Selasa, 15 Agustus 2017

Tumbuh Cerdas



Pitih untuk ngedisplay udah meleleh. Bilik kelas yang masih kosong melompong siap buat didekorasi. Para siswa udah pada nggak sabaran pula untuk gunting-menggunting, robek-merobek, lem-mengelem, dan nempel-menempel. Apa yang hendak diperbuat kalo keadaannya udah begitu?

Okelah, guna memenuhi hajat semua pihak dengan mempertimbangkan pasal berkeadilan, maka dengan ini saya putuskan untuk membuat dan berbagi mengenai display kelas. Display Kelas dengan tema "Anggota Kelas" yang perdana tahun ini berjudul “Tumbuh Cerdas.” Display ini saya buat untuk siswa yang ada di kelas yang saya 'kendalikan.’ Berharap semoga para siswa di Kelas 6 Usamah bin Zaid tumbuh dan berkembang cerdas serupa sahabat Rasulullah tersebut. Well, langsung aja saya jabarkan mengenai tata cara pembuatannya. Cekidot…


Semula, siapkan alat dan bahan yang diperlukan. Apa aja?
 Gunting/ cutter
 Spidol
 Lakban
Double tip
 Lem
 Piring Styrofoam (round plate) (Ukurannya disesuaikan dengan hasrat masing-masing)
 Karton manila Kuning, merah, dan putih (warnanya sesuai selera)
 Kertas origami warna hijau, ungu dan merah (bisa jua pilih warna lainnya sesuai kehendak masing-masing)
 Foto siswa (termasuk foto gurunya ya)

Langkah pertama, buatlah background display menggunakan karton manila warna kuning dan merah. Boleh jua memanfaatkan background ‘bongkar pasang’ jikalau di kelasnya tersedia. Gunakan double tip, lakban, atau lemnya guna menempeli backround yang sudah jadi di dinding kelas.


Selanjutnya, guntinglah kertas origami hijau membentuk daun rerumputan; kertas origami ungu dan merah digunting membentuk kelopak bunga. Potongan kertas origami hijau yang telah membentuk dedaunan rumput tadi ditempel di bagian bawah background display. Sedangkan kertas origami ungu dan merah yang membentuk kelopak bunga ditempelkan memenuhi pinggir piring styrofoam.


Aturlah foto jpg dengan format bulat. Gunting hingga membentuk bulatan hingga pas dengan bulatan piring styrofoam. Foto yang telah digunting, selanjutnya ditempelkan di bagian tengah piring styrofoam. Lihatlah sekarang, koalisi kertas origami ungu/merah, foto, dan piring styrofoam menjelma wujud bunga nan cantik.


Bunga nan cantik itu lalu tempelkan di backround display yang telah bertengger di dinding. Bentuklah pola pagar dengan karton manila putih dan temple pula di bagian bawah backround display. Terakhir tempelkan pula anyaman abjad “Tumbuh Cerdas” di posisi pojok kanan atas. Setelah itu, TARAAAAA… wujudlah display kelasnya.



Bagaimana Sobat Guru? Mudah, Bukan?

Demikianlah classroom display “Tumbuh Cerdas-nya”, moga bermanfaat dan menginspirasi. Selamat mencoba ya sobat guru![]

*gambar bahan dan alat diambil dari berbagai sumber

Selasa, 01 Agustus 2017

Cake Kagetan



Bila menyoal selebrasi, aku termasuk golongan yang terlalu abai. Apalagi yang berkait dengan pribadi. Semisal saja, perihal merayakan hari lahir. Merayakan hari lahir termasuk barang langka dalam sejarah hidupku, bahkan sudah punah malah. Seumur-umur, tiadalah pernah tembang “Happy Birthday” terlantun dari lisan atau menggema di gubuk yang kerap saya tempati. Namun, hari ini beda: ada kecupan beriring do’a dari sang bidadari surga menyapa, ada tingkah si Dedek Annida yang membuat hati bungah, ada bait-bait harapan terhantar dari sanak saudara, ada pula cake kagetan yang menggoda. Nah, untuk yang tersebut terakhir itu, bahkan sang pemberinya pun benar-benar kagetan pula, tiada terduga sebelumnya. Kejadian ini betul-betul berhasil mengubah amarah menjadi senyum semringah.

***

Bel berteriak memanggil para murid agar menghentikan aktifitas permainannya. Siswa-siswa putih merah itu gegas memenuhi ruangan persegi yang menjadi habitat mereka meraih ilmu. Kaki kuarahkan ke lantai tiga sekolah. Dua puluh anak tangga pertama sudah terlewati. Tersisa dua puluh anak tangga lagi. Haps, langkah terakhir menjadikan posisi saya telah menempati lantai tiga gedung abu-abu. Beberapa langkah lagi saya akan berada di lokal paling pojok guna berjumpa generasi bangsa ini.

Retinaku menangkap bayangan. Ada sekira sepuluh murid yang masih berkeliaran di luar kelas sewaktu kaki ini berjalan menerobos lorong-lorong koridor. Harusnya bakda istirahat seperti ini mereka memuraja’ah hafalan Al-Qur’an sembari menanti sang guru memasuki kelas––begitulah aturan yang sudah disepakati pekan lalu.


Langkah ku percepat. Menengok gegalatku yang kurang bersahabat, murid yang paling bongsor mengomandoi kawan-kawannya berlari menuju kelas. Pintu ditutupnya secepat kilat. Keras bantingannya menggetarkan gendang telinga. Mukaku merah saga. Getaran bibir tiada dapat lagi dikendalikan. Tangan menyentuh gagang pintu. Mulailah kata-kata teguran menari-nari dalam benak.

“Surprise!!!” koor para siswa serempak.

“Apa?!” intonasiku meninggi beradu ragu. Kekata teguran yang telah terjalin siap untuk diluncurkan. Murid bongsor yang duduk di pojok kanan senyumnya makin merekah. Dia memandangi kawannya bergantian, satu per satu, semacam ada kode rahasia. Tak lama….

Happy Milad, Pak Danil!!!” lisan siswa-siswa tersebut menggaung bagai memecah bilik kelas. Pandanganku menyapu ruangan kelas yang sudah didekorasi rapi, di meja depan tergolek cake kejutan. Kapan mereka menghias kelas ini? Tanda tanya bergelantungan dalam kepala. Nana, siswa yang punya ide “mengerjain” gurunya tersebut mengacung tangan dan menjelaskan sebab musababnya. Wajah yang bersemu merah saga perlahan pudar. Ooo, pahamlah ku kini. Malu terasa. Terucap terimakasih tiada hingga pada semua yang telah berhasil mengubah amarah menjadi senyum semringah. Nasyid “Selamat Hari Lahir” mengalun syahdu.[]


-Dalam Bilik Persegi 6 Usamah-

Selasa, 11 Juli 2017

Sakit Pertama



“Tidaklah seorang muslim yang tertimpa gangguan berupa penyakit atau semacamnya, melainkan Allah akan menggugurkan bersamanya dosa-dosanya sebagaimana pohon yang menggugurkan dedaunannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ayah dan ibumu panik tak kepalang di hari ke sembilan belas bakda kelahiranmu. Bila pada hari-hari sebelumnya hulu tangismu tersebab lapar, buang air, gerah, atau paling mencemaskan karena pilek dan batuk––tersebab dirimu masih beradaptasi dengan “dunia baru,”¬––maka hari ini belumlah diperoleh penyebab isakmu yang meluluhkan hati itu. Kata Ayekmu––Amak ayah–– dirimu tengah diserang penyakit kabanyia––istilah orang-orang Bancah, kampung ayah untuk menyebut penyakit semacam campak (karena gejala penyakit ini agak mirip dengan penyakit campak).

