Kamis, 25 September 2014

I Love You Waveboard

Bercengkrama sama Waveboard


“Jadi tak kita latihan, Pak? Kapan?”
Sebuah pesan nongol di layar handphone. Dari Raldi, siswaku. Otak langsung ingat janji yang terucap siang kemarin. Secepat kilat langsung loncat, mencampakkan selimut hangat di pembaringan. Niat hati hendak istirahat lagi usai subuh batal.
“Pagi ini. Jam tujuh. Di lapangan Basket. Bapak bersiap dulu ya.”
Jemari saling berpacu mengetik huruf. Klik. Pesan terkirim. Buru-buru kutuju kamar mandi, membasuh muka. Setelan olahraga terpasang memeluk badan. Langkah sigap mengarah lapangan basket, tempat yang dijanjikan.
          Kemarin, aku melatih siswa persiapan upacara bendera yang akan digelar senin besok. Menjelang dhuhur gladi resik usai. Bersama rekan guru, sejenak kubuang penat. Melahap makanan ringan yang tersedia di kantor. Saat gigi molar dan premolar lahapnya mengunyah, bola mata tak sengaja beradu melihat anak-anak di lapangan basket sedang meluncur kesana kemari. Memikat hati.
Kudekati. Permainan skateboard-kah ini? Hati berkata. Ah, bukan. Ini bukan skateboard. Aku kenal Skateboard, memiliki satu papan dan empat ban. Tapi benda ini  memiliki dua papan dan dua ban.
“Kalian lagi surfing ya?!” tanyaku dibarengi tawa terpaksa. Sontak anak-anak yang tengah nikmatnya bermain berhenti. Menatapku. Mereka terkikik bak kuda di pacuan. Tapi bukan mengejek.
“Bukan, Pak. Bukan Surfing” lelaki berbadan bongsor menjawab sembari bersiap meluncur mengitari lapangan.
“Skateboard?” hampir tak terdengar.
“Bukan juga. Ini waveboard namanya. Bapak mau main?” anak gempal itu menawarkan.
Hmm… Waveboard?
“Oke. Pinjam dan ajarin Bapak ya!” senyum renyah, menerima tawaran. Dengan senang hati bocah berkaos merah meminjamkan waveboardnya. Sesuai petuah yang diwejangkan, kutempelkan kaki kiri di papan bagian depan. Sementara kaki kanan menyiapkan diri mendorong dari belakang.
Deg-degan. Semua menahan napas melihat aksi yang hendak kutampilkan. Kurasakan aura sekitar mulai tidak nyaman. Keringat dingin bergulir membanjiri tubuh. Aku gugup. Kuakui, aku belum pernah memainkan makhluk yang satu ini. Kalau papan yang bernama skateboard, aku pernah mengajaknya bercengkrama. Dan memainkannya mudah.
“Satu… Dua… Tiga… Ayo, Pak!” koor siswa serempak.
“Allahu Akbar… Allahu Akbar!” adzan menggema. Papan gagal meluncur.  Berpura kupasang tampang kecewa.  Padahal dalam lubuk hati terdalam berteriak Alhamdulillah. Raldi, lelaki cilik itu serius membaca raut kecewa yang hinggap di wajah.
“Don’t be sad Teacher! Besok kan Ahad. Paginya kita latihan, gimana?” Raldi  menghibur. Aku mengangguk, menurut bagai kanak-kanak habis kehilangan mainan. #bersambung
***

0 komentar: