Minggu, 24 Februari 2013

Potretku di Purnama Kelima...



L
angkah tenang sehabis menunaikan sholat Maghrib menyertaiku. Kulihat dibalik awan kelabu diufuk timur sana diam-diam sang purnama mewujudkan diri. Baru kusadari kehadirannya menyinari semesta raya. Saat kutatap lekat, dia malu-malu dan bersembunyi lagi dihalangi awan yang seolah iri akan sikap yang kutampilkan untuk sang putri malam.

Kubuang muka jauh kearah alam persada. Angin yang semenjak kemarin tak henti-hentinya berdzikir menyapa wajahku. Sejuk kurasa. Kuarungi lagi langkahku hingga menapaki Tanah Jao. Tak terasa, sudah purnama kelima kuadaptasikan diri di kota Hujan ini. 

Ondeh... alah limo bulan se waang digantau urang mah Da!”

Keterkejutan Uni-ku ketika kuhubungi via ponsel sore tadi. Yap, lima bulan sudah kuditerima sebagai anggota baru di daerah ini. Ah, cepatnya...



Hmm...

Lima bulan, bisa dibilang bukan waktu yang sebentar. Lama, Mens! Seharusnya sudah banyak asam garam yang kuperoleh selama pertualangan yang kulakukan ini. Apalagi perjalanan ini tidak hanya bermanfaat untuk diriku sendiri tapi juga buat “semuanya” InsyaAllah.

Salahkah aku?

Memanglah, kuakui aku kurang disiplin beberapa waktu belakangan. Banyak alasan yang diuraikan oleh diriku yang semestinya itu tidak terjadi (ah,,, lemahnya aku).

Tak sedikit targetan yang ingin kuraih terkubur bersama waktu yang kubuang percuma. Ini kelalaianku. Sungguh... sesalku.

Sehari menulis belum terealisasi maksimal, hafalan Al-Qur’anku tak bertambah-tambah, bacaanku masih seperti semula belum mengalami peningkatan, Waktu yang ada sering kutunda-tunda. Oh... padahal ini telah purnama kelima.

Beginilah potretku di purnama kelima di Bogor Raya. Kapankah perubahan kearah yang baik itu terjadi, kalau diriku tak memulainya hari ini dan detik ini?

Baiklah, kulawan musuh berat dalam diri ini. Ku yakin kubisa. Yap... Bismillah...۩

Bogor14.Rabbi'.1434H#malaminstropeksidiri
Sumber Gambar

Jumat, 15 Februari 2013

Guru, Impianku...


Banyak orang yang enggan menjadi guru yang benar-benar mengajar, mendidik dan memimpin anak didiknya. Banyak alasan yang diutarakannya. Masalah gaji-lah, bikin repot-lah dan segudang alasan lainnya. Sehingga mengajar merupakan pelepas kewajiban saja. Padahal, menjadi guru adalah pekerjaan mulia yang dapat menjadi perantara jalan menuju surga. Menjadi guru akan mengangkat derajat dan menjadikan hidup ini berkah. Menjadi guru akan menjadikan hidup ini penuh warna. Ketika wajah-wajah polos dengan penuh antusias menyambut kedatangan seorang yang akan mengajakannya sebutir ilmu. Melihat semangat yang terpancar dari sinaran matanya. Mendengar gaungan semangat membara yang meluncur deras lewat lisanya. Ah, sungguh indah. Ada harapan hidup disana.

Sudah saya ikrarkan bahwa saya hendak menjadi guru sejati. Guru yang patut digugu dan ditiru. Jelas betul  dalam catatan harian saya yang berisikan impian yang ingin saya gapai. Semula tak berani, karena belum kenal barangkali. Hingga akhirnya tergores juga rangkaian huruf G.U.R.U.

Ah, galau... 
Tantangannya sangat luar biasa. Apalagi bagi saya, seorang yang tiada sedikitpun berlatar belakang keguruan ataupun pendidikan. Namun, saya yakin bahwa saya pasti bisa membobol keraguan saya.

Biarlah perasaan yang tak menentu ini saya hadapi. Tangga kemenangan itu akan teraih juga suatu hari. Insya Allah...

Minggu, 10 Februari 2013

Sang Penolong



Dua pekan sudah saya menunda memperbaiki si Eiger, sandal gunung yang salah satu talinya copot dari ikatannya. Hari ini saya paksakan diri untuk mengantarnya berobat ke tukang sol, biar saya bisa mengajaknya jalan-jalan lagi sebagaimana biasa. Kasihan kalo tidak dibawa. Nanti dia tak kenal dengan kota hujan ini.

Setelah berlama-lama mengitari pasar Parung Bogor, akhirnya Ba’da dhuhur saya menemukan tukang sol disalah satu sudutnya. Sempat saya putus asa untuk sekedar menemukan seorang tukang sol dan  membatin bahwa akankah saya menemukannya di pasar kawasan kota hujan ini? Saya berkata begitu dengan alasan sudah menjamurnya super market dan emol-emol (maksud dari emol itu ialah Mall, hehehe) yang membuat pasar tradisional disekitarnya sekarat menunggu ajal menjemput. Tak ayal juga para pedagang mencari penghidupan di dalamnya akan ikut tenggelam bersama hilangnya si pasar tradisional.
Tukang Sol (Sumber, bagindaery.blogspot.com)
15 menit,  waktu yang tidak terlalu lama bagi seorang sol seperti lelaki yang cekatan dan periang yang kutemukan barusan. Dengan topi ala koboy yang telah usang dipadukan dengan baju dan celana pendeknya yang lusuh. Lelaki paroh baya itu menuntaskan pekerjaannya memperbaiki Eiger hingga sembuh kembali.

Langit cerah mendadak mendung. Saya bayar gopek jasa si bapak dan berlari takut ditimpa hujan yang hendak turun. Saya arahkan langkah ke pusat perbelanjaan untuk membeli barang-barang keperluan sehari-hari. Sesampainya di lokasi yang dimaksud, Tiba-tiba hujan deras membasahi bumi. Segera saya membeli beberapa barang yang diperlukan.

Usai sudah. Memperbaiki Eiger dan membeli beberapa kebutuhan. Namun, bumi belum puas ditangisi hujan. Makin lama makin hebat tangisannya. Biar nggak bosan, kembali saya menitipkan tas dan masuk lagi kedalam pusat perbelanjaan melihat-lihat harga, hehehe.

Puas sudah. Hujan diluar sudah agak reda. Saya lihat ada angkot arah Parung dari Ciputat berhenti. Takut kebasahan oleh rintik hujan, Saya naiki angkot Ciputat hendak ke Parung. Dibelakang saya ada beberapa orang menyusul. Dia menanyai saya hendak kemana. Mau ke Parung, Jawab saya. Kemudian dia utarakan bahwa dia dan beberapa orang lainnya yang belakangan kutahu semuanya keluarganya mau ke Jampang. 
Angkot Ciputat-Parung (Sumber, kabartangsel.com)
 
“Langsung ke Jampang?” tanya saya sembari melirik barisan kata Ciputat-Parung.

“Iya” jawab Ibu yang saya tanyai singkat.

“Ups, ngapain turun di Parung skalian aja ke Jampang”. Saya membatin. Memanglah tujuan saya ke Jampang, tempat dimana saya tinggal. Kalau dari arah Ciputat letak Jampang belakangan setelah Parung.

Akhirnya saya sampai di Bumi Pengembangan Insani (BPI), “rumahku”

“Turun disini?” sang sopir yang tak tahu menahu status saya bertanya kaget.

“Bukannya masuk rombongan orang yang menyewa angkot ini!” lanjut si sopir.

Kali ini saya yang dibuat kaget. Apa? Angkot sewaan? Saya tak menduga sebelumnya. Ibu dan keluarganya yang menyewa angkot semuanya tersenyum. Sementara saya hanya terperanjat mematung setelah turun dari angkot.

“Terima kasih Bu...” Hati saya berteriak.

Hmm... sang penyelamat saya dari kehujanan. sang penolong hujan... Semoga saya bisa juga membantu orang yang kesusahan nantinya. ۩



DITUNDA DULU...



Penantianku... (Sumber, bp.blogspot.com)

Ini kisah nyata. Seseorang meminjam uang yang saya punya. Saya pinjamkan hingga tenggang waktu yang telah ditetapkan. Karena sifat dasar saya yang tak kepingin menagih-nagih. Pada hari yang ditentukan, saya tak berani menagih uang yang dipinjam kawan saya itu. Padahal ketika itu saya lagi kanker alias kantong kering dan saya sangat butuh uang tersebut. Malangnya lagi, si peminjam seolah tak pernah memiliki hutang dan bersikap cuek pada saya pada hari H pembayaran, seakan dia tahu bahwa saya tidak akan menagihnya. Hal tersebut membuat hati saya panas dan geram. Namun, pertimbangan ikatan silaturahim lebih berarti bagi saya ketimbang uang yang sangat saya perlukan itu. Akhirnya saya urungkan niat untuk melampiaskan kegeraman yang merasuki jiwa.

Hari-hari berlalu dan hampir tiga bulan uang tersebut tidak sampai-sampai ditangan saya. Di hati saya telah katakan bahwa saya tidak akan menagih, kalo dibayar ya saya terima, tapi kalo nggak ya udah saya ikhlasin saja.

Hingga pada suatu siang. Saya diajak teman (Sebut saja namanya Sobran) break lunch di suatu rumah makan. Hal ini tidak biasa saya lakukan, sebabnya saya biasa makan siang di kantin kampus karena lebih hemat dan tetap mengeyangkan. Tengah makan saya teringat bahwa saya memiliki hutang pada Sobran beberapa waktu lalu, ketika saya dan dia makan bakso di warung depan kosan. Usai Break Lunch saya utarakan bahwa saya berhutang pada Sobran. Dia tersenyum dan berkata bahwa dia telah lupa akan hal itu. Semula dia tak mau nerima pembayaran saya, namun saya katakan hutang tetaplah hutang yang harus dibayar. Akhirnya dia mau nerimanya.

