Kamis, 16 Mei 2013

Berbagi Dalam Kesempitan


D
alam keadaan lapang tentunya sangat ringan tangan ini untuk berbagi dengan sesama dan banyak orang yang  akan  sanggup untuk melakukannya. Lain halnya kalau berbagi dalam kesempitan, sangat sukar kita temukan orang yang bisa berbuat demikian.
Ketang dan Sainah  merupakan  warga Mulya Jaya yang tinggal di dusun Sinar Jaya Kab. Way Kanan. Melihat keadaannya, seharusnya pasangan suami istri  inilah yang berhak menerima bantuan dari orang lain. Namun,dua orang yang sudah uzur ini mampu berbagi dengan sesama meski keadaannya sangat memprihatinkan.
Ketang dilahirkan di Blitar 80 tahun silam, ketika Belanda masih menduduki bangsa ini. Dia tak sempat menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Rakyat (SR), yaitu sekolah yang setara dengan Sekolah Dasar (SD) saat ini. Karena memang keadaan yang membuatnya demikian. Semasa remaja, kakek 12 cucu ini sempat mengecap pedihnya romusha jajahan Jepang. Diceritakannya bahwa dia pernah disiksa; dipukul dan dicambuk di tengah teriknya matahari. Namun, mengingat akan masa depannya masa ada, dia mencoba untuk tetap bertahan menghadapi perlakuan Jepang terhadapnya dan teman seperjuangannya.
Setelah negara ini dinyatakan bebas dari penjajahan Jepang, Ketang mengadu  nasib di pulau Andalas, Lampung Tengah. Di kabupaten inilah anak kelima dari enam bersaudara ini menemukan tambatan hatinya. Sainah nam anya. Ditemani empat buah hatinya, Ketang dan Sainah mengarungi bahtera rumah tangga dengan harmoni selama satu dekade di Lampung Tengah ini.
Sekitar tahun 70-an,  Ketang membawa Sainah ke daerah yang saat ini mereka tempati, Mulya Jaya. Boleh dikatakan Ketang termasuk salah seorang yang membuka perkampungan ini. Selama Mulya Jaya berdiri, selama itulah Ketang dan Sainah tak berhenti untuk saling berbagi dan membantu baik sesama warga maupun para pendatang. Setiap orang yang meminta bantuan dari kakek yang semasa mudanya berprofesi sebagai pedagang ini, sebisa mungkin dia akan memberi bantuannya.
Pernah suatu kali, saya kehabisan bahan makanan. Tanpa diminta dia membawakan saya secanting (sekitar 1.5 liter) beras. Saya ulurkan tangan untuk “membayar” beras yang diberikan, namun dia menolaknya. “Kita mesti saling membantu sesama perantau” Katanya sembari ketawa memperlihatkan giginya yang tak cukup lagi. Kali lain, di hari yang hampir di balut kelamnya malam, dia tergopoh-gopoh mengantarkan sepiring goreng singkong ke tempat saya. Saya terima dengan penuh kebahagiaan. “Coba kalau semua orang berbuat seperti ini. Saling berbagi; Berbagi dalam keadaan lapang atau sempit. pasti kesejahteraan itu akan tercipta” gumamku. ۩

0 komentar: