I Love You Waveboard
![]() |
Bercengkrama sama Waveboard |
“Jadi tak kita latihan,
Pak? Kapan?”
Sebuah pesan nongol di
layar handphone. Dari Raldi, siswaku. Otak langsung ingat janji yang terucap
siang kemarin. Secepat kilat langsung loncat, mencampakkan selimut hangat di pembaringan.
Niat hati hendak istirahat lagi usai subuh batal.
“Pagi ini. Jam tujuh. Di
lapangan Basket. Bapak bersiap dulu ya.”
Jemari saling berpacu
mengetik huruf. Klik. Pesan terkirim. Buru-buru kutuju kamar mandi, membasuh
muka. Setelan olahraga terpasang memeluk badan. Langkah sigap mengarah lapangan
basket, tempat yang dijanjikan.
Kemarin, aku melatih siswa persiapan upacara bendera yang akan digelar senin besok. Menjelang
dhuhur gladi resik usai. Bersama rekan guru, sejenak kubuang penat. Melahap makanan
ringan yang tersedia di kantor. Saat gigi molar dan premolar lahapnya
mengunyah, bola mata tak sengaja beradu melihat anak-anak di lapangan basket
sedang meluncur kesana kemari. Memikat hati.
Kudekati. Permainan
skateboard-kah ini? Hati berkata. Ah, bukan. Ini bukan skateboard. Aku kenal
Skateboard, memiliki satu papan dan empat ban. Tapi benda ini memiliki dua papan dan dua ban.
“Kalian lagi surfing
ya?!” tanyaku dibarengi tawa terpaksa. Sontak anak-anak yang tengah nikmatnya
bermain berhenti. Menatapku. Mereka terkikik bak kuda di pacuan. Tapi bukan
mengejek.
“Bukan, Pak. Bukan
Surfing” lelaki berbadan bongsor menjawab sembari bersiap meluncur mengitari
lapangan.
“Skateboard?” hampir tak
terdengar.
“Bukan juga. Ini
waveboard namanya. Bapak mau main?” anak gempal itu menawarkan.
Hmm… Waveboard?
“Oke. Pinjam dan ajarin
Bapak ya!” senyum renyah, menerima tawaran. Dengan senang hati bocah berkaos
merah meminjamkan waveboardnya. Sesuai petuah yang diwejangkan, kutempelkan
kaki kiri di papan bagian depan. Sementara kaki kanan menyiapkan diri mendorong
dari belakang.
Deg-degan. Semua menahan
napas melihat aksi yang hendak kutampilkan. Kurasakan aura sekitar mulai tidak
nyaman. Keringat dingin bergulir membanjiri tubuh. Aku gugup. Kuakui, aku belum
pernah memainkan makhluk yang satu ini. Kalau papan yang bernama skateboard,
aku pernah mengajaknya bercengkrama. Dan memainkannya mudah.
“Satu… Dua… Tiga… Ayo,
Pak!” koor siswa serempak.
“Allahu Akbar… Allahu
Akbar!” adzan menggema. Papan gagal meluncur.
Berpura kupasang tampang kecewa. Padahal dalam lubuk hati terdalam berteriak
Alhamdulillah. Raldi, lelaki cilik itu serius membaca raut kecewa yang hinggap
di wajah.
“Don’t be sad Teacher!
Besok kan Ahad. Paginya kita latihan, gimana?” Raldi menghibur. Aku mengangguk, menurut bagai
kanak-kanak habis kehilangan mainan. #bersambung
***
Leave a Comment