Malam hari. Seperti biasa saya memencet-mencet tobol-tombol keyboard Aceng, sapaan buat laptop saya. Dengan earphone tergantung dikuping dan kepala sedikit ikut bergoyang diikuti beberapa anggota badan saya, saya nikmati alunan nada dan irama dari Mp3. Sedang asix-asix na, tiba-tiba datang sahabat satu kosan masuk kamar saya sambil menyodorkan beberapa lembar uang puluhan ribu. Saya terperangah, uang apa ini? Tanya saya. Dia bilang bahwa itu adalah uang yang dipinjamnya pada saya beberapa bulan silam. What? Saya sudah melupakannya. Tapi tak apalah, akhirnya saya terima tuch uang. Seolah menerka apa yang sedang saya pikirkan dia minta maaf karena terlambat membayarnya sebab belum ada uang alasannya. Saya sambut dengan senyum dan lisan ini bilang never mind, nggak apa-apa.

Dibenak saya terekam lagi kejadian saat saya membayar uang pinjaman pada Sobran tadi. Barangkali karena saya menunda-nunda membayar uang pinjaman pada Sobran dibalas juga dengan tertundanya si peminjam mengembalikan uang saya. Namun, ketika saya segera membayar hak orang lain, hutang. Secepat itu pula diperlihat oleh Allah Swt bahwa uang saya dikembalikan.

Malam ini aku tercenung memikirkan peristiwa sehari tadi. Allah Swt memang selalu benar dan tak akan pernah sekali-kali mengingkari janjiNya. Ampuni hamba ya Rabb... ۩


 ۩ Keheningan Malam Bogor, 10 Februari 2013۩

Sabtu, 09 Februari 2013

NIMBRUNG DALAM IBF...


November 2012 silam aku pergi ke Indonesia Book Fair yang bertempat di Gelora Bung Karno Jakarta. Lelah memang. Tapi, tiga buah buku tentang pendidikan berhasil kubawa pulang. Free? Ya enggak lah... beli tau. J

Februari 2013, aku  hadir di Islamic Book Fair (IBF) 2013. Nawaitu ini telah kutanamkan sepulangnya dari Book Fair Jakarta lalu.
IBF 2013 (Sumber, bp.blogspot.com)
 HARI BERANJAK SIANG. Agenda Mabit SMP IT dan acara aksi tanam pohon dalam rangka HUT Pers Nasional di sekolah tempatku dimagangkan telah usai. Berbekal tekad dan keberanian, aku dan beberapa teman satu angkatan di Sekolah Guru Indonesia langsung berangkat menuju Islamic Book Fair (IBF) 2013 tanpa menyetor wajah terlebih dahulu pada asramaku di Jampang.  IBF kali ini diadakan di Masjid Raya Bogor. Tempat yang belum pernah kuhampiri sebelumnya. Maklumlah, baru kali ini diriku menjajahi tanah Jao.

Duduk mematung dalam bus Pusaka sambil tengok kiri dan kanan memperkenalkan wajah pada kota hujan. Dedaunan bergoyang seakan membalas senyum yang kusebar.

Memakan waktu sekitar 50 menit, lokasi IBF menampakkan diri. Sedikit tercenung dengan senyum mengembang. Kuayunkan tangan memasuki dan singgah di beberapa stand perbelanjaan. Beberapa buku telah kuincar. Berputar-putar mengelilingi stand IBF mencari hal diinginkan, akhirnya di salah satu stand aku dapati buku Munif Chatib. Tiga buku langsung kusabet. Cukup murah karena dapat potongan harga.

Untuk menghilangkan letih, kuhampiri Masjid Raya Bogor. Kucurahkan semua rasa yang berkecamuk dalam dada pada sang kuasa.  
Masjid Raya Bogor, Lokasi IBF 2013 (Sumber, bp.blogspot.com)
Eh, ada sop buah. Apa ya rasanya? Kupesan buat menghilangkan dahaga. Wuih... nikmat juga ternyata. Kulanjutkan mengitari lokasi IBF. Suara seminar terdengar. Kuhampiri. Wah menarik hati. Temanya sinematografi Islami. Doi punya ne, hehehe.

Masuk ruangan seminar, aku disuguhi pemandangan luar biasa tak terkira. Pemandangan alam kota bogor penyejuk mata dipinggiran sana dan aura seminar pembakar semangat dalam dada.

Wah... kueren. Hari yang berwarna. Perjalanan ini tak sia-sia.

TAK PERNAH TERBAYANGKAN SEBELUMNYA aku akan hadir di Tanah Jao menghadiri IBF, padahal tahun lalu, pameran buku hanya kunikmati di kota kelahiranku. Itupun tidak semegah yang kualami saat ini. Semuanya berkat Allah Swt  yang mewujudkan impian-impian yang kutulis dalam catatan harianku itu.
Buku Munif Chatib yang ku beli di IBF 2013