Percakapan Suatu Siang
Desis
angin menjilat pori-pori, dan mengajak awan bermuram durja, murung. Kandungan
air membuatnya mual, menggeliat. Tak lama, terseraklah muntah penuh tetesan air
yang kerap dikumpulkannya. Rinai
mengawani siang sendu.
Huda baru
keluar dari pusat perbelanjaan di kota Gajah. Dia cengar-cengir menghampiri
Sobran, sedang ditangannya bergelayutan beberapa kantong kresek. Rupanya dia usai
membeli beberapa keperluan.
“Apa
hal, Da!?” lontaran Sobran mengagetkan Huda, karibnya. Semacam dia mengamati air muka sahabatnya itu sedari tadi.
“Geli
aja, Sob!”
“Apanya
yang geli?!” kening Sobran membentuk kerutan.
“Saya beli
barang 20 rebu, malah si kasir memberi
saya uang 60 rebu “ sembari menampakkan barang belanjaannya Huda terkekeh.
“Emangnya
kamu bayar pake uang berapa?!”
“50
rebu! mestinya kasir itu memberi 30 rebu kembaliannya, kan!?”
“Brarti
kelebihan dong, uangnya!”
“Iya,
tapi saya udah balikin lagi uangnya”
“Cieee...
Karibku udah bisa jujur ni yeee!” tawa Sobran diikuti jambakan tangan terhadap
motornya. Kendaraan di starter, remaja
putih-biru itu melaju merambah rinai nan tambah deras.
“Ndak
berkah bila uang itu kita ambil, Sob!” suara Huda berlomba dengan deru motor
dan tangisan rinai sesaat setelah pertanyaan ditujukan padanya.
“Benar
sekali! Tak ada keberkahan pada barang yang haram...”
Sobran berhenti
sejenak, membenarkan posisi duduknya, lalu memacu kendaraannya kembali.
“Jangan senang hati dulu bila kita ‘merasa’ telah
berhasil menipu orang, padahal diri sendiri yang tertipu”
“Maksudnya!?”
“Bila
kita sudah memberanikan diri untuk tidak jujur, berbohong, atau menipu orang,
maka bersiap pulalah untuk tidak dijujuri, dibohongi, atau ditipu orang kelak!”
“Tepat
sekali, Sob!”
“Tapi,
saya heran pada koruptor yang enteng dan tenang betul merampas barang yang
bukan jadi hak miliknya! Apa dia kekurangan gaji kali ya, Sob?!” semprot Huda.
Rinai
menjelma menjadi deraian hujan. Laju kendaraan makin dipercepat. Tepat di depan
sebuah rumah biru muda. Kuda besi itu berbelok, menembus pagar rumah dan
akhirnya berhenti.
“Hatinya
udah kasar, mati. Sensitif qolbunya tiada lagi. Hingga cela dan prilaku buruk
yang diperbuatnya tiada dirasanya.” Jabar Sobran, melangkah menembus batas
pintu diiringi Huda, karibnya.
“Dan
pastinya harta itu tiada berkah sedikitpun. Mudah sirna seketika!” lanjut
Sobran mengakhiri percakapan siang itu.
_Rinai
siang Bukit Kemuning, 14 November 2013_
Leave a Comment