Jumat, 31 Januari 2014

Percakapan Suatu Siang




Desis angin menjilat pori-pori, dan mengajak awan bermuram durja, murung. Kandungan air membuatnya mual, menggeliat. Tak lama, terseraklah muntah penuh tetesan air yang kerap dikumpulkannya.  Rinai mengawani siang sendu.

Huda baru keluar dari pusat perbelanjaan di kota Gajah. Dia cengar-cengir menghampiri Sobran, sedang ditangannya bergelayutan beberapa kantong kresek. Rupanya dia usai membeli beberapa keperluan.

“Apa hal, Da!?” lontaran Sobran mengagetkan Huda, karibnya. Semacam dia mengamati  air muka sahabatnya itu sedari tadi.

“Geli aja, Sob!”

“Apanya yang geli?!” kening Sobran membentuk kerutan.

“Saya beli barang  20 rebu, malah si kasir memberi saya uang 60 rebu “ sembari menampakkan barang belanjaannya Huda terkekeh.

“Emangnya kamu bayar pake uang berapa?!”

“50 rebu! mestinya kasir itu memberi 30 rebu kembaliannya, kan!?”

“Brarti kelebihan dong, uangnya!”

“Iya, tapi saya udah balikin lagi uangnya”

“Cieee... Karibku udah bisa jujur ni yeee!” tawa Sobran diikuti jambakan tangan terhadap motornya. Kendaraan di starter, remaja putih-biru itu melaju merambah rinai nan tambah deras.

“Ndak berkah bila uang itu kita ambil, Sob!” suara Huda berlomba dengan deru motor dan tangisan rinai sesaat setelah pertanyaan ditujukan padanya.

“Benar sekali! Tak ada keberkahan pada barang yang haram...”
Sobran berhenti sejenak, membenarkan posisi duduknya, lalu memacu kendaraannya kembali.

 “Jangan senang hati dulu bila kita ‘merasa’ telah berhasil menipu orang, padahal diri sendiri yang tertipu”

“Maksudnya!?”

“Bila kita sudah memberanikan diri untuk tidak jujur, berbohong, atau menipu orang, maka bersiap pulalah untuk tidak dijujuri, dibohongi, atau ditipu orang kelak!”

“Tepat sekali, Sob!”

“Tapi, saya heran pada koruptor yang enteng dan tenang betul merampas barang yang bukan jadi hak miliknya! Apa dia kekurangan gaji kali ya, Sob?!” semprot Huda.
Rinai menjelma menjadi deraian hujan. Laju kendaraan makin dipercepat. Tepat di depan sebuah rumah biru muda. Kuda besi itu berbelok, menembus pagar rumah dan akhirnya berhenti.

“Hatinya udah kasar, mati. Sensitif qolbunya tiada lagi. Hingga cela dan prilaku buruk yang diperbuatnya tiada dirasanya.” Jabar Sobran, melangkah menembus batas pintu diiringi Huda, karibnya.

“Dan pastinya harta itu tiada berkah sedikitpun. Mudah sirna seketika!” lanjut Sobran mengakhiri percakapan siang itu.

_Rinai siang Bukit Kemuning, 14 November 2013_


0 komentar: