Jumat, 31 Januari 2014

Muslimorfosis, Bukan Teroris



 
Yusuf Islam - Cat Steven
Aku tak terlalu ingat betul, kapan kali pertama kita jumpa, berkenalan, dan akrab. Apakah disaat kita satu bus menuju kampus di awal tahun dulu? Atau ketika kita bersitatap pada masa MOS itu?  atau saat kita dikumpulkan dalam satu asrama, yang wajib dijalani siswa baru seperti kita? Entahlah! (dan tak perlu itu), yang kuingat pasti darimu dan takan terlupa dari ingatanku (dan kejadian inilah awal mula keakraban kita luntur) ialah saat lisanmu membuatku luka, lalu tiba-tiba kaku, bergetar, sekaligus meradang.          
    “APA?! Jenggot? Nanti dibilangin teroris lagi! Apa kau tidak takut?!” derai tawamu mengomentari penampilan baruku senja itu, di gerbang kampus. Apa kau tidak melihat perubahan rupaku saat itu? andai kau tahu, bagai terkacak leherku ketika kau bilang begitu. Aku tahu maksud ucapanmu itu. Lidahmu penyambung kata dari orang-orang itu, kan?! Yang bilang, yang berjenggot sama dengan teroris? (ah, latah betul lidahmu, dangkal betul pemikiranmu menilai seseorang hanya dari penampilan). Namun, aku mafhum akan hal itu. Kau mencoba mempengaruhiku, sepertinya.
            Nyata sekali bahwa tiada sekali itu kau berucap begitu padaku. “Sok ahli surga Lo!” Ingatkah kau dengan kalimatmu itu menyembur padaku? Senja itu, masih di gerbang kampus di februari sesaat sebelum kau merayakan yang katamu valentine itu? Aku hanya diam waktu itu, mencoba meredam amarah dalam dada.
Kau kira aku benar-benar mendiamkan perangaimu itu! Tidak, ingin rasanya aku membalas ucapanmu itu, dan berkata “Ah, dasar Lo, sok ahli neraka!” atau menyeprotkan kalimat “Sok kotor Lo!” sebagai jawabanku atas istilahmu padaku “Sok suci Lo!” tapi aku tak hendak berlaku serupa itu. Bila hal demikian kutunaikan, sama buruknya aku denganmu berarti.
Beralihnya penampilan dan sikapku saat ini telah kupikirkan matang-matang. Jadi, bagiku tak masalah, aku tak akan terpengaruh bila kau berkata begitu. Kau belum tahu barangkali.
            Dulu aku sama sepertimu, dengan mudahnya lisanku men-judge seseorang. Tapi, itu dulu. Ya, dulu sekali. Kau penasaran. Baiklah, akan kukisahkan (kembali) hal yang dulu itu.
            Sewaktu orang-orang itu bilang bahwa negara ini sudah mengalami kemajuan, aku percaya penuh. Saat mereka memberitakan bahwa negara ini belumlah merdeka, aku yakin, seyakin-yakinnya, karena memang aku belum merasakan kemerdekaan yang dimaksud. Saat mereka membeberkan betapa bobroknya negri ini ulah korupsi menjamur dimana-mana, aku mengangguk tanda setuju.
Saat mereka berkoar mengatakan bahwa banyak teror yang menimpa negri ini. Aku yakin pula. Ujungnya mereka berteriak bahwa sarang teroris ada pada Rohis, aku terdiam memahami dan mengalisa ucapan itu. Rohis? Sarang teroris? Keningku mengerut. Tak mungkin! (tak akan pernah), batinku. Pasalnya, banyak teman sekampusku bernaung dan aktivis di Rohis itu. Dan sikap-sifat mereka jauh dari istilah teroris itu. Kau pasti tahu teroris itu apa! Pembuat makar, bukan? Hingga saat ini belum sempat gendang telingaku bergetar memperoleh berita bahwa teror itu dilakukan oleh Rohis. (Baru gosipan mereka saja). Termenung aku dibuatnya. Kepercayaanku pada orang-orang itu pudar sudah. Dan kejadian itu membuatku merubah semuanya.
***
Sembilan tahun lamanya kita tiada bersua. Kukira kau telah tiada, sudah meninggalkan dunia nan sesungguhnya fana. Nyatanya dugaanku salah, tepat di gerbang kampus, kau ingat?  tempat dimana kau mengataiku sebagai teroris itu, kita kembali bersua. Aih, kenapa bisa? Masih di tempat yang sama, tetapi suasana dan aura pertemuan kita telah berbeda. Semua berubah. Kuingat dulu, kau mengenakan  setelan jeans biru dipadu oblong ketat membalut tubuh kekarmu. Rambut gondrong acak-acakan, beberapa gelantungan karet hitam (aku menyebut gelangmu demikian) menghiasi pergelangan tangan kirimu. Suram mukamu tiada dapat disembunyikan. (sewaktu itulah kata menyakitkan itu terurai buatku). Sekarang? Keajaiban apa yang sudah menghampirimu, kawan? Salah lihatkah mata ini? Kau mengganti pakaianmu. Merawat jenggot yang katamu (dulu) indikasi teroris! Kemana muka surammu itu berlalu?
            Perlahan kudekati dirimu yang duduk dideretan bangku dekat gerbang itu. Kau sedang menuntaskan muratolmu. Perlahan kau (mencoba) menghindar. Berpura tak menyadari kehadiranku disebelahmu.  Senyumku mengambang. Kutepuk bahumu. Lagi-lagi kau berpura terkejut alang-kepalang. Kucoba cairkan suasana. Kau bayarkan penasaranku.
“Usai peristiwa itu, oleh orangtuaku, aku di-pondok-kan di daerah Jawa Timur. Perlahan kecanduanku terhadap barang haram tersebut memudar. Seiring waktu, aku mencoba mendalami Islam. Sekarang inilah aku. Seperti yang kau lihat, kawan”  
Kutatap dirimu. Kesejukan terpancar dari air mukamu. Dibalut gamis biru, pengganti jeans biru yang kau kenakan dulu. Mataku berkaca mendengar kisahmu. Kurangkul dirimu, kau balas rangkulanku. Kita saling berangkulan, berjalan menyusuri jalanan menuju masjid kampus mencurahkan segala asa pada Sang Kuasa.
 Sungguh, Allah akan menyesatkan siapa yang dikehendakinya dan akan memberi petunjuk kepada siapa yang dikendaki-Nya.  ۩

_Langit Jingga Batam, Agustus 2013_



0 komentar: