Selasa, 29 Januari 2013

TERSADARKAN...



Sudah memasuki pekan ketiga Huda dan teman-temannya menjalani proses kelanjutan dari Sekolah Guru Indonesia (SGI-DD), magang di Yayasan Birrul Walidain Salabenda Bogor. Proses ini merupakan rangkaian perkuliahan sekaligus tahapan warming up sebelum dia menjalani tugas sebenarnya nanti di daerah penempatan, yakni sebagai guru model. Terasa sekali oleh Huda bahwa tahap ini termasuk tahapan yang membuatnya bekerja dan berpikir keras. Tidak adanya latar belakang keguruan ataupun kependidikan membuatnya gamang tak tentu rasa dan arah. Dalam benaknya berbagai pertanyaan untuk menyakinkan dirinya berbaris rapi, “Apakah kamu sanggup menjalani proses ini, Huda? Bisakah kamu menjadi guru yang diidam-idamkan para siswa nantinya? Benar nich kamu akan jadi guru yang patut digugu dan ditiru?” dan berbagai pertanyaan-pertanyaan senada mengitari simpul-simpul pikirannya.

Mengobati pikiran dan hati yang tak tentu itu, segala macam buku dan referensi menemaninya setiap saat; ditempat tidur, ditangan dan dimanapun berada tidak lepas sedikitpun bundelan berisi ilmu-ilmu yang berbau kependidikan. Tekadnya sudah bulat, tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan oleh SGI untuknya. Dia ingat betul sewaktu hatinya telah berikrar untuk menyerahkan raga dan jiwa untuk membangkitkan lagi kejayaan Islam yang pernah ada melalui pendidikan.

Janjinya tersebut terucap ketika suatu siang dia tengah berjalan-jalan kesebuah tempat dipinggiran kota kelahirannya. Disana didapatinya banyak anak jalanan yang lalu lalang yang membuat gangguan disekitarnya. Mata Huda nanar memandangi anak-anak bangsa yang tak tahu arah itu. Ada seorang anak yang menarik simpati Huda. Anak dengan potongan rambut yang cepak ala tentara dengan wajah oval berkulit sawo matang. Didekatinya anak yang sedari tadi diam dibawah pohon. Bocah kumuh itu canggung dengan kedatangan Huda. Huda paham dan memberi isyarat dia tidak akan mengapa-ngapain si anak itu.

Kagak sekolah, Dek?”
Langsung Huda meneror si cilik dengan pertanyaan yang mematikan. Si kecil Cuma diam bersikap acuh. Huda memandangi anak itu lekat. Panas makin terik. Bau keringat menyapa hidungnya. Kotoran sekitar pohon beterbangan diterpa angin.

“Sekolah? Emangnya Loe yang nak ngebiayai Gua?” Si bocah menjawab memakai bahasa lingkungannya. Agak  tersinggung, itulah yang dirasa hati Huda. Tak pantas anak sekecil itu berkata seperti itu pada yang lebih tua darinya. Untungnya Huda langsung sadar bahwa yang tengah dihadapinya saat ini adalah anak yang biasa berada dilingkungan dengan kata-kata yang jauh dari pengajaran. Dilemparnya jauh-jauh ketersinggungan hatinya. Dicobanya mengikuti alur dengan sabar dan tenang. Lama pembicaraan yang dilakukan Huda dan si Bocah. Dari perbincangan tersebut tahulah Huda bahwa bukannya anak jalanan ini tidak mau sekolah. Namun, biaya sekolah itulah yang menghalangi impian mereka meraih nikmatnya pendidikan. Huda meninggalkan anak bangsa itu dengan motivasi dan harapan agar kelak dia bertemu dalam waktu dan tempat yang berbeda, tempat dan penghidupan yang lebih layak.

Semenjak pertemuannya dengan si bocah di bawah rindangnya pohon  itulah, diqalbunya Huda mematrikan untaian kata bahwa dia ingin menjadi seorang guru yang patut digugu dan ditiru prilaku baiknya. Guru yang kaya raya, dengan harta itu dia ingin membangun Yayasan pendidikan. Impiannya menyekolahkan anak yang putus sekolah. Membentuk pola pikir dan mencerdaskan anak bangsa untuk mengenal Tuhannnya. Kini, proses itu tengah berjalan. Huda berharap moga tak ada aral yang menghadang impian hidup yang ditulis dihati terdalamnya itu.

0 komentar: