Kamis, 28 Juni 2012

Hikmah Sedekah


 

S
iang itu terasa terik. Rasa haus yang teramat sangat menghampiri, ditambah lagi keringat bercucuran membanjiri tubuh yang membuatku menjadi gerah. Namun hal demikian tidak menyurutkan semangatku untuk terus melangkah menuju kampus. Berharap akan mendapatkan ilmu, walaupun hanya secuil. Dalam perjalanan, langkahku terhenti sesaat. Kudapati seseorang telah berdiri didepanku dengan sebuah kantung yang setia menemaninya. Tangannya menengadah diikuti kantung yang ia punya, mulutnya meluncurkan bait-bait kalimat pengharapan agar aku bersedia memberikan sedikit “kebahagian” yang aku miliki. Mataku tak lepas memandanginya, sementara tangan kananku berusaha mencari-cari sesuatu yang mungkin bisa ku hadiahkan untuknya. Jauh didalam sakuku kudapati beberapa lembaran uang ribuan. Walau hanya sedikit, ingin rasanya tangan ini mempersembahkan untuknya. Tetapi, pikiranku berkata lain; lembaran-lembaran tersebut merupakan rupiah terakhirku yang hanya cukup ditukarkan dengan sesuap nasi untuk kusantap malam ini, sedangkan kiriman jajan dari orang tuaku belum juga datang. Akhirnya dengan berat hati kuutarakan maaf pada pengemis itu sebab aku tak bisa memberinya “kebahagian”. Ku berlalu diikuti senyum getir dibibirnya.

Bak anak ayam lepas dari kandang, aku dan kawan-kawanku berhamburan keluar kelas setelah dosen yang mengajar sore itu mengakhiri pelajaran yang telah dia suguhkan. Biasalah, kami yang baru menduduki bangku perkuliahan masih membawa sifat-sikap masa-masa remaja di sekolah menengah. Canda-tawa masih menggema sepanjang koridor kelas, banyak hal yang kami kisahkan, bahkan ada pula yang memperolok-olok diri sendiri supaya kawan-kawan yang lain bisa mengeluarkan suaranya memecah sunyi agar tertawa. Dalam keributan yang kami ciptakan, dari jauh sayup-sayup kumandang adzan menggema.

“Oke guys... waktunya curhat” ujar Aboy, seorang teman yang selalu melucu.
Aku dan kawan-kawan lainnya tak asing lagi dengan istilah yang dia gunakan itu, curhat yang dia maksudkan memanglah curahan hati, tapi kami pleset-kan kata itu menjadi curahan hajat dan kami sepakat bahwa kata itu hanya dipakai untuk  menunjukkan bahwa kami segera untuk shalat, ya... supaya agak gaul-gaul, jadinya curahan hajat pada pada sang Kuasa.  

Tepat dipersimpangan ujung jalan kampus, kuarahkan tujuanku ke masjid yang berdiri kokoh di kota “tercinta-kujaga dan kubela” ini, kulihat beberapa orang kawanku juga mengikutiku. kami sama-sama larut dalam curahan hajat pada sang Kuasa Ashar itu.

Sembari menunggu kawan yang lain, ku duduk diteras masjid. sepoi angin membawaku dalam lamunan panjang. entah apa yang aku renungkan saat itu, aku terbawa angan, melayang ke negri antah-barantah. butir-butir bening sisa wudhu’ masih bergelantungan diwajah sawo-ku. lamunanku sirna setelah kusadari keberadaan seseorang disampingku. aku terperanjat kaget, lelaki yang kudapati diperjalanan ke kampus siang tadi kembali hadir disisiku. dia hadir dengan kantung yang selalu dan selalu mungkin setia menemaninya. kembali dia menengadahkan tangan diikuti bait-bait pengharapannya. niat hati yang kupunya untuk memberinya “kesenangan” siang tadi muncul lagi. tanpa kompromi, tanganku mengulurkan uang seribuan dan menaruhnya dalam kantung lelaki paroh baya di sampingku. kini pikiranku menyetujuinya. barangkali, nanti atau esok kiriman jajan dari orang tuaku mungkin akan sampai. aku berlalu meninggalkan “pria berkantung” sesaat setelah gerombolan kawanku mengajak pergi. Pria dengan kantung itu mengucapkan terima-kasih dan menghiasi wajahnya dengan senyuman lebar, bukan lagi senyuman getir yang dia tampilkan di jalanan siang tadi.

Ku salami tangan paman yang barusan datang ke tempatku tinggal. Beliau merupakan satu-satunya orang yang memiliki hubungan kekerabatan dekat denganku di kota bengkuang ini. Walau begitu, hubungan kekerabatan yang dekat tak menjamin hubungan batinku dengannya akrab, malah jauh. Bahkan pikiranku bertanya-tanya kenapa beliau datang tiba-tiba? 
Lah lamo ndak basuo, taragak...” katanya tersenyum.
oops, sejak kapan beliau taragak? senyumku geli.

Kutahu, meskipun rumahnya tak jauh dari “penginapanku”, namun beliau adalah orang yang teramat sangat jarang mendatangiku, walau sekedar mampir sejenak atau hanya menanyakan kabar.

Lama berselang, ungkapan basa-basi terus meluncur dari mulutku yang pada akhirnya pamanku itu meminta pamit. tanpa menunggu aba-aba “kupersilahkan” beliau pergi. sesaat sebelum beliau beranjak, aku dikejutkan dengan aksi beliau yang dengan spontan mengulurkan beberapa lembaran uang lima puluh ribuan kepadaku. aku sempat menolak, tapi beliau bersikeras agar aku mau menerimanya.

Semalam suntuk mataku tak mau terpejam, sesekali ku teringat kejadian ‘aksi lembaran uang dari pamanku’ sore tadi. ku tak habis pikir dan tak pernah memikirkan hal itu akan terjadi.

“Paman itu orang pelit, tapi kenapa hari ini beliau ‘berani’ mengasihku uang, padahal sebelum-sebelumnya tak pernah?” batinku.

Disela-sela pikiranku berkecamuk, aku teringat dengan kalam Allah SWT dalam firmanNya:

“ Perumpaan orang yang menginfakan hartanya di Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki dan Allah maha luas lagi maha mengetahui” (Q.S. 2: 261).

“Hmm... benarlah adanya...” gumamku sembari teringat pengemis berkantung.


Juni 2012,
Kebisuan malam Marapalam