Selasa, 02 Juli 2013

Manusia Jadi-jadian

Peluh ulah teriknya siang ini terhenti saat panggilannya menggetarkan gendang telingaku.

"Masuk, Mas..." ajaknya melempar senyum macho. Aku ragu melihat tampang anehnya. Rambut dikucir acakan, anting sebelah segede semangka, hidung dimancung-mancungin. Dibalik "kecantikannya", ada otot kekar terpasang ditubuhnya, senyumnya kasar tak seperti kaum hawa umumnya, apalagi suaranya serak-serak horor. Aku curiga.

Perlahan kebimbanganku pudar oleh ucapan Alex, teman sejalan yang mendadak berubah bijaksana memberi petuah ditengah garangnya sinar matahari.

"Udah... Pangkas disini aja. Gue yakin rambut lu makin kueren"

Aku sangsi. Alex melototkan matanya.

"Trus, kapan lu rapiin tu rambut? Tak malu sama siswa lu?"

Aduh, napa bawa siswa-siswa lagi. Bikin aku malu dan grogi aja. Kenangan kemarin kembali menari-nari diatas kepalaku. Sewaktu ku tegur seorang siswaku agar dia segera merapikan rambut yang mulai bergerilya menuju kuping telinganya. Aku tersentak mendengar kritikannya.

"Buat apa aku motong rambut kalo rambut bapak belum rapi juga!" teriaknya meninggalkan kelas. Aku diam memegang mahkota hitam dikepalaku. Hari ini ikrar itu kutunaikan.

Aku mengekor Alex masuk ruangan 5x3 meter. Tempat pemilik salon beroperasi.

Aku duduk dikursi salon. Curiga dan keraguanku memuncak. Kali pertama ku nyalon di habitat kaum hawa. Itu terpaksa. Kulirik Alex yang duduk dikursi tunggu, tersenyum yakin mengisyaratkan takkan terjadi apa-apa.

3 menit berlalu. Rambutku diobrak-abrik tukang pangkas "SUSANTo" (dengan huruf 'o' tak kapital).

Diakhir operasi rambut. Lisanku meluncurkan tanya mengungkap misteri dikepala.

"Udah lama nyalon disini, Nte?" panggilan tanteku membuatnya bengong terkejut. Sekejap kemudian dia tersenyum tersipu seraya berkata.

"Tak usah panggil Tante..." hampir tak terdengar.

"Apa?" aku meyakinkan pendengaranku. Lagi-lagi suaranya sayup-sayup.

"JANGAN SEBUT EKE TANTE, TAU!" bola matanya meloncat meninggalkan tempatnya. Suara aslinya wujud. Benar dugaanku. Tanpa aba-aba kutarik lengan Alex berlari pergi dari Salon SUSANTo. Alex kaget melihat aksiku. Dibelakangku SUSANTo memburuku.

"Hoi... Upahnya!" lolongnya mencekam.

Kelempar sepuluh ribuan tanpa menurunkan dosis lariku.

Jauh dilorong desa Alex terbahak menatap rambut hasil pangkasan manusia jadi-jadian itu.

"Semua ini gara-gara, lu mengajak gue tempat bencong itu" ceracauku memaki. Sementara Alex acuh tak mengubris dengan tawanya yang makin membahana.

Lama perang mulut dan otot berlangsung antara Alex dan aku.

Penghabisan. Alex bilang, "Tenang kawan. Besok kita rapikan rambut, lu"

"Nggak usah!" marahku belum berhenti.

"Yang ini pangkasnya takan bikin lu kecewa lagi" kutatap senyum yang tersungging di bibir Alex.

"DIMANA lagi?" tanyaku mantap. Diam sejenak. Dan bom kemarahanku kembali meledak saat mulut Alex berbusa-busa berkata.

"Salon SUSANTo" []

Palembang, 02 Juli 2013

0 komentar: