Jumat, 04 Januari 2013

Cabe Rawit


SIANG HARI di beranda rumah. Lelaki separoh baya tengah menikmati hidangan dihadapannya.

"Nikmat sekali, wuenak rekz," gumamnya.

Terlalu menikmati. Ia berhenti mengunyah. Tiba-tiba ada rasa aneh menyerang indra pengecapnya.

"Mama...!"

teriaknya memanggil istrinya yang sibuk di dapur.

"Segelas airnya, cepat!" suaranya meninggi. Dengan segelas air ditangan, si istri tergopoh-gopoh menghampiri suaminya.

"Ini Pak," lembut istrinya sambil menyodorkan air yang diminta.

"Napa Pak?" manja si istri.

"Pedas sekali, Mama pake cabe rawit lage yah?!"

"Iya Pak... Supaya enak." senyum simpul terhias di wajah sang istri. Lelaki itu bersungut-sungut melanjutkan santapannya. Suasana hening tercipta. Dalam benak pria berkopiah itu beruntaian manik-manik kata,

"Kecil-kecil, digigit, pedas. Pedas sekali, gila."

SIANG MAKIN TERIK. Si pria makin lahap. Ingatannya berpetualang pada seorang pemuda yang pekan kemarin mengunjungi kampungnya. Selaku pendatang, tentunya si pemuda berbasa-basi pada sang kepala desa yang tak lain lelaki berkopiah tersebut. Sebagai tuan rumah, semestinya dia menjamu dan melayani tamunya dengan sebaik mungkin biar tamu kerasan berada di wilayahnya. Tetapi, tidak begitu, kepala desa hanya cuek bebek. Memandang rendah tamu, si pemuda.

"Apa pula yang bisa di perbuat bocah kecil ini, huh!" batinnya.

"Badan kecil, tinggi semampai~ semeter ndak sampai. Ah!" tatapannya mengarah morfologi sang pemuda dari rambut hingga kaki.

MALAM ITU, di mushala desa, si tamu ditunjuk mendadak menggantikan ustadz yang berhalangan hadir mengisi pengajian taklim oleh pengurus. Pak kades pastinya hadir ;-D

"Ba... Be... Bo, Bla-bla-bla" pesan taklim si pemuda.

Semua jama'ah terkagum-kagum menyimaknya, termasuk pak kades. Belum ada seorang pun yang menyampaikan tausyahnya seperti yang dilakukan pemuda itu sebelumnya. Maklumlah, kampungnya masih terilisolir. Kepala desa mengambil sikap diam dengan kepala menunduk. Dia jadi malu sendiri. Awalnya menduga si pemuda tak mampu apa-apa. Eh, ternyata berkualitas tak terbayang.

AIR BENING mengaliri kerongkongan si Paroh Baya mengilangkan pedasnya cabe rawit yang menegur lidahnya.

0 komentar: