Sabtu, 03 Agustus 2013

Dikala Indah Teringat Ayah



DUDUK SELALU di bangku bagian belakang. Semenjak kelas lima hingga naik kelas enam sekarang, tak pernah mataku melihat dia berada di bagian depan. Entah karena sudah diatur wali kelasnya atau memang dirinya yang tidak suka posisi itu. 

Namanya Indah Kinanti. Indah sapaannya. Bocah perempuan kelas lima di sekolah pengabdianku. Meski Indah namanya, tapi tak seindah penilaian guru terhadap dirinya. Dia menjadi buah bibir di sekolah. Pada pertemuan pertama dengan dewan guru, mereka mengabarkan padaku bahwa bocah berambut lurus itu sering membuat “gaduh” di kelas. Ini sebab ulahnya yang tiada henti ngoceh. Ada saja yang ditanyakannya. Beberapa guru merasa kurang nyaman dengan prilakunya itu. Mereka bilang hal itu saru, tidak sopan dan mengganggu proses pembelajaran. 
Selasa, hari pertamaku menguraikan pelajaran di kelasnya. Dan itu berarti hari ini adalah hari pertamaku bertemu dengan Indah. Kesempatanku untuk menyaksikan seperti apakah ocehannya yang telah berhasil mengusik ketenangan guru memberikan pelajaran.
Tujuh belas menit pertama. Kelas masih aman, tak ada tanda akan adanya kebisingan. Aku lega. Pikiranku berkata bahwa kondisi baik-baik saja. Sajian materi usai sudah. Tak ada yang aneh dalam kelas kurasa.
Kususuri teras sekolah menyambangi para siswa yang mulai berdatangan. Senyum hangat dan bersemangat tergambar di mimik wajah generasi bangsa ini. Pagi ini kembali ku menghidangkan pelajaran di kelasnya. Sambutan meriah menyapa kehadiranku dalam kelas Indah.
“Apa kabar anak Indonesia?!” Sapaku menyapu wajah seluruh siswa.
“Cerdas, Ceria dan Percaya diri...” Balas mereka sesuai dengan jawaban yang kuinginkan. Yel-yel dengan gerakan ala Chibi-chibi ini kukenalkan pada pertemuan awal. Kulihat Indah dengan keceriaannya. Mulutnya komat-kamit seperti ingin mengucapkan sesuatu.
“Pak... Hukum memakan bekicot itu apa sih? Haram, makruh atau mubah? Kulihat temanku memakannya kemarin” Mulai lisannya menyemprotkan pertanyaan. Aih... pertanyaan di luar materi yang hendak kuberikan. Belum sempat kutanggapi pertanyaan lain keluar lagi.
“Pak, kita tak belajar matematika, kan? Aku tak suka dengan angka...” Mulutnya manyun. Senyumku geli. Siapa pula yang akan menguraikan matematika pagi ini?
“Enggak... kita akan belajar Batuan dan Bumi” jawabku bersiap menuliskan bahan ajar IPA itu di papan tulis.
“Pak, rumah bapak dimana? Kok bapak jadi guru?” Aduh, kok sampai seperti ini mulutnya berkoar? Padahal perkenalan baru pekan kemarin. Apakah Indah lupa? Kenyamananku mulai terganggu. “Iih... kapan belajarnya nih!” Kudengar teman-teman Indah mulai complain.
Dengan penjelasan sederhana, Indah bisa kubujuk. Hingga akhir pelajaran banyak pertanyaan diluar konteks yang diajukan Indah yang dianggap ocehan saru oleh guru lain. Kunikmati saja meski materi ajarku tak tersampaikan mulus.
Hampir setiap hari seperti itu. Indah dengan kelebihan “Ocehan” yang dimilikinya. Menyaksikan mulutnya terus berbusa dengan kata-kata itu membuat benakku menganalisa bahwa dia cerdas di bidang linguistik. Kecerdasan dengan keterampilan dalam hal mendengar, kata-kata dan berbicara. Ternyata benar adanya, dia lebih unggul dalam bidang karang-mengarang. Setiap kali disuruh maju ke depan kelas, tiada sungkan dia melaksanakannya. Bercerita dan berkisah apa yang telah ia tulis di kertas miliknya. Apalagi saat kukabari bahwa setiap tulisan harian/diary yang ditulis akan dipampang di mading sekolah,  makin semangat Indah menulis.
Dibalik kelebihan pasti ada kekurangan. Kelebihan yang dimiliki seseorang bisa menjadi kekurangannya sekaligus. Begitupun dengan kelebihan “Ocehan” yang dipunyai Indah sekaligus menjadi kekurangan dirinya. Suatu ketika, ocehannya itu menjadi prahara di sekolah. Indah berkelahi dengan adik kelasnya. Ceritanya begini, waktu itu sedang istirahat sekolah. Aku dan dewan guru tengah bincang-bincang ngalor-ngidul di kantor guru. Sedang asiknya diskusi, gendang telinga bergetar menangkap suara tangisan. Bersama beberapa guru, aku bergegas menuju asal tangisan. Ku dapati Hena terisak di teras sekolah. Setelah diselidiki ternyata Hena tak terima ucapan Indah yang menyebutnya sebagai anak bodoh dan kata-kata sejenisnya. Lama perang mulut, Indah memukul Hena dengan sapu hingga bocah kelas dua itu tersedu-sedan. Barangkali Ocehan seperti inilah yang dimaksud para guru, yang menjadikan mereka tidak nyaman dengan keberadaan Indah. Hingga suatu ketika ocehan Indah sunyi tak menyapaku.
***
MATAHARI SERASA membakar bumi. Hamparan tanah kering dan pecah-pecah tercipta dimana-mana. Rumput yang dulu hijau berubah kuning kering. Air tak lagi menggenangi sumur. Telah menguap dibawa panasnya hari. Daun karet dan kopi yang tumbuh mengitari sekolah pengabdianku mulai berguguran satu-persatu ditiup angin. Kemarau hendak menyertai ramadhan kali ini.
            Sudah hari ketiga ramadhan ini ocehan Indah tak lagi menggema. Dia terlihat menyendiri, menjauh dari teman-temannya dan berdiam diri mengunci lisan. Aku merasa ada yang hilang. Biasanya aku disuguhkan dengan ocehannya setiap hari. Namun kini, ocehannya terhenti singgah ditelingaku. Tak ada lagi pertanyaan di luar konteks setiap kali ku menjabarkan materi ajar di kelasnya. Complain dari teman-temannya pun mulai surut. Apakah sebab sekarang ia sudah kelas enam dan merasa dirinya mesti berubah, mengurangi ocehannya sebagaimana yang diingatkan wali kelasnya diawal tahun ajaran baru kemarin? Atau jangan-jangan ia kena marah sama orang tuanya?   
            Suatu kali, kudekati dia hendak menanyakan apakah gerangan yang menjadikannya bersikap seperti saat ini. Sikap diamnya ini sudah membuat motivasi belajarnya mulai menurun beberapa hari belakangan. Dan itu kusaksikan. Dia enggan berkisah saat diminta tampil di muka kelas. Langkahnya lunglai. Tak biasanya. Bila ditanya menjawab dalam diam. Kutanya Sri, teman sepermainannya. Tak memberi jawaban yang memuaskan.
            Siang itu Indah, Sri dan beberapa orang teman sekelasnya ikut les komputer yang kuajarkan di kantor sekolah. Walau teman-temannya riuh rendah memenuhi ruangan. Indah tetap diam. Bermaksud memancing suara Indah. Ku coba praktikan strategi “Bertanya lewat perantara teman”. Kupikir cara ini cukup ampuh.
“Sri... Ibunya kerja apa?” pertanyaan pembuka untuk Sri.
“Petani, Pak” Jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari monitor komputer.
“Kerja ayahnya?” Lanjutku. Sri diam membisu, mendadak menghentikan aktifitas jemarinya memainkan keyboard. Ditundukannya kepala. Setelah kutanya apa hal hingga dia terdiam, tahulah aku bahwa ayahnya Sri telah pergi meninggalkan ibu dan dirinya. Hal itu membuatnya sedih. Kualihkan pandangan pada Indah yang juga kaget seketika. Ada sesuatu yang hendak disampaikannya. Tapi tak kuasa. Tampaknya cara yang kugunakan sudah menunjukan hasil. Kutanya dia tentang keluarganya. Ditanggapi tanpa batu sandungan. Sampai pertanyaan pada ayah. Diapun diam seperti Sri. Butir-butir bening mengalir di pipinya. Aku merasa bersalah. Tapi lisannya mulai berkisah, menjawab pertanyaanku. Dan mulailah kusimak ceritanya.
“Sore itu bapak baru balik dari rumah nenek. Kulihat bapak dari jendela. Beliau tersenyum sambil melangkah menuju gudang untuk menaruh motor yang dipakainya ke rumah nenek. Aku kembali membantu Emak di dapur mempersiapkan makanan untuk berbuka puasa maghrib nanti. Lima menit menjelang berbuka puasa Emak menanyakan bapak padaku. Ku katakan bapak belum masuk rumah, sepertinya masih di gudang. Kemudian Emak menyuruhku memanggil bapak untuk berbuka puasa. Segera kupenuhi perintah mak. Setengah berlari kuturuni tangga rumah panggung yang dibuat bapak. Ku masuk gudang yang tak memiliki lampu. Kupanggil-panggil bapak. Tak ada suara. Kulihat motor bapak telah berdiri di pojok gudang. Kudekati, dan kudapati bapak telah tergeletak disamping motornya” Indah menghela napas dalam dan melanjutkan kisahnya.
 “Ku berteriak histeris. Mendengar teriakkanku mak datang. Aku dan mak memapah bapak yang merintih kesakitan keluar gudang. Sesampainya di luar gudang kulihat kaki kiri bapak berwarna biru memar. Mak berteriak meminta pertolongan. Para tetangga berdatangan menghampiri kami. Orang-orang menggotong bapak ditengah sayup-sayup kumandang adzan maghrib pertanda berbuka puasa tiba. Aku tak mengerti apa yang terjadi dengan bapak” Indah diam mengusap bulir air mata yang menganak sungai. Sementara teman-temannya yang sedari tadi sibuk di depan layar komputer, sekarang turut mendengarkan kisah Indah. Ruangan kantor sepi sejenak.
“Malam harinya bapak dibawa ke kota. Aku dan adikku pun turut ikut. Dalam mobil kudengar mak masih menangis. Aku hanya diam bingung. Terdengar bapak berkata pada mak agar menjaga adik dan diriku dengan baik. Dalam perjalanan menuju kota, bapak tak bernapas lagi. Mak menangis sejadi-jadinya. Aku pun menangis” Indah terisak. Dengan terbata-bata disambungnya kisahnya. Kusimak penuh.
 “Esoknya bapak dimakamkan. Mak bilang bahwa kaki kiri bapak digigit ular berbisa. Aku terperanjat kaget karena ketika aku mendapati bapak terbaring di samping motornya kulihat ada hewan yang keluar melalui celah dinding gudang yang terbuat dari bambu itu. Kini, aku tak punya bapak lagi. Aku mesti membantu ibu juga. Habis sudah tempat bergantung hidupku” Indah menangis tersedu-sedu. Disandarkannya kepala dibahu Sri yang sudah menumpahkan air matanya duluan. Semua orang dalam kelas diam tanpa suara. Hanya dengungan dari komputer yang ikut berduka.
“Dan itu terjadi pada bulan Ramadhan, Pak...” Sambungnya. “Setiap menjelang berbuka puasa di bulan ini bayangan peristiwa itu selalu berputar mengitari kepalaku. Aku rindu bapak”
Aku tercekat. Kini kupaham sudah. Hilangnya ocehan Indah beberapa waktu belakangan ini disebabkan kejadian duka yang menimpa bapaknya. Aku menyesal. Seharusnya aku peka akan perasaan Indah yang secara tiba-tiba berubah, berdiam dan menyendiri. Ya, sebagai guru harusnya aku peka akan perasaan anak didikku itu. ۩

0 komentar: