Muslimorfosis, Bukan Teroris
Aku tak terlalu ingat
betul, kapan kali pertama kita jumpa, berkenalan, dan akrab. Apakah disaat kita
satu bus menuju kampus di awal tahun dulu? Atau ketika kita bersitatap pada
masa MOS itu? atau saat kita dikumpulkan
dalam satu asrama, yang wajib dijalani siswa baru seperti kita? Entahlah! (dan
tak perlu itu), yang kuingat pasti darimu dan takan terlupa dari ingatanku (dan
kejadian inilah awal mula keakraban kita luntur) ialah saat lisanmu membuatku
luka, lalu tiba-tiba kaku, bergetar, sekaligus meradang.
“APA?! Jenggot? Nanti dibilangin teroris lagi! Apa kau
tidak takut?!” derai tawamu mengomentari penampilan baruku senja itu, di
gerbang kampus. Apa kau tidak melihat perubahan rupaku saat itu? andai kau
tahu, bagai terkacak leherku ketika kau bilang begitu. Aku tahu maksud ucapanmu
itu. Lidahmu penyambung kata dari orang-orang itu, kan?! Yang bilang, yang
berjenggot sama dengan teroris? (ah, latah betul lidahmu, dangkal betul
pemikiranmu menilai seseorang hanya dari penampilan). Namun, aku mafhum akan
hal itu. Kau mencoba mempengaruhiku, sepertinya.
Nyata sekali bahwa tiada sekali itu kau berucap begitu
padaku. “Sok ahli surga Lo!” Ingatkah kau dengan kalimatmu itu menyembur
padaku? Senja itu, masih di gerbang kampus di februari sesaat sebelum kau
merayakan yang katamu valentine itu?
Aku hanya diam waktu itu, mencoba meredam amarah dalam dada.
Kau
kira aku benar-benar mendiamkan perangaimu itu! Tidak, ingin rasanya aku
membalas ucapanmu itu, dan berkata “Ah, dasar Lo, sok ahli neraka!” atau
menyeprotkan kalimat “Sok kotor Lo!” sebagai jawabanku atas istilahmu padaku
“Sok suci Lo!” tapi aku tak hendak berlaku serupa itu. Bila hal demikian
kutunaikan, sama buruknya aku denganmu berarti.
Beralihnya
penampilan dan sikapku saat ini telah kupikirkan matang-matang. Jadi, bagiku
tak masalah, aku tak akan terpengaruh bila kau berkata begitu. Kau belum tahu
barangkali.
Dulu aku sama sepertimu, dengan mudahnya lisanku men-judge seseorang. Tapi, itu dulu. Ya,
dulu sekali. Kau penasaran. Baiklah, akan kukisahkan (kembali) hal yang dulu
itu.
Sewaktu orang-orang itu bilang bahwa negara ini sudah
mengalami kemajuan, aku percaya penuh. Saat mereka memberitakan bahwa negara
ini belumlah merdeka, aku yakin, seyakin-yakinnya, karena memang aku belum
merasakan kemerdekaan yang dimaksud. Saat mereka membeberkan betapa bobroknya
negri ini ulah korupsi menjamur dimana-mana, aku mengangguk tanda setuju.
Saat
mereka berkoar mengatakan bahwa banyak teror yang menimpa negri ini. Aku yakin
pula. Ujungnya mereka berteriak bahwa sarang teroris ada pada Rohis, aku
terdiam memahami dan mengalisa ucapan itu. Rohis? Sarang teroris? Keningku
mengerut. Tak mungkin! (tak akan pernah), batinku. Pasalnya, banyak teman
sekampusku bernaung dan aktivis di Rohis itu. Dan sikap-sifat mereka jauh dari
istilah teroris itu. Kau pasti tahu teroris itu apa! Pembuat makar, bukan?
Hingga saat ini belum sempat gendang telingaku bergetar memperoleh berita bahwa
teror itu dilakukan oleh Rohis. (Baru gosipan mereka saja). Termenung aku
dibuatnya. Kepercayaanku pada orang-orang itu pudar sudah. Dan kejadian itu
membuatku merubah semuanya.
***
Sembilan
tahun lamanya kita tiada bersua. Kukira kau telah tiada, sudah meninggalkan
dunia nan sesungguhnya fana. Nyatanya dugaanku salah, tepat di gerbang kampus, kau
ingat? tempat dimana kau mengataiku
sebagai teroris itu, kita kembali bersua. Aih, kenapa bisa? Masih di tempat
yang sama, tetapi suasana dan aura pertemuan kita telah berbeda. Semua berubah.
Kuingat dulu, kau mengenakan setelan jeans biru dipadu oblong ketat membalut
tubuh kekarmu. Rambut gondrong acak-acakan, beberapa gelantungan karet hitam
(aku menyebut gelangmu demikian) menghiasi pergelangan tangan kirimu. Suram
mukamu tiada dapat disembunyikan. (sewaktu itulah kata menyakitkan itu terurai
buatku). Sekarang? Keajaiban apa yang sudah menghampirimu, kawan? Salah
lihatkah mata ini? Kau mengganti pakaianmu. Merawat jenggot yang katamu (dulu)
indikasi teroris! Kemana muka surammu itu berlalu?
Perlahan kudekati dirimu yang duduk dideretan bangku dekat
gerbang itu. Kau sedang menuntaskan muratolmu. Perlahan kau (mencoba) menghindar.
Berpura tak menyadari kehadiranku disebelahmu. Senyumku mengambang. Kutepuk bahumu. Lagi-lagi
kau berpura terkejut alang-kepalang. Kucoba cairkan suasana. Kau bayarkan
penasaranku.
“Usai
peristiwa itu, oleh orangtuaku, aku di-pondok-kan
di daerah Jawa Timur. Perlahan kecanduanku terhadap barang haram tersebut
memudar. Seiring waktu, aku mencoba mendalami Islam. Sekarang inilah aku.
Seperti yang kau lihat, kawan”
Kutatap
dirimu. Kesejukan terpancar dari air mukamu. Dibalut gamis biru, pengganti jeans biru yang kau kenakan dulu. Mataku
berkaca mendengar kisahmu. Kurangkul dirimu, kau balas rangkulanku. Kita saling
berangkulan, berjalan menyusuri jalanan menuju masjid kampus mencurahkan segala
asa pada Sang Kuasa.
Sungguh, Allah akan menyesatkan siapa yang
dikehendakinya dan akan memberi petunjuk kepada siapa yang dikendaki-Nya. ۩
_Langit Jingga Batam,
Agustus 2013_
Leave a Comment