Aidil, Si Pemilik Jeweran (Part I)
28 November 2012
Satu jam saja kumenemani kelas IV SDN X 05. Banyak kisah dan pengalaman serta pelajaran yang kuterima.
Rabu. Aku dan teman-teman melakukan observasi kelas. Hari "yang ditunggu-tunggu" para pejuang pendidikan ini~SGI4. Ada yang senang hingga lompat-lompat tak karuan, ada teman tertawa lebar dan tersenyam-senyum (tak tahu kenapa?).
Berbeda denganku. Sedari pagi, aku banyak diam. Aku tak kenal dengan rasa yang kupunya; bahagiakah?, sedih?, takut?, rindu?, entahlah!
Semuanya campur aduk dalam dada.
Hiruk pikuk ruangan kelas memenuhi gendang telingaku saat aku dan tiga temanku: Anugrah, Taufik dan Zulfa memasuki kelas empat.
Anak didik yang berjumlah 43 orang ini tengah "menikmati" pelajaran Metamorfosis Hewan (IPA). Geli rasanya melihat tingkah pola bocah-bocah tanpa dosa ini. Mereka sibuk dengan dunianya sendiri yang membuat guru didepan kelas sana kewalahan. Yah... Kewalahan menghadapi liarnya gerak dan suara harapan bangsa ini.
Aku pilih duduk bersemedi disalah satu pojok kelas yang dindingnya berwarna-warni tak beraturan. Sepanjang corat-coret tak berbentuk itu dihinggapi banyak poster-poster yang tak menarik minatku. Beberapanya ada yang miring sana-sini, bahkan ada pula yang sobak-sobek. Tak jauh dihadapanku, menganga lemari yang mengeluarkan busa-busa tumpukan buku yang berserakan tak tersusun sama sekali.
Kram menyengat kakiku. Kuinjakan kelantai. Dingin kurasa. Kaus hitam yang menempeli kakiku basah bawahannya.
"Pantesan ada kain pel lantai berdiri tegap yang sesekali menari-menari diajak tangan Rival (salah seorang murid) mencoba mengurangi kuyupnya lantai" batinku.
"nggak tau dari mana datangnya ini air, bocor kale lotengnya" jelas Rival sesaat setelah kutanya kenapa lantai kelasnya basah. Kudongakan kepala. Ada bekas-bekas menghitam menghiasi loteng kelas pas diatas kepalaku. Barangkali itu karna hujan yang turun semalam hingga lantainya turut banjir?
Teriakan guru perempuan didepan kelas tak mampu mengalahkan bahanaan suara siswanya. Guru yang (barangkali) sudah sepuh itu mendekati posisiku berada. Kukira bu guru menghampiriku. Ternyata dia berhenti dibangku salah seorang siswanya yang ada didepanku. Ku perhatikan, sepertinya ada yang ditanyakan pada si murid. Raut wajahnya marah, sementara bocah lelaki tak peduli ucapan bu gurunya. Tak ada angin ataupun badai, anak hitam manis itu “dianugrahkan” jeweran dikuping kirinya. Seperti Dan Ki (komandan kompi) di angkatan darat (AD) dengan aba-aba cepat, keras dan “tegas”, si anak diperintahkan berdiri didepan kelas.
Aku masih bertanya-tanya kenapa dia harus berdiri dan dijewer? cuma diam yang bisa kuperbuat, sesuai dengan tugasku sebagai observator.
Bel pertanda berakhirnya pelajaran menggema. Wajah murung yang sedari tadi kusaksikan berbinar cerah. Bahagia sekali tampaknya. Seolah mimik wajah itu berkata "Hore, pelajaran usai!"
Bagai burung dalam sangkar, para siswa tak sabaran berhamburan keluar kelas. Bak Kaizen milikinya negri Sakura, mereka berdesakan meluncur kencang meninggalkan ruangan “tanpa makna”. Aku kembali sibuk dengan tugasku.. Bla.. Bla.. Bla..
Dalam kesibukanku. Tak kuduga, tangan mungil tersodor kehadapanku. Dia ingin menyalamiku. Ku sambut dengan genggaman erat. Senyumku lebar.
"Knapa dijewer?"
Tanyaku tiba-tiba pada Aidil si pemilik jeweran yang barusan kukenal. Dia jawab dengan senyuman. Berat lisannya mengutarakan jawaban pasti. Kurasa dia perlu beradapatasi lebih jauh lagi denganku. Kuakui pula bahwa aku telah melakukan kesalahan dalam penyelidikan, salah karena tak punya strategi dalam bertanya. "haduh!" sesalku. Aku paham maksud senyum itu. Kulepaskan genggaman tangan Aidil perlahan. Dia berlalu meninggalkan ruang kelas yang telah kosong dengan kebahagiaan. Diambang pintu, Aidil membalikan badan menoleh padaku. Deg.. Darahku berdesir. Wajahnya menyembunyikan sesuatu yang ku tak tahu apakah itu...
Bersambung... Baca sini)
Leave a Comment