Nanti Dulu Savana
Siswaku di Suatu Senja di Bukit Punggur |
Bogor. Maret.
Impian ini terukir saat
aku masih berkostum merah putih. Sesaat setelah usai mempelajari materi IPA,
tepatnya tentang stepa dan savana. Aku
berangan dapat berlarian memuaskan hati di lapangan savana hijau nan luas,
sedikit diselingi perdu dan pohon. Hingga kinipun, keinginan itu masih
bersemayam kuat dalam jiwa.
Ketika ditanya tempat pengabdian, pilihanku mantap di
daerah yang ada savanannya. Jantungku
berdebar tak konstan sewaktu hari pengumuman itu tiba. Harapanku masih sama,
pada savana. Tapi malang, Lampung adalah
tempat dimana diri ini ditakdirkan. Kecewaku meradang.
“Ah, pulang kampung” otak mengejek, hati membenarkan dan
sikapku mengikuti. Aku terdiam, muka bermuram durja, tertunduk lesu.
Keputusan tak bisa diganggu gugat. Ikhlas berat kuamalkan.
Kucoba singkirkan ego demi kedamaian hati.
Masa berlalu, waktu demi waktu ikhlas berhasil bertengger
dalam dada. Senyumku sedikit merekah. Semangat, ya, mesti semangat meski
terpaksa.
***
Bukit Punggur, Mengejar Asa Bersama Siswa |
Lampung. Oktober.
Sekolah pengabdianku
berada diperbatasan Bumi Ramik Ragom dan Bumi Sriwijaya. 50 meter didepan
tempat tinggalku sudah memasuki kawasan OKU Selatan, Sumatra Selatan. Tak jauh
dari sana, berdirilah Bukit Punggur, bukit tertinggi di kawasan ini. Kakinya terselonjor
hingga ke posisiku berada. Nah, dikakinya itu ada suatu tempat yang selalu
kudatangi. Seringnya aku mampir bukannya tanpa alasan. Setiap senja kuberada
disana, dan tiap itu pula ketenangan merasuki jiwa, lapang dada kurasa, beban
hidup sirna seketika. Damai, ya, yang ada hanya kedamaian. Kesebutlah tempat
itu “Bukit Kedamaian”
Tak berbeda dengan senja-senja sebelumnya. Senja kali
ini, kunikmati kedamaian yang ada. Perlahan sepoi angin menggelitik mesra. Aku
tertawa. Bahagia.
Ceriaku tak bertahan lama. Aku yang setia duduk di pokok
karet ini mulai terusik. Bola mataku menangkap bayangan tergopoh-gopoh mengarah
padaku. Pikiranku risau. Kuamati siapakah pemilik bayangan itu. Astaga, Pindai!
Lajang kampung bertato hobi mabuk-mabukan. Tersinggung sedikit hatinya, tiada
segan dia menghabisi nyawa. Cuma beberapa kali aku berpapasan dengannya. Dan
itupun membuat romaku berdiri saking takut dengan sangar mukanya.
Reflek anggota badan siaga. Kakiku bersiap lari. Tapi
urung. Teriakkannya menghentikan langkahku. Daripada mati ditikam belati
dijemarinya, baiknya kuberhenti. Gemetar sekujur tubuh, kaku. Dia makin
mendekat.
“Duduklah, Kak!” pintanya lembut. Aku tak percaya pendengaranku. Bukan suara kasar
Pindai yang biasa menyapa gendang telinga. Kubalikan badan. Mataku melihat,
memang Pindai dihadapan. Dia telah duduk diatas rerumputan kering tak jauh
didepanku. Aku masih berdiri mematung,
kaku. Gemetar di tubuh belumlah pergi.
“Duduklah, Kak!” pintanya sekali lagi. Kali ini diiringi
senyum. Melihat belati di kirinya membuatku ragu. Akan dimusnahkannya nyawa
ini? Berbagai kata ngeri berputar mengitari kepala.
Sang surya bersiap
ke peraduan. Perlahan gelap wujud. Aku mengabulkan pinta preman itu.
“kakak tide ngerokok keh?” bahasa Ogannya
menanyaiku. Pertanyaan aneh. Takut makin kurasa. Tak ada jawabanku. Berbagai
pertanyaan aneh dan asing dilontarkannya. Tak satupun kujawab. Ketakutan
membuat kelu lisanku mengutarakan jawaban.
Kesal
ulah diamku, dia berdiri, marah. Dipegangnya pisau belati kuat-kuat. Dan...
“Nape kakak tide jawab tanyaku!” Pindai
geram. Gerahamnya beradu terdengar. Mata merah melotot padaku. Belati ditujukan
pada leherku. Kilatannya menyilaukan mata. Kurasakan kulitku disentuh tajamnya.
Ketakutanku menjadi-jadi. Keringat dingin membanjiri sekujur tubuh. Aku telah
mencoba berteriak mencari pertolongan, tapi suara ini ditelan angin ribut.
