Selasa, 08 Juli 2014

Basuo Mandan


Pejantan Tangguh Sekolah Guru Indonesia IV


Kutinggalkan tontonan yang merayu-rayu biar kutongkrongin terus. Godaannya kutepis. Ku hendak menunaikan godaan Azan yang sungguh lebih memikat hati. Beranjak dari duduk. Pergi.
Sebenarnya di komplek tempatku tinggal ada beberapa mesjid. Untuk shalat lima waktu, biasanya kuguna mesjid dekat rumah. Yang cuma dipisahkan tembok pembatas.
Untuk Taraweh kali ini, kuingin bersilaturahim ke mesjid yang ada di seberang Sungai, warga kota menyebutnya Banda Bakali. Agak jauh memang, mesti melintasi jembatan penuh tantangan. Tantangan bau sampah diujungnya, juga keramaian lalu lintas. Tapi tak mengapa.
Oya, sengaja pula tak kubawa Motor Ceper yang biasa kutunggangi. Pun, adik yang biasa menemani tak kuajak juga. Alasannya, aku ingin menikmati kesendirian sembari Taraweh di Mesjid Sebrang.
Langkah yang semula pelan, kupercepat saat melintasi tumpukan sampah itu. Sesekali celingukan kanan kiri biar aman dari lalu-lalang kendaraan.
Cepat dan makin kupercepat langkah, bau sampah makin laju pula menyapa hidung. Kucoba berlari. Napas ngos-ngosan. Kembali kupelankan langkah mengambil napas panjang. Mesjid kutuju sudah dekat.
"Hoi Ndan!" teriak dari pinggir jalan. Kuhadapkan wajah kesana. Tampak beberapa bujangan bertengger dimotornya masing-masing. Beberapa pasang mata menatapku. Deg-degan jantungku. Takut menyerang. Tajam mata pria berbaju putih, pakai helm menusukku. Hendak ku-start langkah seribu. Dia bersegera menggenggam lenganku.
"Sombong Mandan Mah!" tawanya membahana. Kukikuk. Bingung.
"Lai takana juo jo awak lai, Ndan?" kupenasaran. Siapa pula ini orang? Pikirku. Dibukanya helm yang sedari tadi membungkus kepalanya.
"Ang Ko?!" tebakku berbinar.
"Iyo!" tawanya menjadi-jadi.
"Gagah Mandan kini mah!" senangnya. Lama sudah tak kudengar sapaan itu.
Mandan, panggilan akrab kami semasa aktif dalam geng sekolah menengah.
Namanya Riko. Dalam geng, dia populer dengan Ricko Cicko Albertho. Keren kan! Benarnya sih Riko Kurniawan. Dikelas, Riko dikenal siswa ajaib. Sepertinya dia cerdas kinestetis. Sering dia main kucing-kucingan sama guru kelas. Terlebih dengan pembina asrama terutama saat waktu shalat datang. Banyak alasannya untuk tidak berjamaah di mesjid.
Aku tahu tempat persembunyiannya. Dalam lobang di loteng asrama. Acapkali dia kepergok sama pembina disana.
Dia karibku. Tiga tahun tsanawiyah. Hampir sepuluh tahun tiada bersua. Terakhir tatap muka sewaktu pengambilan ijazah SMP. Kini dia tengah meretas bisnisnya di Kota Kembang, Bandung. Akrab amat. Saking akrabnya sampai-sampai ada pertengkaranku dengan jawara tersebut. yap, benar! Adu jotos sama pendekar kelas, sebabnya sepele. Gara-gara tak sabaran ngantre giliran dapat makan siang di asrama sekolah. Adu mulut, berlanjut perang otot di belakang asrama.
Beberapa saat kami bernostalgila. Mengenang masa-masa penuh jenaka. Berkisah masa depan. Bertukar kontak. Dan ngalor-ngidul lainnya.
Sayup, corong TOA mesjid menggemakan iqomat.
"Taraweh yuk!" ajaknya. Aku terpana. Dia menyadari perubahan rupaku.
"Biar tampang-tampang preman gini. Soal sholat tak boleh ditinggal" ucapnya meyakinkan. Hatiku bergetar. Ada gemuruh dalam dada. Dilambaikan tangannya kearah "geng motornya" dan berteriak,
"Hoi Ndan Sumbahyang wak lu." ۩

0 komentar: