Dikala Indah Teringat Ayah
DUDUK SELALU di bangku bagian belakang. Semenjak
kelas lima hingga naik kelas enam sekarang, tak pernah mataku melihat dia
berada di bagian depan. Entah karena sudah diatur wali kelasnya atau memang
dirinya yang tidak suka posisi itu.
Namanya Indah Kinanti.
Indah sapaannya. Bocah perempuan kelas lima di sekolah pengabdianku. Meski
Indah namanya, tapi tak seindah penilaian guru terhadap dirinya. Dia menjadi
buah bibir di sekolah. Pada pertemuan pertama dengan dewan guru, mereka
mengabarkan padaku bahwa bocah berambut lurus itu sering membuat “gaduh” di
kelas. Ini sebab ulahnya yang tiada henti ngoceh.
Ada saja yang ditanyakannya. Beberapa guru merasa kurang nyaman dengan
prilakunya itu. Mereka bilang hal itu saru,
tidak sopan dan mengganggu proses pembelajaran.
Selasa, hari pertamaku
menguraikan pelajaran di kelasnya. Dan itu berarti hari ini adalah hari
pertamaku bertemu dengan Indah. Kesempatanku untuk menyaksikan seperti apakah ocehannya yang telah berhasil mengusik
ketenangan guru memberikan pelajaran.
Tujuh belas menit
pertama. Kelas masih aman, tak ada tanda akan adanya kebisingan. Aku lega.
Pikiranku berkata bahwa kondisi baik-baik saja. Sajian materi usai sudah. Tak
ada yang aneh dalam kelas kurasa.
Kususuri teras sekolah
menyambangi para siswa yang mulai berdatangan. Senyum hangat dan bersemangat
tergambar di mimik wajah generasi bangsa ini. Pagi ini kembali ku menghidangkan
pelajaran di kelasnya. Sambutan meriah menyapa kehadiranku dalam kelas Indah.
“Apa kabar anak
Indonesia?!” Sapaku menyapu wajah seluruh siswa.
“Cerdas, Ceria dan
Percaya diri...” Balas mereka sesuai dengan jawaban yang kuinginkan. Yel-yel
dengan gerakan ala Chibi-chibi ini kukenalkan
pada pertemuan awal. Kulihat Indah dengan keceriaannya. Mulutnya komat-kamit
seperti ingin mengucapkan sesuatu.
“Pak... Hukum memakan
bekicot itu apa sih? Haram, makruh atau mubah? Kulihat temanku memakannya
kemarin” Mulai lisannya menyemprotkan pertanyaan. Aih... pertanyaan di luar
materi yang hendak kuberikan. Belum sempat kutanggapi pertanyaan lain keluar
lagi.
“Pak, kita tak belajar
matematika, kan? Aku tak suka dengan angka...” Mulutnya manyun. Senyumku geli.
Siapa pula yang akan menguraikan matematika pagi ini?
“Enggak... kita akan
belajar Batuan dan Bumi” jawabku bersiap menuliskan bahan ajar IPA itu di papan
tulis.
“Pak, rumah bapak
dimana? Kok bapak jadi guru?” Aduh, kok sampai seperti ini mulutnya berkoar?
Padahal perkenalan baru pekan kemarin. Apakah Indah lupa? Kenyamananku mulai
terganggu. “Iih... kapan belajarnya
nih!” Kudengar teman-teman Indah mulai complain.
Dengan penjelasan
sederhana, Indah bisa kubujuk. Hingga akhir pelajaran banyak pertanyaan diluar
konteks yang diajukan Indah yang dianggap ocehan
saru oleh guru lain. Kunikmati saja meski materi ajarku tak tersampaikan
mulus.
Hampir setiap hari
seperti itu. Indah dengan kelebihan “Ocehan” yang dimilikinya. Menyaksikan
mulutnya terus berbusa dengan kata-kata itu membuat benakku menganalisa bahwa
dia cerdas di bidang linguistik. Kecerdasan dengan keterampilan dalam hal
mendengar, kata-kata dan berbicara. Ternyata benar adanya, dia lebih unggul
dalam bidang karang-mengarang. Setiap kali disuruh maju ke depan kelas, tiada
sungkan dia melaksanakannya. Bercerita dan berkisah apa yang telah ia tulis di
kertas miliknya. Apalagi saat kukabari bahwa setiap tulisan harian/diary yang ditulis akan dipampang di
mading sekolah, makin semangat Indah menulis.
Dibalik kelebihan pasti
ada kekurangan. Kelebihan yang dimiliki seseorang bisa menjadi kekurangannya
sekaligus. Begitupun dengan kelebihan “Ocehan” yang dipunyai Indah sekaligus
menjadi kekurangan dirinya. Suatu ketika, ocehannya itu menjadi prahara di
sekolah. Indah berkelahi dengan adik kelasnya. Ceritanya begini, waktu itu
sedang istirahat sekolah. Aku dan dewan guru tengah bincang-bincang ngalor-ngidul di kantor guru. Sedang
asiknya diskusi, gendang telinga bergetar menangkap suara tangisan. Bersama
beberapa guru, aku bergegas menuju asal tangisan. Ku dapati Hena terisak di
teras sekolah. Setelah diselidiki ternyata Hena tak terima ucapan Indah yang
menyebutnya sebagai anak bodoh dan kata-kata sejenisnya. Lama perang mulut,
Indah memukul Hena dengan sapu hingga bocah kelas dua itu tersedu-sedan. Barangkali
Ocehan seperti inilah yang dimaksud
para guru, yang menjadikan mereka tidak nyaman dengan keberadaan Indah. Hingga
suatu ketika ocehan Indah sunyi tak menyapaku.
***
MATAHARI SERASA membakar
bumi. Hamparan tanah kering dan pecah-pecah tercipta dimana-mana. Rumput yang
dulu hijau berubah kuning kering. Air tak lagi menggenangi sumur. Telah menguap
dibawa panasnya hari. Daun karet dan kopi yang tumbuh mengitari sekolah
pengabdianku mulai berguguran satu-persatu ditiup angin. Kemarau hendak menyertai
ramadhan kali ini.
Sudah
hari ketiga ramadhan ini ocehan Indah
tak lagi menggema. Dia terlihat menyendiri, menjauh dari teman-temannya dan
berdiam diri mengunci lisan. Aku merasa ada yang hilang. Biasanya aku disuguhkan
dengan ocehannya setiap hari. Namun
kini, ocehannya terhenti singgah
ditelingaku. Tak ada lagi pertanyaan di luar konteks setiap kali ku menjabarkan
materi ajar di kelasnya. Complain dari
teman-temannya pun mulai surut. Apakah sebab sekarang ia sudah kelas enam dan
merasa dirinya mesti berubah, mengurangi ocehannya
sebagaimana yang diingatkan wali kelasnya diawal tahun ajaran baru kemarin?
Atau jangan-jangan ia kena marah sama orang tuanya?
Suatu
kali, kudekati dia hendak menanyakan apakah gerangan yang menjadikannya
bersikap seperti saat ini. Sikap diamnya ini sudah membuat motivasi belajarnya
mulai menurun beberapa hari belakangan. Dan itu kusaksikan. Dia enggan berkisah
saat diminta tampil di muka kelas. Langkahnya lunglai. Tak biasanya. Bila
ditanya menjawab dalam diam. Kutanya Sri, teman sepermainannya. Tak memberi
jawaban yang memuaskan.
Siang
itu Indah, Sri dan beberapa orang teman sekelasnya ikut les komputer yang
kuajarkan di kantor sekolah. Walau teman-temannya riuh rendah memenuhi ruangan.
Indah tetap diam. Bermaksud memancing suara Indah. Ku coba praktikan strategi
“Bertanya lewat perantara teman”. Kupikir cara ini cukup ampuh.
“Sri... Ibunya kerja
apa?” pertanyaan pembuka untuk Sri.
“Petani, Pak” Jawabnya
tanpa mengalihkan pandangan dari monitor komputer.
“Kerja ayahnya?”
Lanjutku. Sri diam membisu, mendadak menghentikan aktifitas jemarinya memainkan
keyboard. Ditundukannya kepala. Setelah
kutanya apa hal hingga dia terdiam, tahulah aku bahwa ayahnya Sri telah pergi
meninggalkan ibu dan dirinya. Hal itu membuatnya sedih. Kualihkan pandangan
pada Indah yang juga kaget seketika. Ada sesuatu yang hendak disampaikannya.
Tapi tak kuasa. Tampaknya cara yang kugunakan sudah menunjukan hasil. Kutanya dia
tentang keluarganya. Ditanggapi tanpa batu sandungan. Sampai pertanyaan pada
ayah. Diapun diam seperti Sri. Butir-butir bening mengalir di pipinya. Aku
merasa bersalah. Tapi lisannya mulai berkisah, menjawab pertanyaanku. Dan
mulailah kusimak ceritanya.
“Sore
itu bapak baru balik dari rumah nenek. Kulihat bapak dari jendela. Beliau
tersenyum sambil melangkah menuju gudang untuk menaruh motor yang dipakainya ke
rumah nenek. Aku kembali membantu Emak di dapur mempersiapkan makanan untuk
berbuka puasa maghrib nanti. Lima menit menjelang berbuka puasa Emak menanyakan
bapak padaku. Ku katakan bapak belum masuk rumah, sepertinya masih di gudang. Kemudian
Emak menyuruhku memanggil bapak untuk berbuka puasa. Segera kupenuhi perintah
mak. Setengah berlari kuturuni tangga rumah panggung yang dibuat bapak. Ku
masuk gudang yang tak memiliki lampu. Kupanggil-panggil bapak. Tak ada suara.
Kulihat motor bapak telah berdiri di pojok gudang. Kudekati, dan kudapati bapak
telah tergeletak disamping motornya” Indah menghela napas dalam dan melanjutkan
kisahnya.
“Ku berteriak histeris. Mendengar teriakkanku
mak datang. Aku dan mak memapah bapak yang merintih kesakitan keluar gudang.
Sesampainya di luar gudang kulihat kaki kiri bapak berwarna biru memar. Mak
berteriak meminta pertolongan. Para tetangga berdatangan menghampiri kami.
Orang-orang menggotong bapak ditengah sayup-sayup kumandang adzan maghrib
pertanda berbuka puasa tiba. Aku tak mengerti apa yang terjadi dengan bapak”
Indah diam mengusap bulir air mata yang menganak sungai. Sementara
teman-temannya yang sedari tadi sibuk di depan layar komputer, sekarang turut
mendengarkan kisah Indah. Ruangan kantor sepi sejenak.
“Malam harinya bapak
dibawa ke kota. Aku dan adikku pun turut ikut. Dalam mobil kudengar mak masih
menangis. Aku hanya diam bingung. Terdengar bapak berkata pada mak agar menjaga
adik dan diriku dengan baik. Dalam perjalanan menuju kota, bapak tak bernapas
lagi. Mak menangis sejadi-jadinya. Aku pun menangis” Indah terisak. Dengan
terbata-bata disambungnya kisahnya. Kusimak penuh.
“Esoknya bapak dimakamkan. Mak bilang bahwa
kaki kiri bapak digigit ular berbisa. Aku terperanjat kaget karena ketika aku
mendapati bapak terbaring di samping motornya kulihat ada hewan yang keluar
melalui celah dinding gudang yang terbuat dari bambu itu. Kini, aku tak punya
bapak lagi. Aku mesti membantu ibu juga. Habis sudah tempat bergantung hidupku”
Indah menangis tersedu-sedu. Disandarkannya kepala dibahu Sri yang sudah
menumpahkan air matanya duluan. Semua orang dalam kelas diam tanpa suara. Hanya
dengungan dari komputer yang ikut berduka.
“Dan itu terjadi pada
bulan Ramadhan, Pak...” Sambungnya. “Setiap menjelang berbuka puasa di bulan
ini bayangan peristiwa itu selalu berputar mengitari kepalaku. Aku rindu bapak”
Aku tercekat. Kini
kupaham sudah. Hilangnya ocehan Indah
beberapa waktu belakangan ini disebabkan kejadian duka yang menimpa bapaknya.
Aku menyesal. Seharusnya aku peka akan perasaan Indah yang secara tiba-tiba berubah,
berdiam dan menyendiri. Ya, sebagai guru harusnya aku peka akan perasaan anak
didikku itu. ۩
Leave a Comment