“Liyeklah Yuang, badan anak Ang dipanuahi bintiak-bintiak sirah. Ado nan bananah bagai” jabar Ayekmu dengak aksen Minang khas. “Ondeh… Iko kabanyia mah!” intonasinya makin kental sekental bumbu rendang. “Pakai daun jarak, Yuang!” ayekmu menyebut obat untuk penyakit kabanyia tersebut. Ayah dan ibumu manggut-manggut saja.

Esoknya, pagi-pagi sekali, sebelum mentari meninggi, ayekmu datang membawa beberapa lembar daun jarak. Selepas mandi, daun jarak yang telah direndam itu diusap-usapkannya ke sekujur badanmu. Sehabis badanmu terusapi daun jarak itu, tangismu mulai reda. Lega pula hati ayah dan ibumu rasanya. Belum usai satu jam sesudah itu, ayekmu tergopoh-gopoh mendatangi ayah, tangannya ditemani baskom kecil berisi daun jarak yang direndam tadi.

“Yuang, liyeklah! Daun jarak ko lah layu. Aratinyo, anak gadih Ang ko kanai kabanyia” beber ayekmu sebelum sempat ayah melontar tanya. Ayekmu lalu meminta ayah mencari kelapa muda untuk pengobatan penyakitmu (kelapa itu nanti akan dibumbui irisan bawang merah, lalu airnya diminum oleh ibumu).

“Isuak sa lah, Mak. Wak liyek sahari ko dulu” tenang ayah pada ayekmu.

***

Bakda magrib di hari ke dua puluh, jeritanmu kembali memecah alam. Panik mendera ayah dan ibumu lagi. Ayekmu kembali datang membawa daun jarak, merendamnya dalam air, kemudian mengusapkannya pada badanmu. Tangismu bukannya reda, tapi berusaha mencabik-cabik jubah malam. Mendengar tangismu yang menjadi-jadi tersebut, ayekmu marah pada ayah tersebab kelapa muda yang dimintanya untuk obatmu tiada ayah penuhi. Akhirnya, ibumu menyarankan untuk membawamu ke tabib.

“Ada bisul di punggungnya” lisan tabib mengurai panik. Rupanya, muasal tangismu disebabkan bisul di tubuhmu bagian belakang yang sudah membengkak kelihatannya.

“Perbanyak makan sayuran. Jangan mengonsumsi telur dan ikan laut dulu ya, Buk” sang tabib menjawab kepenasaran ibumu. “Bintil-bintil merah yang ada di beberapa bagian tubuhnya ini disebabkan karena cuaca panas. Kebanyakan bayi memang mengalaminya. Ini masa adatasi tubuh bayi dengan lingkungannya yang baru. Jangan dipencet, ya. Nanti akan sembuh dengan sendirinya” petuah tabib sambil memberi sewadah salep yang akan dioleskan disekitar bisulmu itu dan obat berupa pil yang sudah ditumbuk buat nanti kau minum. Usiamu yang belum mencapai satu purnama sudah akan menelan bubuk pil? Ayah dan ibumu serta ayekmu makin bersedih. Namun, belum ada pilihan lain. Nak, ayah dan ibumu banyak belajar kesabaran darimu. Semoga dirimu lekas sembuh ya, Sayang. []

-Syawal 1438 H di Awal Juli 2017-

Romanmu Itu, Nak....



“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At-Tiin:4)

Ayah tiadalah lupa, Nak. Di malam yang dihiasi senyum rembulan serupa sabit itu; kala itu usiamu sekira lima purnama, di atas peraduan, ayah mereka-reka romanmu––sebutan orang-orang Bancah, kampung ayah terhadap kesamaan-kemiripan rupa seseorang dengan orang lain¬––seraya tangan ayah mengelus epidermis perut ibumu dan merasakan tendangan lima bulan yang kau ciptakan itu.

“Hmm, Romanmu serupa ayah, Nak. Hidungmu, matamu, mulutmu, hitam rambutmu, warna kulitmu, segalanya… mirip ayah. Sepertinya gen ayah kau warisi, Nak.” Lisan ayah perlahan menerka, dengungan kipas angin mengiyakan. Bola mata ibumu melirik. Ditatapnya air muka ayah sejenak. Kemudian, kedua bibirnya membentuk lengkungan serupa sabit yang tengah menggantung di angkasa sana.

“Hani berkeyakinan serupa itu pula, Da. Romannya sepertinya meng-copy-paste penampakan Uda, hehe.” Ucap ibumu diikuti kekehannya.

“Namun, Hani kurang bersetuju bila hidungnya dapat warisan dari Uda.” Lengkungan bibir ibumu membalik bagai payung terkembang. Manyun. Gurauannya dibarengi sentuhan jemarinya pada hidung ayah, lama-kelamaan dipencetnya hingga ayah sulit bernapas. Kau tahu, Nak, meski hidung sawo ayah ini tidaklah semancung miliknya Aktor Bollywood, akan tetapi, pesona hidung pesek ini tetap saja membuat ibumu mabuk kepayang, hehe.

***

Malam membentangkan permadani gelapnya. Semakin menua, kelamnya semakin pekat. Takbir, tahmid, dan tasbih masih bersahutan melalui pucuk-pucuk menara masjid di seantero persada. Petang rabu ini memasuki malam yang ke dua puluh Ramadhan.

Bakda Tarawih tadi, ibumu mengeluh, ada rasa sakit menyerangnya. Datangnya nyeri itu mendadak saja. Raut air muka ibumu tak pernah semeringis ini, meski kerap pula ditemani rasa sakit selama mengandungmu ini. Segera saja, ayah mengajak ibumu mendatangi tabib yang selalu menangani ibumu. Semula, ibumu menolak. Ia berkilah bahwa nyerinya akan segera pergi dalam beberapa menit mendatang, seperti sebelum-sebelumnya. Akan tetapi, ayah tak kuasa menengok ibumu menahan keperihan yang tengah ditanggungnya. Dengan agak memaksa, berangkatlah ibumu dengan ayah menuju kediaman Tabib Islah di Pandawa sana.

“Ini sudah bukaan enam, Buk… Pak!” ucap Tabib Islah memberi keterangan sesudah melakukan pemeriksaan terhadap ibumu. Ayah terperanjat, melongo tak percaya akan pendengaran. Ibumu tak sedikit pula rasa kaget menghadangnya.

“Ibu tak usah balik ke rumah lagi. Khawatirnya nanti bayinya lahir di rumah tanpa bantuan medis. Dan, ini berbahaya. Perlengkapan untuk lahirannya sudah sekalian dibawakah?” tabib berbaju putih-putih itu menyapu bola mata ayah dan ibumu bergantian. Ayah mengangguk cepat bagai diaba-aba. Untunglah tas merah jambu yang berisi perlengkapan buat lahiranmu itu ikut bergelayutan di kuda besi yang ayah tunggangi tadi. Ibumu dipandu oleh sang tabib untuk menanti dan mencari rasa sakit.

Penunjuk waktu yang menempel di dinding berdenting satu kali. Tepat pukul satu dini hari. Sudah bukaan sembilan. Ibumu berkali-kali menarik napas panjang dan menghembuskannya kembali. Perjuangnya tak tanggung-tanggung, perihnya sukar terucapkan, tak salah-lah bila hingga tiga kali ucapan Sang Nabi bilang bahwa ibu adalah orangtua yang paling mulia tinimbang ayah, karena perjuangannya antara hidup dan mati. Ayah dibanjiri peluh dan air mata. Tabib dan dua kawannya dengan penuh kesabaran membantu persalinanmu. Kata tabib itu, dirimu telah menemukan “jalan keluar”. Saat ejanan terakhir yang dilakukan oleh ibumu; lima menit lewat dari dentingan sekali tersebut, pecahlah suaramu, Nak. Tangismu mengonyak jubah malam. Berkali-kali ayah mencium kening dan wajah ibumu, ada syukur tak hingga mengisi relung hati ayah. Senyum mengambang di wajah ibumu. Sedang dirimu langsung didekapkan di atas perut ibumu.

“Lebih mirip siapakah romannya, Da?” bisik ibumu. Menataplah ayah menyapu ujung rambut hingga ujung kakimu. Bila diperhatikan sekilas, romanmu persis serupa ayah, terutama rupa wajahmu dan bagian hidungmu, hehe. (Bahkan kelak, kata orang-orang dan difoto pun, romanmu tetap lebih serupa ayah). Namun, bila lamat-lamat, dengan teliti retina ini mengamatimu, romanmu itu: sipit matamu, susunan alismu yang bagai semut beriring itu, lentiknya rambut matamu, tipisnya rekahan bibirmu, dagumu nan serupa lebah bergelayutan itu, kemilau rambut lurusmu, rupa telingamu, bentuk kukumu, warna kulitmu, dan postur tubuhmu itu bagai pinang dibelah… (bisa dua, bisa pula lebih, hehe) dengan ibumu.

Menatap romanmu itu, Nak, senyum ayah dan ibumu tak sirna merekah bagai rekahan delima. Romanmu sempurna. Kau sungguh ciptaan Sang Khalik nan seelok-eloknya, Nak. Bagi kami, orangtuamu, bagaimana pun romanmu, Nak; Apakah serupa ayah atau mirip ibumukah, sama saja; tiadalah akan menambah atau mengurangi kemuliaanmu disisi-Nya. Yang terpenting ialah ketaqwaanmu nanti, segala perangai – tindak lakumu diridhoi Allah dan Rasul-Nya. Bukankah orang yang paling mulia disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa?[]

-Sepuluh Malam Terakhir Ramadhan 1438 H-

Senin, 10 Juli 2017

Rasa Sakit, Debar-debar Jantung dan Pipi Bersemu Merah



“…Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Al-Zumar: 10)

Ibumu baru saja selesai menghidangkan beberapa biji kurma, sepinggan gorengan, dan air putih pelepas dahaga sebagai penganan untuk disantap sewaktu berbuka nanti. Bakda menunaikan shalat maghrib, sembari menyantap makanan yang terhidang, ayah dan ibumu bercakap-cakap pemecah heningnya kelam.

“Ada nggak ya, Da, wanita hamil dan melahirkan tanpa merasai sakit?” ibumu sekilas mengarahkan wajahnya pada ayah yang tengah menyanduk nasi tambahan, lalu melanjutkan suapan.

“Ada!” ucap ayah berhenti mengunyah sebentar. Mata ayah beradu pandang dengan ibumu. Benak ayah digelayuti prasangka bahwa ibumu jangan-jangan… Ah, belum waktunya.

“Tengoklah para wanita yang hamil di luar nikah. Sangat jarang didapati, bahkan tiada yang merasa bersusah payah ketika mengandung sebagaimana wanita-wanita lain yang berusaha menantang rasa sakit ketika mengandung.” Ayah menelan kunyahan, meneguk air membasahi kerongkongan.

“Terkadang, pertanda sebagai orang hamil juga tidak terlihat. Perutnya tiada tampak besar, dapat jua berjalan dengan gagahnya, ada pula yang bisa pergi ke sekolah dan membuat kegiatan lapangan serupa siswa lainnya, sedangkan sebenarnya dia tengah berbadan dua.” Ayah meminta ibumu untuk menambahi kerupuk pada piring ayah.

“Kemudian ketika melahirkan nanti, mudah saja anak itu keluar. Padahal, pada wanita biasa, yang mengandung dari hasil pernikahan yang sah, dalam keadaan begini harus dibantu oleh tabib – bidan nan terampil, itu pun susahnya Allahu Rabbi menahan sakit untuk melahirkan anak, tetapi bagi wanita yang telah berzina itu mudah saja.”

“Kenapa bisa ya, Da?” penasaran ibumu menyudahi santapannya. Ayah meraih air kobokan, membasuh tangan beserta jemari turut mengakhiri suapan.

“Sebab, Allah telah mencabut pahala kesabaran dalam merasai sakit dan kesusahan darinya. Bukankah wanita yang bersabar dan berharap pahala saat mengalami sakitnya melahirkan akan mendapat pahala? Dan, sesungguhnya besarnya pahala sesuai dengan besarnya kesabaran.” Bola mata ayah sejenak menatap ibumu yang mengangguk lamat-lamat.

“Dan, Allah meniupkan perasaan takut yang kerap menghantui para wanita yang berzina itu. Takut perbuatannya yang salah tersebut diketahui oleh orang banyak telah mengalahkan rasa sakit yang menimpa mereka.” Ayah bersiap menghela sila. Berusaha mengusir prasangka. Ibumu tercenung beberapa jenak menyimak penjabaran ayah. Tangannya lalu meraih piring kotor untuk dibereskan. Sewaktu hendak mengangkat pecah belah yang kotor itu, air muka ibumu berubah seketika, bagai siang terik tetiba dihalangi pekatnya awan. Terdengar ringisan ibumu. Terduduklah ia kembali, menaruh piring dan gelas yang tadi menggantung di telapaknya. Ayah terperanjat dan mulai gusar. Debaran jantung bagai setruman. Segera mendekati ibumu.

“Sakit, Han?” napas ayah memburu mengusir kecemasan yang mulai menghadang. Ibumu mengangguk cepat. Tak kuasa ibumu mengeluarkan kekata.

