Tapi, tak apa. Yang penting kelompok kami meraih kapital A, Alhamdulillah.

Usai pengumuman poin, kami makan balanjuang,makan bersama-sama. Hmm... lamak bana rasonyo...

Usai makan balanjuang, Teacher meminta kami menuliskan kisah yang kami rasa hari ini. Dan inilah hasil kisah yang saya goreskan.

*celoteh siswa 4 Zaid (udah melalui proses pencernaan tulisan)

Minggu, 10 Mei 2015

Kendaraan Seorang Bijak



Seorang pemuda memenuhi Panggilan rukun Islam kelima membulatkan tekadnya mengarungi padang pasir yg terik.

“Mudah - mudahan aku selamat sampai Makkah, Dan, segera melihat Baitullah yang selama ini aku rindukan.”

Namun, ditengah perjalanan ia melihat lelaki tua yang berjalan sendirian.

“Wahai Bapak Tua, Bapak mau pergi ke mana ?” 

 “In syaa Allah, aku akan ke Baitullah,”
“Benarkah ?!"
 “Betul Nak, aku akan melaksanakan ibadah haji,” 
“Maa sya Allah, Baitullah itu jauh sekali dari sini. Bagaimana kalau Bapak tersesat atau mati kelaparan? Lagi pula, semua orang yang kesana harus naik kendaraan. Kalau tidak naik unta, bisa naik kuda. Kalau berjalan kaki seperti Bapak, kapan Bapak bisa sampai ke sana ?”
 “Aku juga berkendaraan,”
“Apa Bapak yakin kalau Bapak memakai kendaraan ?”
 “Kau tidak melihat kendaraanku ?” 
“Kalau begitu, apa kendaraan yang Bapak pakai ?”.
 “Kalau aku melewati jalan yang mudah, lurus, dan datar, kugunakan kendaraan bernama Syukur. Jika aku melewati jalan yang sulit dan mendaki, kugunakan kendaraan bernama Sabar, Jika takdir menimpa dan aku tidak sampai ke tujuan, kugunakan kendaraan Ridha. Kalau aku tersesat atau menemui jalan buntu, kugunakan kendaraan Tawakkal. Itulah kendaraanku menuju Baitullah,” 

Subhanallah

“Maukah Bapak naik kendaraanku ? Kita dapat pergi ke Baitullah bersama-sama,”
 “Terima kasih Nak, Allah sudah menyediakan kendaraan untukku. Aku tak boleh menyia-nyiakannya"

Ternyata, orang tua itu adalah Ibrahim bin Adham, seorang ulama yang terkenal dengan kebijaksanaannya.

=-)< Refleksi Hikmah :
Untuk menempuh perjalanan kehidupan yang kita lalui ini. Bukan mobil mewah yang kita butuhkan sebagai kendaraan kita. Bukan pula harta melimpah yang kita butuhkan untuk bekal mengarungi kehidupan ini.

Cukup hati yang lapang, yang dapat menampung segala kemungkinan keadaan. Menyediakan bahan bakar Syukur, Sabar, Ridha dan Tawakkal. Hidup akan terasa lebihindah😄