Keberanianku muncul disaat-saat terdesak seperti ini.
Tanpa pikir panjang, kaki kiriku menendang selangkang si jakung. Dia terlonjak
kaget. Teriakannya histeris. Tangannya memegang anggota yang sakit. Belati
lepas dari genggemannya, jatuh menabrak tanah. Kesempatan itu kugunakan untuk
menyelamatkan diri. Aku berlari sekencang-kencangnya. Seketika angin makin
ribut mengobrak-abrik daun karet. Dipenurunan sana, lariku makin cepat bagai
kilat. Aku tak peduli sekitar, tak ada lagi kedamaian, angan pada savana pudar,
di benak hanya ada dua kata, selamatkan diri. Namun naas, kakiku tersandung
akar semak membuat tubuh ini terguling-guling bak bola salju hingga berakhir di
lembah karet. Kepalaku terbentur keras di batu cadas. Aku merintih. Jemari
menyentuh darah yang muncrat, kepalaku bocor. Oh, tidak!
Pindai
menuruni bukit mengejarku. Mukanya makin marah. Kucoba bangkit dan berdiri.
Terhuyung-huyung. Napasku ngos-ngosan. Aku tak kuasa lagi berlari. Mataku
berkunang-kunang. Tampak Pindai dengan belatinya dekat dan mendekat. Secepat
kilat dihujamkannya pisau itu tepat di ulu hati. Teriakkanku memecah alam,
menghalau angin ribut. Bergetar bumi terasa. Penglihatanku kabur. Sayup-sayup
pendengaranku sirna. Dunia gelap, hening.
Lama
kegelapan menyertai penglihatanku, tiba-tiba kupingku mengumpulkan suara.
Semakin lama suara itu makin jelas.
“Bapak..!
Bangun, Pak!” suara murid-muridku membuatku tersentak. Sontak berdiri dan
melirik jam ditangan. Sudah pagi. Ramai murid mengedor pintu menyadarkanku dari
mimpi. Mimpi buruk yang baru kualami.
***
Kududuk diam dibelakang
meja kerja di kantor sekolah. Badanku lesu. Mimpi semalam masih membayang.
Beberapa guru telah berusaha menggodaku untuk tertawa. Tak berhasil. Karena
candaannya yang tidak lucu. Hanya siswa yang bisa hadirkan kembali senyumku.
Pukul 12.00 WIB, pelajaran usai. Satu per satu siswa
mulai meninggalkan sekolah. Satu jam berlalu, aku masih setia diatas bangku.
Aku merenungkan dan mereka-reka arti mimpi itu.
“Permisi, Kak!” lamunanku buyar, kucari sumber suara.
Milik Pindai. Benar, suara Pindai.
“Ya, masuk. Silahkan duduk” senyumku mencoba
menyembunyikan keterkejutanku. Pindai menghias wajahnya dengan senyum, persis
seperti dalam mimpi. Takutku timbul kembali. Dikeluarkannya pisau belati yang
bersarang dekat pinggangnya. Tampak berkilat-kilat diterpa cahaya. Bulir
keringat menganak sungai dikulitku. Tangan kirinya menaruh belati diatas meja
didepanku. Lalu dia duduk tak jauh disampingku.
“Ade ape, Kak?”
dialek melayu meluncur dari lisanku memecah kesunyian.
“Nape kakak tide ngerokok?” deg,
pertanyaan dalam mimpi, persis. Kujelaskan kenapa aku tak suka dengan rokok,
kuterangkan pula tentang hukum bertato, mabuk-mabukan dan mengenai shalat.
Sesuai dengan pertanyaan yang disemprotkannya padaku.
“Aku nak behenti dai semoa ni, Kak!”
ujarnya tiba-tiba bagai kanak-kanak, polos. Dikisahkannya alur hidupnya hingga niat untuk berubah
itu tiba.
“Kaitannya sama aku?” senyumku ragu. Dia
menjawab. Dan jawabannya nanti kukasih tau padamu, kawan.
***
Senja ini aku masih
duduk di puncak Bukit Kedamaian. Benar-benar damai. Ditemani Pindai. Kulitnya
melepuh usai disetrika. Untuk menghilangkan tato alasannya. Alunan gitar yang
kumainkan mengimbangi gesekan daun-daun hutan Hevea braziliensis. Anganku pada savana belumlah sirna. Sabar dulu
ya savana. Kujajaki dirimu suatu ketika, nanti.
***
Telah terang pikiran.
Indah tatapan mata. Jelas sudah pendengaran. Terbang jauh sesak di dada.
Tercipta sebuah hikmah. Hanya sebab aku tak merokok Pindai berubah? Entahlah.
Yang pasti, aku merasa “ada” di tempat ini. Dan Bukit Punggur damai bermula.
Pengganti savana nun jauh disana.
Mulya Jaya, 06 Oktober
2013
Leave a Comment