“Sabar ya, Sayang. Bersiaplah, kita ke tabib malam ini. Sepertinya sudah waktunya lahiran”

“Besok ajalah, Da. Ini bukan sakit hendak lahiran. Bukankah waktunya masih sepekan lagi?” ibumu membesarkan hati, menghapus khawatir dalam diri ayah. Lalu mengelus perutnya, berusaha menahan sakit. Di luar, azan mendayu-dayu.

“Itu azan sudah memanggil. Dirikanlah isya dan tarawih segera” ibumu mengalihkan pembicaraan.
***

"Jika wanita mengandung anak di perutnya, maka para malaikat akan memohonkan ampunan baginya, dan Allah SWT menetapkan baginya setiap hari seribu kebaikan, menghapuskan seribu kejelekannya. Ketika wanita itu merasa sakit karena melahirkan, maka Allah SWT menetapkan baginya pahala para pejuang di jalan Allah SWT. Jika ia melahirkan bayinya maka keluarlah dosa-dosanya seperti ketika ia dilahirkan oleh ibunya. Dan akan keluar dari dunia dengan tidak membawa dosa apapun. Di kuburnya akan ditempatkan di taman-taman surga. Allah memberinya pahala seribu ibadah haji dan umrah dan seribu malaikat memohonkan ampunan baginya hingga hari kiamat." Sabda Nabi SAW pada putrinya, Fatimah RA.

Malam ini ayah memperoleh penjelasan yang mendalam dari Ustaz Ahmad Mursyid. Beliau menguraikan kajian bakda isya-nya di Masjid Nurul Hidayah mengenai keluarga madani; wanita salehah dan taat akan suaminya. Niat ayah, nanti sesampai di rumah, pengetahuan ini akan ayah sampaikan pada ibumu.

“Assaalaamu’alaykum…” ucap ayah sambil membuka pintu.

“Wa’alaykumussalam, Da…” balas ibumu dengan senyum tirus, air mukanya pucat seolah tak dialiri darah lagi wajahnya itu. Ayah coba abaikan Gelisah menyapa dan mengarahkan langkah ke bilik untuk menyalin pakaian. Belum sepenuhnya badan ayah ditelan bilik, ibumu tetiba mengerang kesakitan sembari memegang perutnya serupa orang tengah menahan beban berat. Segera saja, ayah membopong ibumu ke dalam bilik. Dengan tergagap-gagap ibumu meminta ayah untuk membawanya ke klinik untuk periksa. Tanpa pikir panjang, ayah bersiap dan menangkap tas merah jambu berisi pakaian (persiapan lahiran) yang sudah disiapkan jauh-jauh hari.

“Tak usah bawa-bawa tas dulu, Da” lirih ibumu dalam sakitnya. Napasnya agak tersenggal.

“Ndak apa-apa. Mana tahu memang sudah saatnya lahiran!” ayah bersikeras, tak menghiraukan saran ibumu. Prasangka ayah makin membesar. Pak Rio, sebutan ayah untuk kuda besi yang kerap ayah tunggangi secepat kilat melaju menemui tabib.

“Adakah keluar darah berbaur lendir kental didapati sebelumnya?” tanya Sang Tabib sesudah melakukan pemeriksaan terhadap ibumu.

“Petang kemarin keluar bercak darah bercampur lendir. Begitu pula pagi tadi, lebih kental rupanya. Selain itu, juga terasa nyeri tiap sekali satu jam. Sewaktu ifthor tadi, nyerinya terasa tiap lima menit. Terkadang juga datang kram serupa hendak datang bulan”

“Itu pertanda. Waktu lahirannya sudah dekat, Buk. Ini saja telah bukaan enam!” papar Tabib Islah memberi keterangan. Ayah agak terperanjat, melongo belum percaya akan pendengaran. Ibumu tak sedikit pula rasa kaget menghadangnya. Padahal, hari perkiraan lahirannya masih sepekan lagi. Namun, prasangka ayah terjawab sudah.

“Ibu tak usah balik ke rumah lagi. Khawatirnya nanti bayinya lahir di rumah tanpa bantuan medis. Dan, ini berbahaya. Perlengkapan untuk lahirannya sudah sekalian dibawakah?” tabib berbaju putih-putih itu menyapu bola mata ayah dan ibumu bergantian. Ayah mengangguk cepat bagai diaba-aba. Untunglah tas merah jambu yang berisi perlengkapan buat lahiranmu itu ikut bergelayutan di motor yang ayah kendarai tadi. Ibumu kemudian diajak berjalan-berjalan mengitari klinik. Beberapa kali ibumu diminta untuk berjongkok lalu berdiri, beberapa lama jongkok lalu berdiri lagi. Begitulah panduan sang tabib untuk menanti dan mencari rasa sakit sebelum lahiranmu.

“Lima belas menit lagi insyaAllah bayinya lahir” ayah tahu, ucapan tabib yang kesekian itu hanya menghibur. Sudah dua jam ayah menemani ibumu mencari dan menanti datangnya rasa sakit. Tampaknya rasa sakit yang ditunggu pake jual mahal, hadirnya sesekali saja.

Penunjuk waktu yang menempel di dinding berdentang satu kali. Tepat pukul satu dini hari. Sudah bukaan sembilan. Ibumu berkali-kali menarik napas panjang dan menghembuskannya kembali. Butir-butir peluh bergulir menganak sungai di sekujur tubuhnya. Balon air pecah membasahi pelupuk matanya. Tiap kali ibumu mengejan, membara saga mukanya. Tangan ayah bertambah kuat digenggamnya. Saat ibumu mengeluarkan suara menahan sakit, dicegah oleh sang tabib, tak baik selama proses persalinan, katanya. Perjuangan ibumu tak tanggung-tanggung, perihnya bagai dua puluh belulang dipatahkan secara bersamaan. Pedih. Benarlah Sang Nabi, hingga tiga kali bersabda bahwa ibu adalah orangtua yang paling mulia tinimbang ayah, karena perjuangannya dalam melahirkan berada antara hidup dan mati, Nak.

Ayah dibanjiri peluh. Debaran jantung tak serupa biasa, detaknya lebih menggila dari semula. Lisan tiada henti melafazkan asma-Nya. Do’a dihaturkan. Berkali-kali ejanan diperbuat oleh ibumu. Tabib dan dua kawannya dengan penuh kesabaran membantu persalinanmu. Kata tabib itu, dirimu telah menemukan “jalan keluar”. Benar saja, sewaktu ejanan terakhir yang dilakukan oleh ibumu; lima menit lewat dari dentangan sekali tersebut, pecahlah suaramu, Nak. Tangismu mengonyak jubah malam, mengurai senyapnya gulita. Ayah mencium tangan, kening dan wajah ibumu berkali-kali, ada syukur tak hingga mengisi relung hati ayah. Bening-bening kristal deras menyusuri pipi. Senyum pun mengambang di wajah ibumu, bungah jiwanya, lega dada terasa. Sedang dirimu dibonding, menangis dalam dekapan ibumu.

