Basuo Mandan
![]() |
Pejantan Tangguh Sekolah Guru Indonesia IV |
Kutinggalkan tontonan yang
merayu-rayu biar kutongkrongin terus. Godaannya kutepis. Ku hendak menunaikan
godaan Azan yang sungguh lebih memikat hati. Beranjak dari duduk. Pergi.
Sebenarnya
di komplek tempatku tinggal ada beberapa mesjid. Untuk shalat lima waktu,
biasanya kuguna mesjid dekat rumah. Yang cuma dipisahkan tembok pembatas.
Untuk
Taraweh kali ini, kuingin bersilaturahim ke mesjid yang ada di seberang Sungai,
warga kota menyebutnya Banda Bakali. Agak jauh memang, mesti melintasi jembatan
penuh tantangan. Tantangan bau sampah diujungnya, juga keramaian lalu lintas.
Tapi tak mengapa.
Oya, sengaja
pula tak kubawa Motor Ceper yang biasa kutunggangi. Pun, adik yang biasa
menemani tak kuajak juga. Alasannya, aku ingin menikmati kesendirian sembari
Taraweh di Mesjid Sebrang.
Langkah yang semula pelan,
kupercepat saat melintasi tumpukan sampah itu. Sesekali celingukan kanan kiri
biar aman dari lalu-lalang kendaraan.
Cepat dan makin kupercepat langkah,
bau sampah makin laju pula menyapa hidung. Kucoba berlari. Napas ngos-ngosan.
Kembali kupelankan langkah mengambil napas panjang. Mesjid kutuju sudah dekat.
"Hoi
Ndan!" teriak dari pinggir jalan. Kuhadapkan wajah kesana. Tampak beberapa
bujangan bertengger dimotornya masing-masing. Beberapa pasang mata menatapku.
Deg-degan jantungku. Takut menyerang. Tajam mata pria berbaju putih, pakai helm
menusukku. Hendak ku-start langkah seribu. Dia bersegera menggenggam lenganku.
"Sombong
Mandan Mah!" tawanya membahana. Kukikuk. Bingung.
"Lai
takana juo jo awak lai, Ndan?" kupenasaran. Siapa pula ini orang? Pikirku.
Dibukanya helm yang sedari tadi membungkus kepalanya.
"Ang
Ko?!" tebakku berbinar.
"Iyo!"
tawanya menjadi-jadi.
"Gagah
Mandan kini mah!" senangnya. Lama sudah tak kudengar sapaan itu.
Mandan,
panggilan akrab kami semasa aktif dalam geng sekolah menengah.
Namanya
Riko. Dalam geng, dia populer dengan Ricko Cicko Albertho. Keren kan! Benarnya
sih Riko Kurniawan. Dikelas, Riko dikenal siswa ajaib. Sepertinya dia cerdas
kinestetis. Sering dia main kucing-kucingan sama guru kelas. Terlebih dengan
pembina asrama terutama saat waktu shalat datang. Banyak alasannya untuk tidak
berjamaah di mesjid.
Aku tahu
tempat persembunyiannya. Dalam lobang di loteng asrama. Acapkali dia kepergok
sama pembina disana.
Dia karibku.
Tiga tahun tsanawiyah. Hampir sepuluh tahun tiada bersua. Terakhir tatap muka
sewaktu pengambilan ijazah SMP. Kini dia tengah meretas bisnisnya di Kota
Kembang, Bandung. Akrab amat. Saking akrabnya sampai-sampai ada pertengkaranku
dengan jawara tersebut. yap, benar! Adu jotos sama pendekar kelas, sebabnya
sepele. Gara-gara tak sabaran ngantre giliran dapat makan siang di asrama
sekolah. Adu mulut, berlanjut perang otot di belakang asrama.
Beberapa
saat kami bernostalgila. Mengenang masa-masa penuh jenaka. Berkisah masa depan.
Bertukar kontak. Dan ngalor-ngidul lainnya.
Sayup, corong TOA mesjid menggemakan
iqomat.
"Taraweh
yuk!" ajaknya. Aku terpana. Dia menyadari perubahan rupaku.
"Biar
tampang-tampang preman gini. Soal sholat tak boleh ditinggal" ucapnya
meyakinkan. Hatiku bergetar. Ada gemuruh dalam dada. Dilambaikan tangannya
kearah "geng motornya" dan berteriak,
"Hoi
Ndan Sumbahyang wak lu." ۩
Leave a Comment