Kapan-kapan Kita Wawancara Lagi Ya…
![]() |
Siswa Zaid Berperan Selaku Wartawan di Kantin Sekolah |
Hingga
pagi buta, masih bolak-balik RPP dan bahan ajar. Mempersiapkan diri hendak
berbagi ilmu sama siswa Kelas Zaid.
Sebetulnya,
pembelajaran dalam sub tema dua ini aksinya pekan depan. Tapi, tak mengapa toh
kalau berpenat diri jauh-jauh hari daripada pening saat hari H nanti?
Di
subuh damai itu, ide datang. Tibanya seiiring inspirasi dari Ariani, teman
sekelas di Sekolah Guru Indonesia. Guru model yang pernah setahun mengabdi di
pedalaman Kalimantan. Bude Ani, panggilan akrab Ariani sempat membintangi sebuah
film dokumenter, Lentera Indonesia. Tak heranlah kalau Bude ini nanti akan nonggol
di kotak persegi dialiri listrik tersebut.
Dari
tipi, tampak Bude Ani menerapkan pembelajaran langsung pada siswanya. Dia
mengajak anak didiknya yang masih es de mewawancarai murid sekolah menengah di
dusun tetangga. Metode yang pernah diterapkan Bude Ani hendak kuterapkan pula
di kelasku.
Mentari
memamerkan senyumnya pada jagad raya. Menyemangati diri dan hati. Siswa dengan
kostum kuning pucat tak sabar menanti kehadiranku. Tepat depan pintu bergantian
kusalami tangan mungil nan polos. Senyum tak lepas dari wajah ceria mereka.
Semangatku makin buncah.
Muraja’ah
dan do’a menjelang pembelajaran berlalu. Bergantian kusapa tiap kelompok yang
kubentuk pekan lalu.
“Siapa
yang hobi nonton tv?” apersepsi dijalankan. Membumbung semua tangan menerobos
angkasa. Satu persatu lisan bocah memaparkan apa yang kerap ditontonnya. Film
kartun umumnya.
“Siapa
yang suka nonton berita?” apersepsi masih berjalan. Tak banyak lagi tangan itu membumbung.
Hanya hitungan jari.
“Apa
sebutan untuk orang yang pekerjaannya mencari berita atau informasi untuk
disampaikan pada orang banyak?” Pertanyaan pemancing. Tak ada yang mengangkat
tangan. Yang ada Cuma keheningan pagi. Kuulangi pertanyaan yang sama. Tetap nihil.
Diam dan masih belum ada yang menunjuk. Tetiba, di pojok kiri sana, satu tangan
terangkat malu-malu.
“Wartawan
atau Reporter ya Pak?” bocah berkerudung kuning belum yakin dengan jawabannya.
Perlahan menurunkan tangan.
“Reporter!
Yap. Benar sekali, Nisa! Reporter merupakan wartawan yang bertugas meliput
peristiwa dan mengumpulkan bahan berita.” Pujiku dengan dua jempol.
“Nah,
hari ini kira-kira kita akan membahas apa ya?” tanyaku lagi.
“Reporter.
Ups, Wartawan atau wawancara ya Pak!” Nisa
menjawab mendahului teman lainnya. Di kelas Nisa memang salah satu siswa yang
menonjol.
Sembari
membagikan lembaran kerja siswa di tiap kelompok, kuterangkan tujuan dan
manfaat pelajaran.
Enam
kelompok terbentuk. Tiap kelompok terdiri dari empat hingga enam siswa.
Kelompok satu hendak mewawancarai petugas perpustakaan. Kelompok dua dan lima mewawancarai pedagang kantin. Kelompok lainnya
akan beraksi dengan guru yang ada di kantor. Tugas siswa pada tematik Bahasa
Indonesia dan IPS kali ini ialah menanyakan berbagai hal yang terkait profesi
narasumber. Juga diharapkan siswa paham bagaimana cara berkomunikasi secara
sopan dan santun dengan orang yang lebih tua.
“Oke.
Semua siap?!”
“Belum
Pak!” sanggah Nabil yang sibuk menempelkan pulpen pada wajahnya.
“Apa
itu Bil?” kening mengernyit.
“Ini
loh Pak, microphone biar suara saya keras sewaktu wawancara nanti” Nabil
terkekeh. Owh, microphone buatan dari pulpen tanda semangat. Geleng-geleng. Senyumku
tetap merekah.
“
Dalam hitungan keempat, silahkan tiap kelompok berperang di medan yang sudah
ditentukan” istilah perangku menyemangati.
“Go!”
semua siswa berhamburan menyerbu lapak masing-masing. Melakukan aksi sesuai
instruksi.
Semua
kasak-kusuk. Tertawa. Terdiam. Malu. Kaku, dan berbagai ekspresi kusaksikan
dari bocah kelas empat es de itu. Masih banyak yang gugup menyusun kata
berhadapan dengan narasumber. Tak apalah. Ini pelajaran dan pengalaman bagi
mereka.
20
menit terlewati. Siswa memasuki kelas untuk presentasi hasil wawancaranya.
Bermula dari kelompok satu.
“Pak,
asik sekali. Kami dikasih permen sama petugas pustaka.” Bangga Hafidz.
“Kok
bisa dikasih?”
“Karena
kami ngomongnya sopan”
“Tepuk
salut!”
“Siapa
yang berkata sopan saat wawancara tadi?” tanyaku. Semua tangan terancung.
Kujabarkan pentingnya berkata baik dan sopan. Siswa manggut.
“Apa
yang kalian rasakan hari ini?”
“Senang
pak!” teriak Nabil yang tak bisa tenang di kursi.
“Napa?”
“Karena
saya dapat mewawancarai ibuk kantin dan ini pengalaman pertama saya Pak.”
“Saya
juga Pak!” Alya yang biasa membisu buka lisan.
“Saya
terharu sama Ibu kantin yang bangun dini hari mempersiapkan dagangannya”
“Pak…
pak!” Kutolehkan muka kearah Albar yang memanggil.
“Masak
saya disuruh baca ayat Al-Qur’an sebelum wawancara oleh Pak Anam” pak Anam
adalah guru Tahfidz. Narasumber kelompok Albar.
“Baguslah
itu. Ketimbang diperintah bersihin toilet?” candaku.
Hari
ini semua siswa bersuara. Siswa perempuan tak lagi mengunci lisannya. Lega dada
kurasa. Tepuk salut mengakhiri pelajaran.
Kutuju
meja Iqbal memintanya memimpin do’a bersiap pulang. Tenang.
“Ada
yang ingin bertanya lagi” kataku.
“Pak,
sangat senang sekali hari ini. Kapan-kapan kita wawancara lagi ya. Kalau bisa
sama Bule” Usulan Nabil, Si Kinestetor ulung diikuti suara huhuhu
teman-temannya. Sedangku tersenyum geli melihat microphone dari pulpen
menggantung tak karuan di wajah polosnya.۩
Leave a Comment