“Menangislah sepuasmu, Nak!” lirih ayah berlomba dengan tangis bahagia. Ibumu yang masih tergolek di pembaringan perlahan melirik ayah. Senyumnya belum pupus. Hidungnya kembang kempis menghirup oksigen. Dicoleknya ayah, geli melanda.

“Sekarang disuruh nangis. Bentar lagi dilarang-larang ada tangisan” gurau ibumu bagai lupa perjuangannya di medan nan berat beberapa waktu lalu. Tabib dan dua kawannya mendongak, ngeh akan candaan ibumu. Mereka bersitatap, lalu tertahanlah tawa dalam bilik serba putih itu. Wajah ayah memanas. Tersadar, rupanya pipi ayah sudah merona bersemu merah.[]

-Pandawa, Sepuluh Malam Terakhir Ramadhan 1438 H-

Senin, 12 Juni 2017

Ihwal Namamu

Jauh sebelum hadirmu, ayah sudah menyiapkan nama buatmu, Nak. Semenjak ayah mendapat kabar tanda dua garis merah dari alat uji kandungan itu. Begitu pula halnya dengan ibumu, tak sekali dua dia mengucap beragam nama, berkehendak agar ayah menyepakatinya. Ayah dan ibumu menyakini bahwa nama itu sungguh sangat berarti, lebih dari sekadar anyaman kata, ianya adalah sebuah do’a.


Bila ditakdirkan kau seorang perempuan, Nur Annida El Madani, adalah nama yang akan kami berikan buatmu, Nak. Nur berarti cahaya. Cahaya (iman, pengetahuan) yang nanti dapat menerangi diri dan sekitarmu. Nur, namamu itu, Nak, diambil dari kata dalam Al-Qur’an Surah An-Nur:35,

“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”


Alasan lain ayah dan ibumu menyematkan kata Nur, Bahasa Arab ini pada namamu, tersebab nenekmu (Mak dari ibumu), Ayekmu (Amak dari ayah) memiliki kata yang sama pada nama mereka. Nur, juga didapati pada nama sepupu dan Etek-etekmu (adik ayah). Kelak, Nak, Kau termasuk muslimah yang memancarkan cahaya iman dan pengetahuan itu, semoga.

Annida, Bahasa Arab ini mengandung arti Bahagia; kebahagiaan. Ialah wujud kebahagian ayah dan ibumu, sesudah sekian purnama menanti datangnya kabar kehadiranmu. Perkara lain yang menjadi musabab nama Annida ini kami lekatkan pada dirimu, karena Ayah doyan mengunyah lembaran Annida, Majalah Islami yang terlahir dalam kurun 1991-1993 silam. Ayah, juga ibumu, mendamba sosok yang bergiat dalam hal literasi nantinya; berdakwah lewat Alqolam serupa majalah yang namamu diadopsi dari namanya. Lebih dari itu, Nak. Annida adalah akronim dari Anak Heni dan Danil. Tidakkah Kau takjub akan hal itu, Nak?

El Madani, masih dalam Bahasa Arab, mengandung arti Kemajuan; peradaban. Agar kau, Nak, menjadi perempuan yang tiada lupa akan identitasmu selaku muslimah meski hidup di zaman modern. O iya, empat aksara paling belakang, Dani, juga akronim nama ayah dan ibumu, Danil Heni. MasyaaAllah…. Dua kali nama ayah dan ibumu disenyapkan dalam namamu. Agar kelak, andai karibmu nanti menyapamu dengan panggilan ini, kau akan sentiasa mengingat bahwa kau terlahir dari rahim seorang ibu nan tegar-sabar, Heni dan ayahmu Danil. Jadi, Nur Annida El Madani berarti, (Anak Heni dan Danil) penuh Cahaya Kebahagiaan (nan menerangi) kemajuan (zaman).

Bukankah nama tersebut pilihan yang paling baik kami hadiahkan buatmu, Nak?


Andai kau lelaki, Nak. Maka, Muhammad Nadhif El Madani- lah nama yang hendak kami sematkan padamu. Muhammad adalah Nabi kita. Ayah berkeyakinan bahwa tiada seorang pun yang akan menyematkan nama ini dalam namanya melainkan ia seorang muslim. Kau patut berbangga memiliki nama Muhammad ini, Nak. Ianya adalah identitasmu sebagai muslim. Muhammad juga bermakna (manusia) yang Terpuji. Nadhif berarti Bersih. Supaya nanti, semasa hidupmu, kau termasuk golongan yang bersih dari segala hal yang keji dan mungkar, dari semua hal, Nak. Sekali lagi, dari semua hal.

El Madani artinya Kemajuan; peradaban. Agar kau, Nak, menjadi lelaki yang meski hidup di zaman modern, namun, Kau mesti tetap mengingat akan identitasmu selaku muslim. O iya, empat aksara paling belakang, Dani, merupakan akronim nama ayah dan ibumu, Danil dan Heni. Sengaja ayah senyapkan nama ayah dan ibumu dalam namamu. Agar kelak, andai karibmu nanti menyapamu dengan panggilan ini, kau akan mengingat bahwa kau terlahir dari rahim seorang ibu nan tegar-sabar, Heni dan ayahmu Danil. Jadi, Muhammad Nadhif El Madani berarti, (Anak Heni dan Danil) yang terpuji lagi bersih (dalam) kemajuan (zaman).

Tidakkah nama ini pemberian yang terpuji dari kami, orangtuamu, Nak? []



Jumat, 07 April 2017

Paket Kejutan


Pagi masih muda. Di anak tangga kelima, di depan pintu kelasnya, ibumu tegak berdiri. Biasanya untuk menunggu dan mendampingi siswanya memuraja’ah hafalan Al-Qur’an. Kali ini beda, bola matanya manatap jauh ke depan, perlahan menyapu sesudut lapangan. Tampak olehnya para siswa tengah menyusun barisan. Hari ini akan ada upacara bendera di sekolah, tempat ibu dan ayahmu mengajar, Nak.

“Bu Heni menang kuis, ya?” Buk Wina, kawan ibumu tetiba membuyarkan tatapannya. Darah ibumu berdesir. Terkejut. Mukanya ditolehkan ke sumber suara. Dahinya mengerut penuh tanda tanya. Menang kuis? Kuis apaan?.

“Di kantor ada paket. Dari program kuis Abatasa sepertinya. Teruntuk Bu Heni katanya” kawan ibumu itu bagai membaca pikiran ibumu. Ah, rasanya saya ndak ada ikut kuis itu. Mana mungkin menjadi pemenang. Kembali ibumu membatin dalam diam.

“Ambil nanti ya Bu Hen.” Ucap Buk Wina mengakhiri, diikuti langkahnya meninggalkan ibumu yang masih mematung di anak tangga kelima.

***
Semenjak mendapat kabar tentang kehadiranmu. Gairah ayahmu makin meletup menjalani hari-harinya. Air mukanya menyiratkan semangat itu, Nak. Ayahmu berpagi-pagi guna beberas rumah. Pekerjaan yang biasa dilakoni ibumu, ayahmu yang kini memeraninya: mencuci pakaian, bebersih peralatan dapur, hingga menyapu lantai. Ayahmu tak berkehendak bila terjadi sesuatu yang buruk terhadap ibumu, tepatnya terhadap dirimu, Nak. Ia begitu bahagia menanti kedatanganmu. Sebab itu, ia ingin memanjakan ibumu, menjaga kesehatanmu. Ah, andai kau hadir dan dapat menyaksikannya langsung, dipastikan kau akan terbakar pula oleh semangat ayahmu itu.

Menjaga kesehatanmu dengan memanjakan ibumu tidaklah cukup baginya. Ayahmu ingin mendidikmu menjadi anak yang terbaik dari segala hal di masa nanti, masa saat kau telah hadir di hadapannya. Sebab itulah ia mulai berburu referensi yang menyangkut dengan “ke-Ayah-an.” Seperti siang ini, bakda salat zuhur, di meja kerjanya, ayahmu telah berada di depan Acy, laptop mungilnya. Ayahmu mengajak Acy mencari referensi perihal ‘Cara Mendidik Anak.’ Beberapa artikel dan buku telah diunduhnya untuk dipelajari.

Ada satu buku yang menggoda hatinya. Ingin sekali dia memilikinya. Di toko buku yang ada tak jauh dari tempat tinggal ayahmu, belum ada nampak dipajang itu buku. Benar saja, buku itu ternyata dijual secara indie. Ayahmu langsung memesan. Tinggal transfer uang pembeliannya. Ditengoknya arloji di tangan. Istirahat masih tersisa 25 menit lagi. Beranjaklah ayahmu dari tempat duduknya menuju Anjungan Tunai Mandiri terdekat.

“Uda!”
Terdengar panggilan ibumu. Ayahmu menghentikan langkah, membalikkan badan dan mengabulkan lambaian tangan ibumu.

“Mau kemana?” belum sempat membuka mulut, tangan ayahmu ditarik ibumu. Ayahmu menurut bagai kerbau dicucuk hidungnya.

“Da, Hani dapat paket…” Ibumu memamerkan seonggok bungkusan, mengambil posisi duduk dan menceritakan kejadian pagi tadi ketika ditemui karibnya.

“Uda mau menansfer uang untuk pembelian sebuah buku” bersiap ayahmu mengatur langkah.

“Tunggu dulu. Apa Uda ndak penasaran dengan ini paket?“Jemari ibumu mulai membuka bungkusan di tangannya. Ada harapan bahwa isi bungkusan itu adalah setelan gamis yang selama ini diidamkan ibumu. Atau daster yang dapat menyamankan tubuhnya nanti. Atau pakain bayi yang kelak dapat kau pakai, Nak. Perlahan, terdengar derik sobekan plastik dan kertas pembungkus paket. Tiadalah lama. Nampaklah isi bungkusan itu.

“Sebuah buku, Da!” ibumu setengah berpekik. Disela keriangan hatinya, nampak ada rona kecewa mengurat di wajah ibumu itu. Ayahmu reflek menjatuhkan pandangannya pada benda yang masih tergolek di tangan ibumu.

“MasyaAllah…” intonasi ayahmu menyaingi pekikan ibumu. Matanya berkaca-kaca.

“Padahal Uda hendak menansfer uang untuk membeli buku ini, Han.”

“Apa?! Betulkah, Da?” sorot mata ibumu menukik bola mata ayahmu bagai tak percaya.

“Alhamdulillah. Berarti Allah mengirimi buku ini khusus buat Uda”
Ayah dan ibumu mengharu biru menatap buku “Islamic Parenting” goresan tangan Syaikh Jamal Abdurrahman itu.

“Dikirim oleh siapa, Han?” Ayahmu penasaran. Siapakah gerangan pengirim paket itu sebenarnya. Apakah betul dari Kuis Abatasa, program salah satu tipi seperti yang tertera di alamat pengirim? Atau jangan-jangan….

Ibumu membolak-balik buku, mencari muasal pengirim, mana tau ada yang keselip di salah satu halamannya. Tak ada pertanda. Ibumu beralih mengobrak-abrik pembungkus paket. Nihil pula hasilnya. Ibumu mengangkat bahu, lalu menatap ayahmu. Ayahmu meraih buku yang masih bertengger di tangan ibumu. Ia segera membolak-balik buku. Mengulang apa yang diperbuat ibumu sebelumnya. Lembar demi lembar dijajahinya. Tetiba, secarik kertas jatuh dari salah satu halaman buku. Ayahmu meraihnya. Tergores sebait kalimat disana,

Cik Hen, Selamat menikmati masa penantian dedek bayinya. Semoga buku ini bisa menjadi teman belajar. Belajar menjadi ibu-ayah dalam mendidik anak serupa Rasulullah menempa generasi.

Tulisan Icus, sahabat ibumu yang bermukim di Sumatra bagian Utara.[]

Bukit Tempayan di awal Februari 2017

Selasa, 21 Februari 2017

Menghirup Udara Lagoi

Fajar menyingsing. Di halaman sekolah kami berkumpul, mendengar pengarahan dari tour guide (pemandu perjalanan). Kami bersiap berangkat ke Lagoi. Hari ini merupakan jadwal kami mengadakan Study Tour. Agenda tahunan ini diikuti 50 siswa kelas 6 ditambah 30 guru dan pendamping sekaligus wali murid.


Alhamdulillah, usai pengarahan dari pemandu, kemudian berdo’a yang dipimpin oleh Ustadz Sopyan, kami melakukan perjalanan ke Pelabuhan Punggur.


Perkiraan kami, sekira 40 menit waktu yang diperlukan hingga sampai di Pelabuhan Punggur. Usai sarapan di tepian dermaga, perjalanan kami berlanjut menuju Pelabuhan Tanjung Uban, Pulau Bintan.


Alhamdulillah, kami berlabuh dengan selamat. Kami udah menapaki kaki di Pulau Bintan, menunggu bus untuk perjalanan berikutnya.


Destinasi pertama yang kami tuju ialah Patung Penyu. Berada sekitar 10 menit dari Pelabuhan Tanjung Uban.


Setelah mengambil dokumentasi di Patung Penyu, kami sampai di Safari Lagoi, merupakan gabungan kebun binatang dan agribisnis. Disini kami banyak memperoleh ilmu; kami mengenal beragam jenis flora dan fauna.


Satu jam waktu kami di Safari Lagoi. Kami penuhi Sumatra Tengah kami dengan makan siang. Kemudian kami menuju Teasure Bay, konon katanya ini adalah kolam renang air asing terbesar di Asia Tenggara. Sebelum merendamkan tubuh di Teasure Bay, kami curhat dulu sama Allah melalui salat zuhur.


Sewaktu kami menikmati kolam renang Teasure Bay, adalah sekira dua jam-an, tetiba hujan turut mengguyur badan kami yang udah kuyup. Jadilah, diri yang kuyup bertambah kuyup.


Bakda bebersih, kami lanjutkan langkah ke Gembok Cinta. Disebut begitu sebab di tempat ini banyak didapati gembok yang digantungkan di ornamen berbentuk hati tersebut. Gembok Cinta berada di Lagoi Bay. Orang-orang menyebutnya sebagai Pantai Kuta-nya Kepulauan Riau (Kepri). Barangkali mirip kali ya hingga dikenal dengan Pantai Kuta Kepri.


Oiya, Kalau gembok yang telah ditulisi nama dan pasangan kita digantung di perlambang cinta itu, maka cinta kita akan abadi, itu sih katanya. Saran saya, kalian tak usah memercayainya, ya, hehe.


Puas jua hati ini memandang pinggiran pantai di Gembok Cinta yang kata kami lebih mirip dengan Pantai Selatan Nyai Roro Kidul. Sebenarnya ada satu pantai lagi yang hendak kami kunjungi. Tapi, kami tengok arloji telah memamerkan angka 17.00 wib. Itu artinya, kami mesti segera menuju penginapan.


Perlu waktu sejam hingga kami sampai di Pujasera, tempat kami menyantap hidangan malam dan salat magrib. Perut kenyang, kami tuju Plaza Hotel, tempat kami melepas penat. Kunci kamar udah di tangan. Buka pintu, dan langsung bobok. Bismikaallahumma ahya wa bismika aamuut.



Allahu Akbar… Allahu Akbar. Azan memecah senyap. Kami segera bangun. Ambil wudhu dan salat subuh. Pukul 08.30 wib, perjalanan kami menuju Gedung Gonggong yang berada di bibir pantai. Gedungnya menatap Pulau Penyengat. Pulau yang bentar lagi akan kami jajaki. Pukul 10.00 wib, kami tapaki langkah di Pulau Penyengat. Disini banyak peninggalan bersejarah yang kami temui: ada Masjid Pulau Penyengat, Makam para raja beserta istana, dan banyak lagi.






Di Pulau Penyengat ini kami beli souvenir dan otak-otak, makanan yang dibungkus daun kelapa, berbahan ikan itu akan kami hadiahi pada kerabat sesampai di Batam nanti. Pukul 12.00 wib kami tuju kembali Pelabuhan Tanjung Uban. Sebelum sampai di pelabuhan kami singgahi Padang Pasir-nya Kepri. Padang Pasir ini merupakan bekas penambangan yang terkena erosi.




Alhamdulillah, Study Tour kali ini berjalan lancar dan semua siswa udah pulang ke rumah masing-masing dengan selamat. Ada satu siswa, M. Nabil Andriano yang jatuh berlarian di Hotel Tebing sewaktu kami makan siang menjelang ke Padang Pasir. Sepertinya kakinya terkilir. Tapi udah diberi pertolongan pertama. Dan bisa berjalan seperti sediakala. Terimakasih pada Attaubah, para guru, pendamping serta wali siswa.[]


Kamis, 16 Februari 2017

Tendangan 5 Bulan



Bila suatu masa kau dapati seseorang melebarkan kedua kakinya mengarah ke samping dengan kedua tangannya terbuka sejajar dada, dalam dunia persilatan dia tengah memasang kuda-kuda tengah namanya, Nak. Semisalnya di Perguruan Tapak Suci, bila punggung tangan dibuat serupa lintasan melingkar mengarah keluar yang dipergunakan untuk menangkis lawan, ini namanya Jurus Mawar. Ada pula namanya Jurus Harimau Membuka Jalan, ianya memanfaatkan telapak kaki yang hendak menyasar perut lawan. Beragam macamnya jurus yang berlaku dalam perguruan ini.

Begitu pula halnya, ternyata dalam dirimu telah ada jurus alami yang diciptakan oleh Allah, Nak. Tendangan Lima Bulan, demikianlah ayah menyebutnya. Jurus yang kau perbuat di usiamu yang kelima purnama ini, sebagai pertanda bahwa dirimu makin bertumbuh dalam rahim ibumu, Nak.

Semula, ayah tiada tahu apa yang tengah mendera ibumu. Pada subuh yang masih buta itu, dalam sibuknya beberes menyiapkan sarapan, tetiba ibumu menjerit tunjukkan mimik meringgis kesakitan. Dugaan ayah, jemari ibumu tergores pisau saat mengupas Alium cepa. Tampak sebutir dua buah tetesan peluh berguling melintasi pipi ibumu. Iba hati menengoknya. Ayah cobalah mendekati ibumu, berkehendak mengungkapkan sebait empati. Namun, apa yang ayah peroleh, Nak? Pameran senyum yang ayah dapatkan dari ibumu. Bukan lagi mimik meringgis kesakitan yang tadi ditampilkan. Dahi ayah mengernyit dibuatnya.

“Ada tendangan, Da…” papar ibumu menghapus tanda tanya di benak ayah. Lipatan epidermis di dahi ayah makin bertambah, kini dibarengi lengkungan bibir ke bawah. Tendangan? Siapakah yang menendang? Rasanya ayah tidak ada memperbuat tendangan terhadap ibumu, Nak. Lalu, ibumu mengajak bola mata ayah mengarah ke bawah sembari mengelus perutnya.

“Dari sinilah pangkal tendangan itu, Da” kembali senyum ibumu mengusir ringisan yang tadi mendatanginya. Kini, pahamlah ayah bahwa ada jurus tendangan lima bulan yang tengah berlaku. Jurus yang kau bikin tersebut membuat ibumu terkejut alang kepalang, Nak. Semenjak itu, acapkali ibumu terkaget sebab gerakan tendanganmu, Nak.

“Tendangannya kerap terasa saat berehat, lho Da” ucap ibumu menjelang indra penglihatan ayah terlelap.

“Makin kencang lagi sewaktu Hani melantunkan ayat-Nya, atau Uda yang tengah ngaji, atau sewaktu kita menyimak murathal”

“Barangkali dia suka mendengarnya, Han…” ayah menjawab jabaran ibumu.

***

Menjelang ke peraduan.

“Uda, sini…” lambaian tangan itu menggoda ayah untuk menghampirinya. Ibumu menempelkan telapak tangan ayah di permukaan kulit perutnya.

“Coba bacakan satu surat untuknya, Da” pinta ibumu. Ayah mafhum maksud ibumu. Mulailah belahan bibir ayah mendaras Alfatihah diikuti beragam surat di penghujung juz Al-Qur’an. Seiring surat dilafazkan, lamat-lamat ayah rasakan gerak aktifmu, Nak. Kakimu menendang telapak ayah. Sedangkan ibumu kerap dikejutkan sembari menarik dua garis simetris kiri-kanan di bibirnya. Sesekali tampak pola telapak mungilmu membentuk di elastisnya kulit perut ibumu. Ooo, tendangan itu… Ada rasa yang sukar diucap bergelayutan di palung hati ayah dan ibumu, Nak. Bahagia yang tiada dapat dikira lagi. Sehat selalu ya, Nak.[]

Sumber Gambar Ilustrasi

Selasa, 07 Februari 2017

Kelamin


Januari di 2017 ini ayah mengajak ibumu kembali menengok rupamu, Nak. Ibumu tak berkehendak untuk saat ini. Nanti aja, kata ibumu tanpa menguraikan alasan yang ayah perlukan. Ayah teramat gusar, resah andaikata terjadi hal yang tiada ayah dan ibu inginkan menimpamu, Nak. Apalagi untaian kata yang pernah dikabarkan oleh dokter bahwa mual, muntah ibumu akan berakhir belum mewujudkan tanda.

Tiga pekan terlewati di awal tahun ini. Ibumu masih belum mampu ayah taklukan. Ayah bujuk berulang kali, mengajaknya menyetor kekata pada ahli kandungan. Nihil hasilnya. Dan, kamu tahu apa jawab ibumu, Nak? Nanti aja, kata ibumu serupa beberapa waktu lalu. Dan kamu pun barangkali sudah dapat menerka, ibumu tiada menjabar alasannya pada ayah.

Alhamdulillah, hati ibumu luluh jua di Januari pekan terakhir. Dengan air muka berseri dan senyum semringah, ayah dan ibumu menemui Tabib yang kali pertama mengabarkan perihal kehadiranmu.

Dalam perkiraan ibumu, untuk waktu kini, ayah dan ibumu telah bisa menduga jenis kelaminmu. Benar dugaan ibumu, Nak. Usai bertanya jawab banyak hal dan melakukan USG terhadap dirimu, Sang dokter mengatakan bahwa dirimu adalah seorang perempuan. Ayah bahagia. Tampak oleh ayah air muka ibumu langsung cerah, menyaingi sinaran rembulan yang turut bahagia di angkasa sana.[]

sumber gambar

Muntah Empat Purnama


7 November 2016

30 hari terlalui. Hari-hari yang dilalui tanpa “purnama” menemani ibumu, Nak. Ayah dan ibumu makin yakin bahwa dirimu makin bertumbuh dalam rahim ibumu. Meski diterpa lelah, ayah dan ibu tetap semangat menunggangi kuda besi menuju klinik. Ayah, terlebih-lebih ibumu sudah tak sabaran menanti hasil USG; menatap romanmu.

Sebulan, itulah perkiraan ayah mengenai usiamu, Nak. Berlainan dengan duga ayah, dokter mengabarkan bahwa usiamu sudah memasuki 8 pekan lebih sehari. Usiamu dua bulan kandungan. Wah, bungahnya hati ayah dan ibumu, Nak.

5 Desember 2016

Entah mengapa, sepulang sekolah tadi, ayah teramat kangen hendak menengok rupamu, Nak. Rasa ini tetiba saja datangnya. Oh, inikah yang dinamakan rindu? Pengharapan tepatnya.

Petang ini, di bawah naungan awan jingga, ayah mengajak ibumu ke klinik yang teronggok di pojok kota. Kata dokter, usiamu telah 3 purnama, lho! Dan, rasa mual yang kerap singgah di perut ibumu itu akan segera berakhir. Apa? Akan segera berakhir? Tenang jua perasaan ayahmu ini, Nak.

Acapkali muka ibumu semarun hati, pipi mulusnya dibanjiri air mata usai memuntahkan isi perutnya. Teramat iba ayah menyaksikannya. Tak jarang pula ayah membuatkan madu hangat biar badan ibumu agak nyaman. Namun, baru saja ibumu meneguk setetes dua tetes cairan madu yang barusan dibuatkan, saat itu juga keluar lagi isi perutnya. Morning sickness semacam ini tiap hari dilaluinya.[]

Rabu, 25 Januari 2017

Testpack


"Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim)." (QS. Al-Mukminun: 12-13)


11 Oktober 2016

Langit digelayuti awan kelabu saat matahari mulai berkemas. Awan yang tengah ber-kondensasi itu perlahan disapu angin membentuk semacam arak-arakan marapulai dan anak dara. Arak-arakan tersebut lalu saling berdempetan, menyatu dan memadat serupa lorongan goa tanpa pelita. Tak berselang lama, awan pekat tersebut menggeliat mual, memuntahkan buliran air yang dikandungnya. Petang dipeluk ramainya rinai.

Saban magrib, bakda melunaskan muraja’ah ayat suci-Nya, ayah kerap ngalor-ngidul dengan ibumu, Nak. Biasanya sembari makan malam; bercakap perihal apa pun,termasuk membicarakan tentangmu. Tiada serupa senja sebelumnya, magrib ini ayah termenung tiada sebab, bagai bujang galau yang tiada tetap hatinya. Mengobati ketidaktetapan hati ini, ayah bawalah badan berbaring, tergolek-golek barang sejenak menanti isya memanggil.

“Uda!” panggilan sayang ibumu mengguncang tubuh ayah di tengah malam yang menua. Kelopak mata ayah sedikit tersingkap. Berkali-kali ibumu mengguncang tubuh sembari memanggil ayah, berkehendak agar ayah mencampakkan selimut dan menunaikan isya yang terlewat. Ayah bergeming. Belahan pipi ayah dikecup mesra ibumu. Ayah menggeliat. Dikecup lagi dan nada ibumu setengah bersorak…

“Tengoklah, Da!” seru ibumu menyodorkan testpack. Indra penglihatan ayah nyalang menatap tanda dua garis merah pada salah satu sisi alat tes kandungan yang petang lalu ayah beli. Girang hati ayah tiadalah dapat ditakar. Pun ibumu, rekah senyumnya.

Agaknya hampir se-sapta purnama ayah dan ibumu menanti tanda-tanda akan kehadiranmu, Nak. Tak berlebihanlah bila bahagia ini buncah sesaat setelah mengetahui bahwa dirimu tengah tumbuh dalam rahim ibumu. Rasa sangsi tetap menggelayuti hati ayah, juga ibumu. Bagaimana tidak, tiga purnama lalu, saat ayah menerima penghargaan dari disdik (ah, ayahmu memanglah ya…hehe) ibumu empat hari “telat,” selepas itu “bulannya” datang lagi mengunjunginya. Sebelum itu pernah pula ibumu “telat” mendekati sepekan lebih sehari, esoknya kembali “bulan” itu menghampirinya. Saat ini bahagia ayah dan ibumu ditingkahi kegusaran tiada menentu.

Ayah dan ibumu kembali mendatangi apotek di belakang pasar. Ibumu meminta agar ayah saja yang membelinya. Ah, masak ayah? Rona ayah tak yakin. Ibumu maklum.

“Ini bisa langsung dipakai lho, Mbak” kedengaran penjual menunjukan barang yang dipinta ibumu.

“Dan bisa kebaca langsung hasilnya, tidak harus menunggu pagi” penjual itu menyakinkan. Lirikan mata ibu membidik ayah meminta persetujuan. Akhirnya testpack kedua bersiap dicoba. Di rumah, pekikan ibumu memecah gendang telinga. Ayah dibuat shock setengah hidup. Rupanya testpack tersenyum memamerkan tanda dua garis merah disebalik badannya. []